Beberapa minggu lalu, saya pergi ke rumah nenek di desa yang tentram, di daerah Boyolali. Bukan untuk liburan, tetapi saya harus mengurus sesuatu terkait tugas kuliah. Tiga hari di rumah nenek cukup menyenangkan. Hari pertama dan kedua, saya hanya habiskan untuk mengerjakan hal-hal mengenai tugas kuliah saya. Setelah selesai seluruh pekerjaan itu, saya berpikir untuk melakukan sesuatu di hari ketiga. Rasanya, sia-sia kalau tak memanfaatkan waktu untuk sedikit menyegarkan otak sebelum kembali ke kota. Namun, awalnya saya tak terpikirkan akan beraktivitas apa saja hari itu.
Hari ketiga di rumah nenek, saya bangun pagi macam biasanya. Saya melihat nenek duduk di teras depan, sedangkan kakek bersiap ke kebun. Pemandangan yang sama dengan kedua hari sebelumnya. Waktu saya memang cukup longgar. Setelah sedikit mengobrol renyah dengan nenek seputar masa kecil, akhirnya saya terpikir untuk jalan-jalan berkeliling di sekitar rumah nenek. Siapa sangka kalau ada makna-makna kehidupan dari jalanan sekitar rumah nenek.
Pertama, tembok bercat kuning milik tetangga. Bagi orang-orang mungkin menganggap sebuah tembok hanya angin lalu belaka. Namun, tembok ini menarik mata saya untuk memandangnya sebentar. Temboknya dicat putih dan kuning dengan corak pagar kayu, bunga matahari, dan daun hijau di bagian bawah. Nuansa ceria begitu masuk ke dalam hati.
Saya teringat pada rumah Masha di kartun Masha and The Bear. Tawa ceria Masha melintas di benak saya dengan gambaran realis tentang pagar rumahnya. Jadilah tembok ini bermakna kebahagiaan menurut saya. Warna kuning cerah begitu mendamaikan. Kedamaian itu menyuntikkan sedikit energi bagi saya untuk melanjutkan petualangan mini pagi ini.
Ketika sedang berjalan, saya bertemu salah satu teman masa kecil yang tiba-tiba menyapa. Saya kaget karena jujur saja merasa tak familiar dengan wajahnya kini. Namun, dia menegaskan kalau masih ingat saya. Sebut saja namanya Risa.
“Piye kabarmu, Ris?” Tanyaku.
(Apa kabar, Ris?)
“Alhamdulillah, suwe banget ora ketemu ya!” Ucapnya sambil tersenyum manis membawa plastik kresek.
(Alhamdulillah, lama sekali tidak ketemu ya!)
Dari percakapan itu, saya pun tahu bahwa Risa sudah bekerja setelah lulus SMK. Ya, saya memang pernah dengar cerita Risa dari nenek beberapa tahun lalu. Namun, saya tak pernah bertemu dengannya saat berkunjung ke rumah nenek. Baru kali ini. Mungkin karena kunjungan yang dapat dihitung jari serta jarak rumah yang tak terlalu dekat. Saya juga tidak pernah lama menetap. Di perempatan jalan, kami berpisah.
Saya melanjutkan langkah saya hingga bertemu satu beringin tua. Pohon itu berdiri kokoh sendiri meski terlihat dari raganya sudah berumur. Daun-daun mulai meninggalkan tiap rantingnya. Namun, si beringin masih menancap tak tergoyahkan. Kemandirian, itu yang terlintas di pikiran saya kala itu.
Kemandirian tidak hanya tentang melakukan apa-apa sendiri, tetapi juga mengandalkan diri sendiri sebelum menggantungkan hajat pada orang lain. Meskipun manusia adalah makhluk sosial, tetapi terlalu berpegang pada orang pun jatuhnya merepotkan saja.
Setelah disapa oleh pohon beringin, saya disambut sepetak tanah. Sayur mayur menghiasi tanah itu menjadi hijau dan lebih semarak. Awalnya saya tak terbersit apapun. Namun, seiring langkah saya menjauh, saya ingat dengan nilai kesabaran. Karena sayur itu tumbuh dengan kesabaran. Pekebun yang menunggu penuh harap untuk kesuburan tanah dan kelimpahan panen kelak. Mulai dari pembenihan, perawatan, hingga tumbuh dengan sehat. Semua fase dilalui para pekebun sebelum mendapatkan hasil terbaik.
Itulah mengapa hidup harus dibersamai rasa sabar. Karena sabar akan menuntun ke sesuatu yang ditakdirkan pada waktu yang tepat tanpa terburu-buru. Nikmati proses hidup dari satu babak ke babak lainnya.
Berikutnya saya melihat sebuah jembatan kecil dibuat di atas parit. Pemandangan ini sangatlah biasa. Ketika saya melihat tiga batang kecil disejajarkan jadi jembatan, gambaran yang muncul adalah kesederhanaan. Sederhana sekali, batang muda ditata berjajar tanpa diikat. Hanya dirapatkan agar kaki orang yang melewatinya tidak terperosok. Dari posisi saya, terdengar percakapan dua petani seraya berdiri melihat satu sama lain.
“Dina iki bakal panas, Yu,” ucap seorang bapak. (Hari ini akan cerah, Mbak.)
“Iyo, yahmene uwis keroso,” balas si ibu yang diajak bicara. (Iya, jam segini sudah terasa.)
Di bawah parit itu, ada air yang mengalir tenang. Airnya yang masih bening, seperti menyegarkan, ibarat alur hidup yang selalu mengalir walau tak diminta. Kesederhanaan dalam menjalani suratan kehidupan adalah satu resep agar tak terjebak keglamoran yang acap kali membutakan mata.
Saya merasa sudah cukup perjalanan pagi itu. Keringat sudah mengucur di pelipis. Saya putuskan kembali ke rumah nenek, ketika matahari sudah tak malu lagi menampakkan sinar terang. Sesampainya di rumah nenek, saya duduk-duduk sejenak di teras sambil melihat pekarangan.
30 menit kemudian, saya masuk ke rumah dan membersihkan diri setelah berkeringat karena jalan-jalan pagi tadi. Kemudian, saya menyantap nasi soto buatan nenek. Saya pun mulai mengingat pesan hidup dari beberapa titik yang menarik tadi. Manusia itu perlu hidup bahagia yang diusahakan tercipta oleh mandirinya diri sendiri. Dalam hidup pula, manusia harus sabar dan sederhana atau tidak usah muluk-muluk, apalagi maruk.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.