“Bangun!”
“Woee bangun! Sudah pagi. Pergi bantuin orang angkat rumah!”
Pagi yang berisik.
Suara adik perempuanku memekak telinga. Aku yang tertidur di sebuah kamar kecil—kamar yang sering kurindukan saat tidur jauh darinya terbangun karenanya.
Waktu menunjukkan pukul 07.45 WITA, mataku mulai terbuka, menata pikiran dan perasaan dengan sejenak terduduk di pinggir ranjang. Menghirup aroma oksigen yang menyelinap masuk kamar lewat jendela atau ventilasi rumah. Rumah yang selalu menjadi tujuan untuk ku pulang dan tujuan ini, tidak pernah membuat aku tersesat dijalan.
Setelah beberapa bulan jauh dari rumah, kesempatan kembali berpihak padaku melalui momen pergantian tahun—momen yang juga dirayakan oleh banyak orang. Entah itu bersama teman, pasangan, atau.
Kali ini, aku memilih merayakannya bersama mereka—keluarga.
Aku keluar rumah sehabis membasuh muka dengan air, memakai sandal jepit dan berjalan kesalah satu rumah warga. Ku lihat sinar matahari pagi terpantul dari atap rumah yang satu ke rumah lainnya, sebab semua rumah warga disini terbuat dari seng. Semua rumah tampak berkilau dibuatnya.
Langkahku diiringi nyanyian burung gereja. Setelah celingak celinguk mencarinya, ku temukan mereka. Burung-burung gereja itu bersenandung tepat diatas pohon jambu air depan rumah tetangga, lompat dari ranting ke ranting seakan sedang memamerkan suaranya pada ku.
Senyum ku tiba-tiba mencuat melihatnya.
Mungkin ini senyum syukur karena ditakdirkan lahir di desa sehingga setiap pagi terasa damai ketika pulang ke rumah, gumamku.
“Si gondrong sudah datang, pasti akan terasa ringan. Cepat sini ke dekatku!”
Kakak laki-lakiku berteriak menegur saat dia melihatku sudah di dekat rumah yang akan kami pindahkan. Orang-orang tertawa mendengar tegurannya, sebab mereka tahu kalau aku termasuk orang yang lemah dalam urusan angkat mengangkat. Aku hanya terkekeh sambil berjalan ke arah mereka.
Ternyata warga sudah berkumpul sedari tadi, aku saja yang kesiangan. Aku kemudian berdiri tidak jauh dari kakak, mengambil posisi di bawah sebuah rumah panggung. Seluruh tiangnya diselingi bambu—dari kiri ke kanan, dari depan ke belakang, hingga bagian tengah. Tiang-tiang rumah ini sudah dipegang erat oleh orang-orang yang tersebar mengelilinginya. Mereka mengambil posisi dekat bambu yang terikat kuat di tiang, dan bersiap untuk mengangkat rumah dengan bahu masing-masing.
Budaya mengangkat rumah—Marakka’ Bola merupakan sebuah tradisi dari masyarakat suku Bugis, Sulawesi Selatan. Tradisi ini sudah turun temurun dilakukan, utamanya bagi masyarakat pedesaan di sini. Marakka’ Bola kerap dijadikan sebagai simbol percontohan yang menggambarkan makna gotong royong, nilai budaya yang melekat bagi masyarakat Indonesia.
Jadi, jangan bayangkan rumah-rumah ini diangkat dengan tenaga mesin. Di sini, memindahkan rumah dilakukan dengan cara mengangkatnya menggunakan tenaga manusia. Bersama-sama, oleh warga desa.
Rumah panggung, begitu kami menyebutnya. Terbuat dari kayu dengan tiang-tiang penyangga yang banyak dan cukup tinggi. Tradisi masyarakat Bugis yang sering berpindah-pindah membuat mereka membangun rumah dengan tidak menanam tiangnya dalam tanah, supaya ketika ingin dipindahkan tak perlu membongkar kemudian membangunnya kembali.
Uniknya cara memindahkan rumah tersebut dilakukan secara gotong royong oleh warga sehingga menjadi sebuah “tontonan” seru di zaman serba modern seperti saat ini. Aku sendiri bersyukur karena waktu kepulangku kali ini mendapati momen ini—yang sebenarnya menjadi momen pertama kali bagiku. Sebab tradisi ini sudah sangat jarang dilakukan seiring dengan maraknya pembangunan rumah beton di pedesaan.
Marakka’ Bola dilakukan setelah mengundang warga di desa sekitar satu atau dua hari sebelum hari pemindahan. Menariknya lagi, undangan disampaikan secara lisan, berbeda dengan undangan perkumpulan warga di kota yang disampaikan melalui surat.
Rumah warga didatangi satu persatu. Empunya bertamu dengan mengenakan pakaian yang sopan, menyampaikan maksud dengan tutur kata santun—tutur yang tidak kalah bagusnya dengan kalimat-kalimat yang sering saya temui di berbagai surat undangan.
Aku bersiap dengan posisi jongkok dengan bahu menempel pada bambu.
“Siap! Satu.. Dua.. Tiga..”
Seorang kakek dengan celana pendek dan sarung melilit di pinggangnya berteriak memberi aba-aba. Setelah hitungan ketiga kami memusatkan tenaga dan bersama-sama mengangkat sambil berteriak.
“Ahhhhhh…”
“Angkattttt…”
“Hiyyaa.. Hiyyaa..”
“Ayooooo…”
“Maju…”
Segala jenis teriakan kami lontarkan, entah dari mulut mana suara itu datang, yang jelas bising menggelegar. Momen ini terasa lucu, aku tertawa sambil ikut berteriak. Ternyata teriakan-teriakan ini memberi kobaran semangat untuk membakar berat beban di pundak, sehingga abunya terasa ringan, dan tentu api tercipta dari kerja sama.
Seikitar 6 meter berjalan, salah seorang dari kami di ujung pojok belakang berteriak “Stooppp!”
Kami pun berhenti. Kakek pemandu didepan menegur.
“Ada apa?”
“Bambunya patah.” Teriak orang-orang dibelakang.
“Cara angkatnya tidak seimbang.” Jawab seorang lainnya.
“Tenaganya tidak seimbang dari sudut ke sudut.” Sahut orang lain dari arah berbeda.
Tiba-tiba seseorang berteriak di tengah, “beraaaaaaaaaat!”
“Hahahahaha..” sontak kami semua tertawa mendengar itu.
Momen tersebut kami pakai untuk istirahat sejenak. Beberapa orang memperbaiki bambu yang rusak, lainnya lagi menukar posisi untuk menyimbangkan tenaga. Pemandu sibuk mengatur arah atau cara mudah untuk mengangkatnya.
Selang beberapa menit teriakan pemandu kembali menggelegar, ujung kata tiga dari mulutnya kembali kami berteriak sambil mengangkat. Ibu-ibu dan anak-anak berada di sudut-sudut pelataran rumah, menonton sambil berteriak atau bertepuk tangan menyemangati kami.
Alhasil rumah panggung itu berhasil kami pindahkan. Tidak terlalu jauh, sekitar 15 meter dari posisi awalnya, diangkat oleh lebih kurang 50 warga desa. Kami berhasil memposisikan rumah tersebut sesuai keinginan tuan rumah, menghadap utara yang sebelumnya menghadap ke arah barat.
Keringat bercucuran, punggung saya terasa sakit.
“Memang berat rumah ini,” pikirku.
Tapi mungkin ini representasi dari filosofi “sapu lidi” yang sering diajarkan kepada saya waktu SD. Bersama kita kuat, kuat karena bersatu dan bekerja sama. Dengan tradisi ini saya berpikir bahwa sejatinya gotong royong melahirkan persatuan. Gotong royong tercipta dari kesadaran bersama bahwa kita saling membutuhkan satu sama lain. Dari kesadaran tersebut akhirnya mewujudkan harmonisasi dalam bersosial, tentunya diwujudkan melalui persatuan.
Jika kelak tak ada lagi rumah panggung di pedesaan mungkin tradisi ini juga ikut hilang. Simbol gotong royong yang sering digambarkan dalam buku-buku dengan menampilkan gambar dari tradisi ini hanya akan menjadi cerita khayalan bagi generasi selanjutnya. Cerita yang diceritakan para guru kepada muridnya bahwa pernah ada Marakka’ Bola; diceritakan orang tua di desa kepada anaknya sambil melihat foto rumah panggungnya sebelum menjadi rumah beton yang mereka tinggali; atau mungkin kelak anak cucu hanya akan melihatnya replika dalam bentuk miniatur yang tersimpan rapi dalam museum untuk dipamerkan bahwa inilah simbol gotong royong Indonesia yang hilang ditelan pembangunan.
Lalu, akan kah tradisi ini tergantikan? Jika iya, digantikan dengan tradisi apa? Atau mungkinkah ada tradisi di kota yang dapat mencerminkan makna gotong royong seperti Marakka’ Bola? Atau adakah kebiasaan masyarakat kota yang melambangkan persatuan seperti ini?
Mungkin ada, tapi.. Tapi bersatu dengan membawa kelompok dan kepentingan masing-masing. Lantas itukah persatuan yang dilukiskan masyarakat desa? Entahlah.
Aku percaya bahwa persatuan orang desa itu suci sebab persatuan warga desa-lah yang pernah membebaskan negeri ini dari penjajahan.
Aku kemudian mengambil tempat untuk rehat, penak di bahu ditambah dengan beberapa pertanyaan dan kekhawatiran di kepala menyerbu. Pemandangan di depanku, orang-orang mengambil posisi nyaman untuk istirahat. Ada yang mengipas-ngipas badannya, ada yang pergi mengambil air minum, ada yang merokok sambil berbincang, dan ada seorang kakek yang yang mengelurkan kantongan dari saku celananya. Kantong itu berisi tembakau berwarna hitam yang sudah diasapi, lengkap dengan kertas rokok dan korek. Aku mendekat ke kakek tersebut untuk ikut melinting.
“Minta sedikit Kek, boleh?” sapaku.
“Memang kau hisap tembakau juga Nak?” jawabnya.
Aku tersenyum sambil berkata, “iya.”
Wajar saja kakek tersebut berpikir begitu. Mungkin karena sekarang ini jarang pemuda mau menghisap tembakau, entah karena ribet, rasanya yang kurang enak atau karena takut dicap kampungan, pikirku. Tapi aku tidak peduli soal itu. Bagiku melinting adalah seni yang rasanya nikmat.
“Kamu pintar melinting?” Tanya Kakek.
“Jelas dong, Kek!” jawabku yang membuat si Kakek cengingir dengan giginya yang menghitam—mungkin karena kebanyakan ngerokok.
Senang rasanya bisa merokok bersama Kakek tersebut. Nikmat karena tembakau ia racik sendiri secara alami. Kepulan asap tebal hadir diantara kami. Depannya, aku coba memainkan asap yang keluar dari dalam mulut, ku bentuk asap rokok jadi sebuah lingkaran.
Ia pun tertawa melihatku.
Aku pun tertawa balik setelah melihat sebagian giginya ompong, tampak jelas saat ia terbahak.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.