Di pedalaman hutan sebelah utara Kampung Berap, cenderawasih kuning-kecil silih berganti menghinggapi pucuk-pucuk ranting pohon laban tua. Meski baru merintis, masyarakat perbukitan utara Lembah Grime itu tengah melirik peluang ekowisata baru selain Kali Biru.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Tidak hanya vanili, pengembangan ekowisata juga menjadi prioritas BUMMA Yombe Namblong Nggua. Lokasi utamanya di Kampung Berap, Distrik Nimbokrang, yang sudah lama dikenal dengan destinasi wisata Kali Biru. Sungai berair jernih ini mengalir dari hulu melewati wilayah lima marga di Kampung Berap, yaitu Tarkuo, Kasse, Buwe, Yosua, dan Manggo. 

Kali Biru terbilang cukup populer, khususnya bagi wisatawan domestik dari Kota Jayapura dan sekitarnya. Kebanyakan pengunjung datang saat akhir pekan untuk susur sungai dengan ban (tubing), atau sekadar mandi dan berenang di sungai yang panjangnya mencapai 10–12 kilometer tersebut. 

Di samping itu, ternyata Kampung Berap punya permata lain, yaitu burung cenderawasih. Wisata minat khusus ini benar-benar belum dipoles sama sekali. 

Aliran Kali Biru di permukiman marga Manggo, wilayah paling hilir di Kampung Berap. Tampak di sisi kanan jalan cor penghubung Distrik Nimbokrang menuju Distrik Demta, pesisir utara Kabupaten Jayapura/Deta Widyananda

Menembus hutan dan menyusuri sungai demi cenderawasih

Sebenarnya hutan Nimbokrang telah lama masuk radar para pegiat pengamatan cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya di Papua. Seperti halnya di Raja Ampat, Sorong, dan Pegunungan Arfak. Di Nimbokrang, kegiatan birding dirintis oleh Alex Waisimon, pendiri dan pengelola Isyo Hills, Kampung Rhepang Muaif. Ia telah memandu banyak tamu dan memetakan spesies-spesies cenderawasih yang terlihat di hutan yang terletak di belakang penginapan Isyo Lode miliknya. 

Seperti di Hutan Klasow Malagufuk, Sorong, setidaknya ada lima spesies cenderawasih yang sudah terpantau: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Dalam katalog eBird, platform basis data temuan spesies burung endemis buatan Cornell Lab of Ornithology, ada beberapa spesies cenderawasih lainnya, di antaranya cenderawasih belah rotan (Diphyllodes magnificus), cenderawasih panji (Pteridophora alberti), dan burung paruh sabit atau kuakalame paruh-putih (Drepanornis bruijnii). Semuanya dilindungi undang-undang negara.

Sementara di Kampung Berap, sudah lama orang-orang kampung tahu kalau banyak cenderawasih yang hilir mudik di hutan-hutan lebat belakang rumah mereka. “Setiap pagi dan sore, terdengar itu suara-suara burung cenderawasih di hutan,” Humas BUMMA, Zet Manggo (51) bercerita.

Wacana pengembangan ekowisata khusus pengamatan burung di Berap memang tengah mengemuka belum lama ini. Dalam satu tahun belakangan, tercatat baru ada dua kali survei kecil-kecilan sebagai tindak lanjut pendirian BUMMA, yang juga diikuti oleh Mitra BUMMA dan Samdhana Institute—lembaga nonprofit yang mendampingi BUMMA. Pemetaan potensi ekonomi tersebut bertujuan memberi destinasi birdwatching alternatif selain Isyo Hills yang sudah masyhur. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo, pemandu kami/Rifqy Faiza Rahman

Namun, baru ada satu orang yang tahu persis lokasi pertama pemantauan burung itu, yaitu Mesak Manggo. Pria berusia 54 tahun tersebut juga merupakan pemandu lokal yang ikut mengawal kegiatan survei BUMMA beberapa waktu lalu. Dialah perintis jalur trekking yang menembus lebatnya belantara Ktu Ku, yang terletak sekitar 10 kilometer dari pusat pemerintahan Kampung Berap ke arah Distrik Demta. Ruas jalan ini juga menjadi lintasan utama truk-truk pengangkut kelapa sawit dari Demta ke Jayapura.

Namun, jarak sejauh itu tidak sepenuhnya ditempuh dengan jalan kaki. Rinciannya, delapan kilometer ditempuh dengan kendaraan bak terbuka milik Ishak Yosua ke pintu hutan, sisanya benar-benar bergantung pada kekuatan langkah kaki.

Tidak ada patokan yang jelas sebagai penanda gerbang masuk hutan. Hanya Mesak yang tahu. Zet cukup sering masuk belantara ini untuk mencari bahan makanan hutan, tetapi ia belum pernah sampai ke titik pengamatan burung yang ditemukan Mesak. Yang jelas, rumus perjalanan untuk melihat cenderawasih selalu sama, yaitu harus bergerak sedari pagi—bahkan sebelum hari benar-benar terang. 

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mesak Manggo (paling depan) dan Zet Manggo memandu tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024 menyusuri aliran kali kecil menuju lokasi baru pengamatan cenderawasih/Mauren Fitri

Treknya bisa dibilang tidak terlalu mudah. Tutupan vegetasinya cukup rapat dan lembap khas hutan tropis. Jalan setapak yang tertutup belukar penuh lumpur sehabis hujan deras semalam. Kami harus memakai sepatu bot agar lebih mudah melangkah. Sesekali dengan parang Mesak menebas ranting dan daun yang rebah menutup jalur. Kondisinya jelas sudah lama belum dilewati manusia. Kami, tim TelusuRI bersama seorang jurnalis Tempo, adalah rombongan ketiga yang masuk hutan ini untuk melihat cenderawasih, setelah survei terakhir BUMMA di awal tahun ini.

Medan yang kami lalui bervariasi. Mulai dari melawan arus kali kecil yang penuh batuan berlumut, hingga meniti tanjakan curam dengan tanah gembur dan licin. Perjalanan turun lebih sulit karena bergantung pada akar atau dahan pohon untuk menjaga keseimbangan tubuh. Tidak ada petunjuk jalur yang jelas, entah itu berupa papan informasi atau string line, karena memang masih benar-benar murni.

Setelah berjalan hampir dua jam atau kurang lebih dua kilometer dari pinggiran jalan Berap–Demta, kami tiba di lokasi pengamatan. Ada satu tempat datar agak terbuka luasnya kira-kira seukuran lapangan futsal, yang dikelilingi pohon-pohon menjulang. Termasuk di antaranya adalah pohon laban setinggi belasan atau mungkin puluhan meter dengan diameter batang yang tidak cukup dipeluk satu orang. Kepala kami mendongak nyaris 90 derajat karena saking tingginya. Di pucuk pohon tahan api dan biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku furnitur itulah cenderawasih kuning-kecil terlihat silih berganti datang dan pergi. Mereka menari-nari dan melompat dari satu dahan ke dahan lainnya.

  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
  • Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura

Mesak menginstruksikan bersembunyi di antara semak-semak agar kami tidak terlihat burung-burung. Sebab, indra cenderawasih sangat sensitif pada aroma dan gerak-gerik manusia. Deta, fotografer dan videografer tim ekspedisi, tiada henti merekam burung dengan ciri khas warna dasar bulu kuning dan putih itu dengan lensa tele 50–400mm. Burung jantan memiliki warna hijau zamrud pada bulu lehernya, dengan ekor berwarna kuning lebih pekat dan panjang daripada betina. Adapun burung bertina yang berukuran lebih kecil memiliki dada berwarna putih tanpa bulu-bulu hiasan. 

Pemandangan menakjubkan itu sesekali diiringi kicau burung lainnya. Berdasarkan pengalaman di Malagufuk, di Ktu Ku kami mendengar setidaknya ada dua jenis suara yang familiar dan sama-sama lantang, yaitu taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), dan toowa cemerlang. Si julang sempat kami lihat terbang cukup tinggi di atas pohon laban, tapi tidak sempat terpotret. Sementara burung toowa tidak menampakkan diri.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Cenderawasih kuning-kecil jantan/Deta Widyananda

Birdwatching sebagai mitigasi perburuan liar

“Lokasi ini sebenarnya juga jadi tempatnya para pemburu [cenderawasih] ilegal,” sebut Mesak. Ia menunjukkan titik jejak kaki manusia dan bekas pemasangan jebakan. “Biasanya mereka pasang jaring yang tinggi buat menangkap cenderawasih.”

Tidak hanya burung, orang-orang itu kadang juga membalak kayu secara ilegal di luar wilayah adatnya. Pelaku bisa jadi oknum warga setempat atau masyarakat dari luar kampung. Melihat lokasi yang jauh dari kampung dan begitu terpencil, sulit sekali untuk melakukan pengawasan apalagi penindakan tegas dengan hukuman. 

Dengan kata lain, BUMMA dan pengelola pariwisata Kampung Berap berkejaran dengan waktu. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Manajer Ekowisata BUMMA Yombe Namblong Nggua Octovianus Manggo mengakui ada peluang ekonomi restoratif dari kegiatan pengamatan burung atau birdwatching. Bersama pengelola pariwisata kampung, mereka masih akan memetakan potensi lokasi pengamatan lainnya, menyiapkan infrastruktur agar pemantauan burung lebih nyaman untuk tamu atau para birder.

