Saya dan Malino punya rahasia bersama. Beberapa tahun merantau sebagai seorang mahasiswa di Makassar memberikan saya kesempatan untuk berkunjung ke daerah teduh ini, sesekali dalam beberapa bulan. Termasuk hari ini, saat saya dan belasan orang lainnya hendak menempuh perjalanan satu setengah jam dari Kota Makassar ke Malino, Kabupaten Gowa. Malino selalu menawarkan keteduhan, airnya dingin, masyarakat yang ramah, sarabba yang nikmat, juga udara yang tidak akan didapatkan di kota penuh kemacetan.
Rombongan kami terdiri dari delapan motor, berangkat dari Kota Makassar selepas waktu magrib. Melewati Jalan Hertasning yang selalu penuh kepadatan kendaraan, lalu berbelok ke Jalan Poros Malino. Angin dingin bersahutan dengan deru motor menemani perjalanan saya malam itu. Saya begitu senang bepergian dengan motor, sebab udara malam dan pohon-pohon tinggi menyapa langsung tanpa sekat. Malino memang selalu menjadi pilihan menghabiskan akhir pekan, keluar dari penatnya aktivitas kota.
Tak terasa, kami melewati pigura ‘Selamat Datang di Malino Kota Bunga’ sekitar pukul delapan malam. Rombongan langsung menuju Desa Embun Pagi, desa terluar di Malino. Saya sering menginap di desa ini ketika berkunjung ke Malino, terlebih jika bersama rombongan seperti sekarang.
Kali ini, kami berencana menginap di villa milik seorang teman, hanya berjarak sekitar sepuluh menit dari pusat Malino. Rombongan kami pun singgah di depan pom bensin satu-satunya di daerah ini, menunggu beberapa kawan yang tertinggal di belakang.
“Singgah di pasar dulu atau bagaimana?”
“Lanjut masuk ke Embun Pagi dulu, nanti biar kutemani ke pasar,” kata seorang teman.
Awalnya kami hendak singgah di Pasar Rakyat Malino sebelum ke villa, tetapi seorang teman menyarankan untuk menaruh perbekalan dan tas-tas berat kami terlebih dulu. Ternyata dua orang teman lainnya telah sampai sejak sore. Mereka ternyata menyediakan gorengan dan minuman hangat untuk kami, sehingga malam itu kami memutuskan untuk tidak langsung memasak dan menunggu esok hari untuk berbelanja.
Pagi di Desa Embun Pagi
Malino adalah sebuah daerah di Kecamatan Tinggimoncong. Daerah ini sejak dulu menjadi pusat wisata akhir pekan warga Makassar. Berjarak sekitar 90 km dari kota Makassar, Malino menawarkan kesejukan pegunungan dengan beragam tempat wisata seperti hutan pinus, air terjun, perkebunan teh, dan banyak lagi.
Pagi hari dengan embun yang menyentuh tanah basah adalah hal terbaik dari perjalanan singkat ini. Selepas subuh, saya dan tiga orang perempuan lainnya mulai berjibaku di dapur. Kami mulai dengan memasak nasi untuk 20 orang. Setelah nasi masak dan matahari mulai naik, kami berempat, dengan dua motor menyusuri jalan berbelok-belok dari Desa Embun Pagi menuju ke Pasar Rakyat Malino.
Pasar Rakyat Malino selalu menjadi tempat untuk melihat-lihat kesahajaan warga yang berdampingan sempurna dengan alam. Begitu memasuki pasar, kami langsung memarkir motor bersisian dengan mobil-mobil pick up yang penuh dengan sayur-sayuran segar. Biasanya, sayur-sayuran ini dibawa di kecamatan Tombolo Pao dan Tinggi Moncong.
Begitu kami memarkir motor, beberapa penjual keliling langsung mendatangi kami. Ada yang menawarkan satu kantong penuh berisi kentang berukuran kecil seharga Rp10 ribu. Sepanjang kios bagian depan pasar, berjajar beragam jenis sayuran, juga buah-buahan seperti alpukat, markisa, stroberi, dan beragam buah-buahan lain.
Sewaktu kami datang, markisa tengah melimpah, kebanyakan kios menjual berkantong-kantong markisa dengan harga murah. Kami membeli dua ekor ayam yang sudah dipotong kecil-kecil, berbagai rempah untuk mengolah makanan, serta beberapa jenis sayur seperti kentang, wortel, daun sop, serta daun ketumbar.
Tidak sampai sejam, kami sudah selesai berbelanja kebutuhan makan hari ini. Sebelum beranjak dari Pasar Rakyat Malino, kami menyempatkan diri mencicipi gorengan kaki lima seperti sosis goreng, bakwan, dan lainnya.
Perut sudah terisi kenyang, kami bergerak ke lokasi berbelanja khusus, yaitu pabrik tahu dan tempe langganan. Saya selalu menyempatkan diri singgah ke pabrik tahu ini setiap kali mengunjungi Malino. Pabrik ini terletak di sebuah lorong sempit, cenderung bersifat rahasia bagi orang-orang luar Malino. Dari sini saya tahu, ternyata harga tempe dan tahu jauh sangat murah dibandingkan membeli di kios-kios pasar.
Begitu memasuki ruang pengolahan pabrik tersebut, bau kacang kedelai dan uap tahu langsung memenuhi indra penciuman saya. Sebuah pengalaman yang benar-benar jarang, menyatu dengan udara pagi yang dingin. Pagi itu kami membeli Rp20 ribu tahu dan tempe, cukup untuk persediaan hingga esok pagi.
Saya sangat menikmati perjalanan dengan sepeda motor, udara dingin dan bau pinus yang samar di udara. Kami keluar membeli bahan makanan tidak sampai dua jam, tak terasa.
Perjalanan pagi selalu menjadi kegiatan sederhana yang menyenangkan, berbagi hal-hal syahdu dari Malino yang teduh.
Menumbuhkan sayur di halaman rumah dan menulis sebagai Nawa Jamil.