Matahari menyambutku dalam teriknya, ditemani awan-awan yang perkasa dengan jubah putihnya. Kulirik jam di pergelangan, ternyata tepat tengah hari. Aku harus bergegas. Sedikit berlari aku ke halte agar tak ketinggalan bus. Ini hari kedua sejak aku memulai aktivitas baru: magang.
Jika kau bertanya di mana aku magang, kujamin jawabanku akan bikin pertanyaanmu beranak pinak membelah diri bak ameba. Aku kuliah Teknik Komputer dan Jaringan, tapi kemarin, saat diberikan penjelasan di tempat magang, tampaknya aku akan magang sebagai penulis.
Hari kedua magang ini aku diajak ke Seoul Palace. Kupikir semula di Seoul Palace aku akan diberikan pengarahan lebih lanjut soal magang ini. Ternyata tidak. Ini semacam liputan kuliner.
Walaupun aku suka nongkrong di luar, tak pernah sekali pun aku menginjakkan kaki di restoran Korea seperti Seoul Palace. Tentu hati kecilku berteriak kegirangan. Kesempatan yang berharga, rezeki yang tak boleh ditolak.
Rombongan kami disambut ramah oleh sang pemilik resto. Ia adalah seorang perempuan berpenampilan sederhana. Meskipun demikian, auranya menunjukkan bahwa ia punya otoritas di tempat ini. Selain keramahan, ia juga menyuguhkan kepada kami makanan-makanan andalan resto. Dua meja besar yang kami kelilingi penuh makanan warna-warni.
Sembil menunggu aba-aba untuk mencoba, aku melihat-lihat sekeliling. Desain interior resto ini bernuansa Korea. Ada boneka memakai hanbok. Di sudut sana ada rumah-rumahan kecil bergaya khas Asia Timur. Menariknya, ada pula tempat untuk menggantung kartu permohonan.
Tapi lama-lama mataku lebih fokus pada makanan menggugah selera yang sudah tersaji di meja. Dalam hati aku berseru, “Perut, kau akan tidur nyenyak nanti!” Entah karena lapar atau doyan makan, aku akhirnya menghabiskan enam santapan. Rakus? Tidak. Aku hanya menghargai makanan. Masih banyak orang yang kesusahan mendapat makanan dalam kehidupan sehari-harinya, ibuku pernah bilang begitu.
Dari Seoul Palace, sekitar jam setengah tiga sore kami bergerak ke sebuah restoran yang tampaknya cocok sekali untuk kawula muda masa kini. Namanya Red Rabbit Resto. Dekorasi restoran kedua ini menyatu dengan pepohonan rimbun. Siapa pun yang mampir ke sini pasti akan betah. Karena tempatnya instagenik, aku sempatkan untuk berswafoto di sini. Sebelum mampir ke Red Rabbit, kukira tempat ini adalah semacam bar yang hanya buka malam hari, dengan pelanggan muda-mudi yang duduk berkeliling sambil menenggak bir.
Sebaliknya, ternyata Red Rabbit adalah restoran yang sehat. Menunya adalah makanan-makanan tradisional yang banyak di antaranya berasal dari Indonesia Timur. Mataku terbuka lebar begitu menjumpai sebuah makanan pencuci mulut warna-warni berbahan alami yang begitu menggugah selera.
Nyaman sekali di tempat ini. Bangunan Red Rabbit bergaya retro dengan pohon besar di tengah yang bikin udara makin segar. Suasana makin enak karena nada-nada kicauan burung yang merdu tak henti-henti masuk ke telingaku.
Sambil menikmati klappertaart yang manis dan lembut, aku mendengarkan para sesepuh berbagi pengalaman. Mereka membahas hal-hal dasar dalam pekerjaan, berbagi tips jurnalistik, berbagi cerita tentang kiprah mereka, sampai membahas hal yang sedang menggemparkan dunia: corona. Ditemani makanan aduhai yang menggoyang lidah, pengetahuan rasanya mudah sekali menerobos otak dan mengendap dalam ingatanku.
Asyik berbincang, tak terasa sudah hampir petang saat akan beranjak pulang. Di dalam mobil aku melihat foto-foto kegiatan barusan hasil jepretan tanganku. Seulas senyum tercipta. Hari ini adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku. Impianku akhirnya dikabulkan oleh semesta. Sedari dulu, ketika anak-anak ingin jadi dokter atau guru, aku bercita-cita untuk menjadi presenter acara kuliner.
Terima kasih, semesta.