12 Rabiul Awal adalah tanggal yang sangat penting bagi umat Islam. Tanggal tersebut diperingati sebagai hari Maulid Nabi Muhammad shallallahu alaihi wassalam. Menjadi hari bersejarah karena sebagai awal mula Nabi Muhammad SAW lahir ke dunia, tepat di Tahun Gajah. Disebut Tahun Gajah karena dulu terjadi penyerangan Raja Abrahah dengan Pasukan Gajah ke Ka’bah saat lahirnya Nabi Muhammad.

Tradisi Maulid Nabi juga ada di Indonesia, negara dengan populasi umat Islam terbanyak di dunia. Jadi, wajar saja jika peringatan Maulid Nabi mudah dijumpai di seluruh penjuru Indonesia. Termasuk juga di Kota Surakarta, kota budaya yang kental dengan nuansa tradisi Jawa. Oleh masyarakat Surakarta, peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini disebut dengan sebutan Muludan. Hal ini karena dalam kalender Jawa, Bulan Rabiul Awal lebih dikenal sebagai Sasi Mulud yang berarti bulan kelahiran.

Masjid Agung Surakarta
Masjid Agung Surakarta via TEMPO/Bram Selo Agung

Keraton Surakarta biasa menggelar Grebeg Maulud dan Sekaten setiap kali Maulid Nabi tiba. Alun-alun Kidul ramai penjaja makanan, mainan, aneka khas hingga pertunjukan seni budaya yang biasa digelar. Memasuki Bulan Rabiul Awal, warga beramai-ramai menuju sekitar keraton untuk Muludan. Kelurahan Baluwarti (kelurahan letak keraton Surakarta berada) saat Bulan Rabiul Awal tiba biasa disibukkan dengan aneka persiapan peringatan Muludan. Sunan Pakubuwono yang turut andil sebagai pemimpin, para abdi dalem, pengurus Masjid Agung Surakarta, hingga masyarakat bersiap-siap menyambut tradisi yang sejak ratusan tahun lalu digelar.

Keraton, Masjid Agung Surakarta, Alun-alun Kidul, hingga Pasar Klewer biasa dipadati para pengunjung untuk menikmati Sekaten. Tradisi  Sekaten  paling ramai dikunjungi karena bisa berlangsung selama satu bulan penuh di Sasi Mulud. Saat Sekaten yang paling dirindukan tidak lain adalah pasar malam atau dalam bahasa Jawa disebut dengan Cembengan.

Sejak ada pandemi COVID-19 dan masuk ke Kota Surakarta, banyak hal yang berubah. Meski COVID-19 telah menyebar lebih dari satu setengah tahun, kegiatan sosial budaya masyarakat masih harus tetap dibatasi. Mobilitas sosial yang tidak diperlukan dan tidak mendesak, tidak bisa dilakoni. Hingga sedari tahun kemarin Muludan belum bisa diperingati dengan riuhnya masyarakat. Sorak sorai dalam merayakan ritual keagamaan dan tradisi kini menjadi sunyi. Mengingat kembali kalau masih dalam keadaan yang penuh keprihatinan, yang kalau dalam bahasa Jawa disebut sebagai mangsa prihatin.

Grebeg Mulud sebelum pandemi
Grebeg Mulud sebelum pandemi via TEMPO/Zaini Abdul Hakim Aviyanto

Kali ini Baluwarti masih sepi, pihak keraton belum lagi mengadakan tradisi yang dinanti-nanti masyarakat lantaran masih dalam keadaan pandemi. Parkiran Pasar Klewer yang biasa dipenuhi moda transportasi para pengunjung Sekaten tidak banyak dipadati. Hanya beberapa lalu lalang pengunjung pasar yang menyambangi.

Pihak Masjid Agung Surakarta menegaskan bahwa berbagai macam ritual dan tradisi sebagai peringatan kelahiran Rasulullah belum bisa dilaksanakan lagi. Terlebih pada kegiatan yang akan menimbulkan kerumunan. Meski tradisi tersebut sudah membudaya sejak ratusan tahun silam, Pemerintah Kota Surakarta juga menegaskan bahwa belum dapat menggelar budaya yang bisa menjadi klaster baru penyebaran COVID-19. Walaupun tetap diadakan, tidak banyak masyarakat yang bisa turut menghadiri. 

Memang tahun ini, tidak jauh berbeda dengan tahun kemarin. Tahun di mana tidak ada Sekaten, tak ada iring-iringan Grebeg Maulud, dan Alun-alun Kidul yang masih sepi dari pedagang Cembengan. Apabila dilihat dari esensi kelahiran Nabi Muhammad, tentu hal ini adalah perkara yang sulit. meski banyak yang menganggap suasana sepi dan sunyi ini sebagai hal mudah. Sejatinya peringatan ini sebagai refleksi diri, mengingat sang utusan Allah dalam berdakwah. Melihat sejarah semenjak beliau lahir hingga menutup usia yang dicurahkan untuk kebaikan umat manusia. Hidup dan matinya untuk menjadi contoh teladan yang baik bagi manusia.

Peringatan Maulid Nabi tidak melulu harus dengan beramai-ramai berkumpul dengan sesama umat. Perayaan tradisi yang dulu baik tidak mesti baik di zaman sekarang, budaya yang berkembang perlu memperhatikan sisi kemanusiaan. Tidaklah mungkin sang suri tauladan melupakan bagaimana pentingnya kesehatan umatnya. Walaupun Baluwarti sepi, tidak pernah henti rasa syukur yang hadir dalam diri manusia. Meski Masjid Agung sunyi, doa selalu teriring untuk kehidupan di bumi yang jauh lebih baik.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

Tinggalkan Komentar