Suasana pengamatan burung cenderawasih yang sedang bertengger di pucuk pohon laban. Tempat baru ini berada di area hutan tropis Gunung Ktu Ku, Kampung Berap, Jayapura/Rifqy Faiza Rahman-Mauren Fitri

Sejumlah ruang pengembangan yang bisa dilakukan antara lain pembuatan rumah pohon sebagai anjungan pandang. Tujuannya agar memudahkan tamu melihat cenderawasih lebih dekat. Rumah pohon itu nantinya disamarkan dengan daun-daun atau ranting sebagai kamuflase, sehingga tidak terlihat oleh cenderawasih. 

Jalur trekking juga perlu dipoles agar aman dilewati. BUMMA dan masyarakat perlu mengukur jarak perjalanan, memilih rute yang menarik dengan tetap memerhatikan keamanan pengunjung, sampai dengan rencana evakuasi jika ada keadaan darurat. 

“Bisa juga membuat rute trekking yang bervariasi, tidak seperti tadi kita berangkat dan pulang lewat jalur yang sama,” usul Zet pada Mesak dan Octo setibanya di kampung. Ia menyebut jalur berangkat bisa melewati areal air terjun yang lebih landai dan istirahat sejenak di sana, baru pulang menyusuri kali.

Sampai sekarang, belum ada kepastian kapan birdwatching di Berap akan dibuka secara resmi sebagai paket wisata. Bagaimanapun, masyarakat Kampung Berap telah memahami, selain dari segi ekonomi, kontribusi ekowisata birdwatching ternyata juga bisa mencegah aktivitas ilegal yang bisa mengancam kelestarian cenderawasih dan burung-burung endemis lainnya.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Simon Manggo (kiri), ketua kelompok sadar wisata (pokdarwis) Kampung Berap didampingi Octo membahas rencana pengembangan ekowisata Kali BIru dan pengamatan burung cenderawasih/Rifqy Faiza Rahman

Integrasi program ekowisata dan konservasi hutan

Pada 3 Oktober 2024 lalu, BUMMA merilis uji coba paket wisata baru bernama river trip atau susur sungai dengan rakit. Nicodemus Wamafma atau Niko (49), General Manager BUMMA, menyebutkan tur akan berlangsung sekitar 45–60 menit, dengan harga paket sekitar Rp150.000 per orang. Dalam satu perahu rakit berisi maksimal tamu tiga orang, yang ditemani seorang pemandu dan juru mudi. Selama perjalanan tamu akan dijelaskan keanekaragaman hayati yang ditemui, baik itu flora maupun fauna. 

Kelak akan ada wacana memperpanjang jalur dari kawasan hulu, Enggam, sampai ke daerah muara yang bernama Sungai Grime, kali besar yang membelah wilayah adat suku Namblong. Tantangannya adalah menjaga kebersihan ekosistem sungai, yang akhir-akhir ini tercemar eceng gondok dan aneka sampah plastik, seperti sabun cuci dan kemasan bekas makanan-minuman. Untuk melakukan ini, BUMMA dan kelompok pengelola pariwisata setempat akan bekerja sama dengan masyarakat lima marga yang wilayahnya dilalui Kali Biru.

Octo mengatakan, pihaknya akan berusaha memadukan paket wisata Kali Biru dengan kegiatan pengamatan burung cenderawasih. Selain mempersiapkan infrastruktur jalur birdwatching secara bertahap, ia bersama jajaran pengurus BUMMA juga akan melakukan sosialisasi dan melibatkan masyarakat lima marga di Berap agar mendapat manfaat ekonomi.

Melihat Cenderawasih, Potensi Ekowisata Baru Kampung Berap Jayapura
Mauren (depan), ketua tim ekspedisi, mencoba perahu wisata menyusuri Kali Biru didampingi Zet Manggo dan Simon Manggo. Aneka vegetasi nipah, sagu, dan tumbuhan sekitar menjadi daya tarik tambahan untuk integrasi paket ekowisata susur sungai dan birdwatching di Kampung Berap/Deta Widyananda

Di sisi lain, Bernard Yewi selaku Manajer Kehutanan BUMMA juga punya tanggung jawab yang tak kalah penting. Riwayat perburuan liar di hutan Ktu Ku jelas mendorong pria yang ikut kami melihat cenderawasih hari itu untuk segera melakukan konservasi hutan. 

“Karena akan ada rencana perdagangan karbon, kami akan melakukan pemetaan potensi dan memperbanyak pohon-pohon dengan potensi penyerap karbon tertinggi selain sagu,” jelasnya. Langkah ini akan mendukung pengembangan ekowisata pengamatan burung, sekaligus menjaga habitat satwa di dalamnya. Kuncinya, komunikasi dan kerja sama dengan para marga pemilik hak ulayat di kawasan tersebut.

Niko mengakui, jalan pengembangan ekowisata pengamatan burung di Kampung Berap masih panjang. Tapi, setidaknya masyarakat Berap memiliki alternatif daya tarik yang segar dan baru untuk wisatawan, melengkapi Kali Biru. (*)


Foto sampul:
Cenderawasih kuning-kecil betina terbang meninggalkan cenderawasih jantan yang masih bertengger di pohon usai menari/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar