TRAVELOG

Melacak Jejak Kampung Lawas Kauman Mangkunegaran di Surakarta

Sebagai warga kampung lawas, kurang puas rasanya jika belum menjelajahi kampung lawas di wilayah lain untuk mengungkap tabir tersembunyi di dalamnya. Perjalanan kali ini berada di kampung lawas Kauman Mangkunegaran di Kelurahan Kestalan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Cukup sulit menemukan kampung tersebut, karena tidak semua warga mengetahui lokasinya.

Gang-gang sempit di seberang Pasar Legi menjadi fokus pencarian Kampung Kauman Mangkunegaran. Segelas es kopi di angkringan dan pesan singkat dari Heri semalam, menjadi langkah awal memulai perjalanan. Setelah berkeliling gang, tiba-tiba mata tertuju sebuah kemuncak masjid kecil atau langgar di tengah kampung bernama Langgar Rawatib. 

Sesepuh kampung mengungkapkan, Langgar Rawatib inilah satu-satunya tetenger atau tanda keberadaan kampung lawas Kauman Mangkunegaran yang masih tersisa. Pernyataan tersebut dibenarkan oleh Heri. Meski begitu, kampung di sekitar Langgar Rawatib sudah tidak tampak sebagai kampung para kaum dan priyayi dari Praja Mangkunegaran—berubah menjadi kampung padat penduduk.

Pertanyaannya, kenapa Kauman Mangkunegaran hilang dan akhirnya dilupakan?

Melacak Jejak Kampung Lawas Kauman Mangkunegaran di Surakarta
Tampak papan nama Kampung Kauman Mangkunegaran di sudut jalan/Ibnu Rustamadji

Riwayat Singkat Kauman Mangkunegaran

Merujuk catatan Heri Priyatmoko, Kampung Kauman Mangkunegaran dibangun atas inisiatif Raden Mas (R.M.) Said atau Pangeran Sambernyawa. Tidak lama setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti antara pemerintah VOC, Keraton Kasunanan, dan Pangeran Mangkubumi pada tahun 1755 di Desa Jantiharjo, Kabupaten Karanganyar. Rivalitas yang terjadi antara keluarga wangsa Mataram dan VOC ini disebabkan perebutan takhta Jawa III.

Cukup rumit cerita dan intrik yang terjadi selama perang perebutan kekuasaan Jawa bagian tengah kala itu. Ketidakpuasan atas pembagian wilayah dan keputusan penerus takhta antara Sunan Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwana I), serta campur tangan VOC diwakili Nicolaas Hartingh di dalam keluarga Mataram inilah, yang memicu R.M. Said melakukan perlawanan kepada rival tersebut selama 16 tahun. 

Perjanjian belum sepenuhnya mencapai kesepakatan, pihak R.M. Said terus melakukan perlawanan. Hingga akhirnya, Raja Keraton Surakarta Sunan Pakubuwana III memerintahkan Tumenggung Mangkuyudo untuk bernegosiasi dan meredam kemarahan R.M. Said. Tahun 1757, ia bersedia bernegosiasi dengan beberapa syarat. Ketiga rival, akhirnya dengan berat hati menyetujui syarat yang diajukan R.M. Said.

Syarat penting penting yang diinginkan R.M. Said yakni diberi wilayah di Kota Surakarta untuk didirikan kediaman (Pura Mangkunegaran saat ini) dan kampung di sekitarnya menjadi wilayah kekuasaannya. Syarat kedua, diberikan gelar Mangkunegara I, layaknya Hamengkubuwono I. Tanggal 17 Maret 1757, perjanjian Salatiga diteken, melibatkan Raden Mas Said, Pakubuwana III, Hamengkubuwono I (diwakili Patih Danureja) dengan penengah Nicolaas Hartingh dari VOC. 

Poin penting pertama, membagi wilayah kota dan memberikan dua wilayah Karesidenan Kota Surakarta, yakni Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Karanganyar kepada R.M. Said. Poin kedua, memberikan gelar Adipati Mangkunegara I. Poin ketiga, tidak memperkenankan kediaman Adipati Mangkunegara I memiliki alun-alun layaknya Keraton Surakarta maupun Keraton Yogyakarta. 

Tidak lama kemudian, R.M. Said segera mendirikan Pura Mangkunegaran dan masjid pertamanya, Masjid Nagari. Masjid yang didirikan tahun 1878 ini terletak tidak jauh dari kediamannya, Ndalem Mangkuyudan milik Tumenggung Mangkuyudo di Kampung Kauman Mangkunegaran, disusul mendirikan Pasar Legi. Masjid Nagari dibangun sebagai sarana ibadah Praja Mangkunegaran dan warga pedagang Pasar Legi. 

Semasa kepemimpinan Mangkunegara I, Kampung Kauman Mangkunegaran dihuni sedikitnya 80 orang. R.A. Penghulu Imam, seorang ulama perempuan sekaligus anggota prajurit istri Praja Mangkunegaran kepercayaan Mangkunegara I, didaulat sebagai penghulu imam di kampung Kauman Mangkunegaran.

Sayangnya eksistensi Kampung Kauman Mangkunegaran hanya bertahan hingga tahun 1935. Setelahnya, seluruh ulama bedol desa menuju Kampung Kauman Mangkunegaran yang baru di Ketelan, Kecamatan Banjarsari, tepat di barat Pura Mangkunegaran. Pascakepindahan, di lokasi Masjid Nagari lama didirikan Langgar Rawatib sebagai simbolisme keberadaan kampung lawas Kauman Mangkunegaran. Pendapa Ndalem Mangkuyudan pun turut dipindah ke Kampung Tumenggungan di barat Pura Mangkunegaran. Sisanya dipertahankan hingga akhirnya diwariskan kepada keturunan Tumenggung Mangkuyudo yang bernama Mintorogo.

  • Melacak Jejak Kampung Lawas Kauman Mangkunegaran di Surakarta
  • Melacak Jejak Kampung Lawas Kauman Mangkunegaran di Surakarta
  • Melacak Jejak Kampung Lawas Kauman Mangkunegaran di Surakarta

Langgar Rawatib, Jejak Keberadaan Kampung Kauman Mangkunegaran

Jarum jam menunjukan pukul 11.52, dua anak sekitar Langgar Rawatib datang untuk mempersiapkan ibadah salah Zuhur. Tidak lama kemudian, lantunan azan dan ikamah bergema. Sekitar 25 menit kemudian, tampak seorang ibu akan menjaga warung kelontongnya setelah salat selesai. Ternyata, beliau merupakan anak menantu dari Muhammad Habib, pendiri Langgar Rawatib.

Zaskia, sapaan akrabnya, menjelaskan awal mula pendirian Langgar Rawatib, yang diawali dengan keprihatinan sekaligus bentuk penghormatan dari ayah mertua terhadap keberadaan Kauman Mangkunegaran. Meski hanya bisa menampung sekitar 16 jemaah, tetapi keberadaan langgar ini sudah sangat bermanfaat bagi warga setempat maupun pendatang.

Ia menambahkan, sejak pertama kali langgar ini dibangun tahun 1935, belum pernah dilakukan penambahan luas ruang ibadah. Hanya perbaikan kecil secara menyeluruh. Langgar Rawatib dibangun di atas sisa pondasi Masjid Nagari. Masjid Nagari tidak dihancurkan, tetapi dipindah ke selatan Langgar Rawatib, menempati lokasi yang kini menjadi Masjid Al-Wustho Mangkunegaran. 

Menurut Heri, banyak faktor yang melatarbelakangi pemindahan tersebut. Faktor utamanya, benturan kepentingan ekonomi dan duniawi lebih dari segalanya di era Mangkunegara IV, yang memiliki setidaknya pabrik gula kristal Colomadu dan Tasikmadu. Di masa kepemimpinan Mangkunegara VII, seluruh warga kampung lawas Kauman Mangkunegaran sudah dipindah ke kawasan Masjid Nagari.

Meski hanya berupa masjid kecil, aktivitas keagamaan warga berpusat di Langgar Rawatib. Hal ini senada dengan harapan keluarga Zaskia, yakni tetap memakmurkan Langgar Rawatib untuk menjaga budaya dan identitas sesuai tuntunan yang telah diwariskan kepada mereka.

Keramahan warga setia menemani sepanjang perjalanan mengelilingi gang-gang sempit di Kauman Mangkunegaran. Meski begitu, tidak semua warga tahu bahwa kampungnya dahulu merupakan kampung lawas Kauman Mangkunegara. Kini mereka mengenalnya Kampung Kestalan.

Masjid Al-Wustho, Tapak Kauman Mangkunegaran Kini

Puas berkeliling, perjalanan berlanjut menuju Masjid Al-Wustho Mangkunegaran. Gapura bergaya Timur Tengah, dengan paduan warna putih-hijau dan hiasan kaligrafi di bagian fasad depan, setia menyapa siapa pun yang akan beribadah di masjid. Jarum jam menunjukkan pukul 14.55, ibadah salat Asar akan segera digelar.

Setelah berwudu, saya segera berpindah masuk ke masjid untuk menikmati keindahan arsitekturnya sekaligus beristirahat sejenak. Merujuk catatan Heri, ditemukan fakta bahwa proses pendirian Masjid Al-Wustho dilakukan bertahap sebanyak tiga kali. Perancang masjid adalah Insinyur Herman Thomas Karsten, seorang perancang tata ruang kota kepercayaan Mangkunegara VII.

Desain Masjid Al-Wustho bergaya tajuk beratap tumpang sari dan joglo dengan jajaran soko guru dan soko pengapit bagian dalam. Joglo serambi depan menghadap timur dilengkapi kuncungan dinding berkaligrafi di ketiga sisi. Sisi utara serambi depan terdapat batu prasasti terbuat dari batu marmer, isinya memperingati pembangunan Masjid Al-Wustho dalam bahasa Arab dan Jawa. 

  • Melacak Jejak Kampung Lawas Kauman Mangkunegaran di Surakarta
  • Melacak Jejak Kampung Lawas Kauman Mangkunegaran di Surakarta

“Sangkalan minongka pĂ©ngetan miwiti pasang tales muji luhuring salira Nabij (1807 H/ 1878 M). Ngambali pasang tales 😕 (1847 H/ 1917 M). Pambalaripun tuwin miwiti pasang tales manara: nata pawisikan samadyaning praja (1855 H/ 1924 M).” 

Artinya:

Penanda sebagai peringatan peletakan batu pertama dengan memuji kepada Nabi/Rasulullah pada (1807 Hijriah/1878 Masehi). Mengulangi peletakan batu:? (1847 Hijriah/ 1917 Masehi). Peringatan untuk mengawali peletakan batu pertama pendirian menara: dan pensucian oleh adipati 91855 Hijriah/1924 Masehi).  

Jelaslah fakta mengenai waktu pendirian Masjid Nagari. Lalu pada tahun 1917, Masjid Nagari mulai dipindahkan menuju Masjid Al-Wustho saat ini, ditandai dengan peletakan batu pertama tahun 1917. Pada tahun 1924, dilakukan peletakan batu pertama pendirian menara, sekaligus peresmian Masjid Al-Wustho oleh Mangkunegara VII tahun 1924.  

Di sisi selatan masjid, terdapat pawestren, tempat khusus ibadah salat Jumat bagi perempuan. Sisi timur pawestren terdapat gazebo berdinding tembok beratap sirap, khusus untuk melaksanakan khitanan, biasa disebut maligen. Lalu di sisi utara, terdapat menara bergaya Eropa sebagai tempat mengumandangkan azan kala itu.

Langit senja mulai menggelayuti ufuk ketika saya menyusuri kampung lawas Ketelan di barat Masjid Al-Wustho. Hilir mudik kendaraan dan sesekali tampak anak-anak berlarian, menjadi pemandangan lazim. Warga yang menempati kampung kini tidak hanya para ulama, tetapi juga para pendatang yang mengadu nasib di Kota Surakarta. Di akhir penelusuran, saya berharap eksistensi kampung lawas lain di seluruh kota atau kabupaten di Pulau Jawa tetap terjaga.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamadji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Ibnu Rustamadji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta