Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang jatuh setiap tanggal 5 Juni, LAKSMI (Langkah Komunitas Mengurangi Plastik), sebuah gerakan yang mengajak kita semua #berubahdarirumah untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, mengadakan temu wicara dengan mengusung tema “Atasi Kerusakan Global dengan Kearifan Lokal.” Acara ini menghadirkan pembicara yaitu Mardiyah Chamim, jurnalis TEMPO yang sudah malang melintang di isu lingkungan hidup dan merupakan penulis buku “Menjaga Rimba Terakhir” dan juga Dr. Muhammad Faisal, founder Youth Laboratory Indonesia yang juga penulis buku “Generasi Kembali Ke Akar”. 

Sebelumnya, berkolaborasi dengan TelusuRI, LAKSMI mengadakan kunjungan virtual ke Desa Ekowisata Nyambu, Tabanan, Bali. Desa yang masih asri, punya keindahan alam yang memanjakan mata, sumber mata air yang masih terjaga, dan juga menjadi desa wisata yang melarang pemakaian plastik sekali pakai—artinya masyarakat dan pengunjung desa ini turut mengurangi produksi limbah plastik. Desa ini menawarkan kehidupan para petani yang bersahaja, bersamaan dengan pura yang menghias langit sebagai rangkaian wisata. 

Makna hutan untuk mereka

Budaya kita selaras dengan alam via TEMPO/A.Muin Ahmad.

Mardiyah membuka pembicaraan dengan menceritakan pengalaman perjalanannya ketika berkunjung ke Kalimantan Timur. Suatu ketika di sebuah desa, ia melihat seseorang yang mentato tubuhnya dengan angka tahun 1981. Mardiyah penasaran dan mulai bertanya, apa makna dibalik angka tahun tersebut. “Pada tahun itu buldozer mulai masuk ke desa dan membabat hutan kami” jelas orang tersebut. “Hati saya terenyuh mendengar pernyataannya, betapa pentingnya makna hutan bagi mereka.”

Hutan bagi masyarakat modern mungkin punya makna berbeda, tak sedalam makna hutan bagi masyarakat tradisional, tetapi tahukah kamu bahwa semua kehidupan baik kota maupun desa bergantung kepada hutan?  Air bersih tersedia dari hulu sungai yang bersih, bukan selokan-selokan yang mengalirkan air hitam dan berbau busuk. 

Begitupun hasil hutan kayu maupun non kayu, semua produk tersebut masuk ke kota, digunakan untuk sandang, pangan, dan papan, tetapi masyarakat modern mulai melupakan asal usulnya.

Kembali ke akar, kembali mencintai tradisi

Pentingnya peran hutan dalam menjaga ekosistem via TEMPO/Junaini KS

Tetapi kini, ada kecenderungan yang berbeda. Anak-anak muda Indonesia, semenjak teknologi semakin mudah diakses, mulai perlahan-lahan membuka kembali warisan nenek moyang mereka. Berbeda dengan negara-negara lain yang tingginya teknologi semakin membuat anti sosial. 

Media sosial turut mengembangkan kecenderungan ini. Mereka bebas berekspresi, mengembangkan bakat dan minat mereka tentang budaya, dan mulai membentuk komunitas. Faisal, yang sedari 2008 fokus riset generasi muda lewat pendekatan etnografi, mengamini hal tersebut turut memberi citra positif untuk lingkungan hidup. Dampaknya mulai terlihat, kegiatan kegiatan yang bertajuk cinta lingkungan mulai bertebaran baik untuk skala lokal maupun nasional.

Anak-anak daerah mulai mengenalkan tradisi mereka sebagai bagian identitas. Tradisi kita, papar Faisal, selalu dekat dengan pelestarian dan keseimbangan alam. Alam dan tradisi tidak bertentangan sehingga apabila kita melestarikan tradisi berarti andil pelestarian alam juga tercapai tuturnya. 

Buku beliau yang berjudul Generasi Kembali ke Akar menyorot kecenderungan anak muda Indonesia kembali mencintai tradisi. Kembali ke akar adalah kembali ke identitas manusia Indonesia sebagai manusia dengan beragam budaya, masyarakat kolektif dengan semangat gotong royong.”

Gerakan anak muda dan media sosial

Suasana temu wicara LAKSMI

Mardiyah menambahkan pernyataan Faisal mengenai kebangkitan generasi millenial. Menurut pengalamannya, ia melihat anak-anak muda daerah kini giat mendorong perubahan di daerahnya masing-masing seperti yang terjadi di NTT.

“Saya melihat anak muda di NTT ada yang menggalang kelas menulis dan kelas memasak resep makanan lokal.” Pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang dimaksimalkan untuk mencegah pengrusakan hutan juga mengalami perubahan misal dalam hal pengemasan dan pengiklanan. Tidak hanya ekonomi saja yang turut berdampak, tetapi kerusakan hutan dapat diminimalkan. 

Media sosial membawa peran yang besar dalam hal ini. Teknologi membuat perkembangan isu lingkungan menjadi lebih mudah, orang menjadi lebih tau dan ikut aktif mengikuti perkembangan, menjadi pengawas kinerja pemerintah, semisal penggundulan hutan untuk sawit yang terjadi di Kinipan, Kalimantan Tengah. 

Memasuki sesi terakhir, pertanyaan-pertanyaan antusias para peserta dijawab oleh Mardiyah dan Faisal dengan padat dan jelas. 

Salah satu pertanyaan yang paling menarik mengenai Green Washing perusahaan besar demi pencitraan mereka semata. Jawaban bijaksana diberikan oleh Mardiyah. “Kita harus memonitor perusahaan-perusahaan besar dan kritis terhadap kebijakan mereka, memang ini menjadi masalah besar, perusahaan-perusahaan hanya membayarkan pajak karbon tanpa mengurangi emisi, dan sebagai publik kita harus terus kritis untuk menilai apakah mereka hanya sekedar greenwashing.

Penjelasan demi penjelasan berlalu dan tak terasa kebersamaan ini harus berakhir. 

Kami merasa beruntung bisa mendapatkan pengetahuan baru tentang peran kami dalam penyelamatan lingkungan melalui kearifan lokal daerah. Mardiyah dan Faisal membuat kami semakin yakin akan peran pemuda dalam berkontribusi terhadap lingkungan dan budaya. Saatnya berkontribusi, mari tunjukkan aksi. Tabik!


Ditulis oleh: M. Irsyad Saputra

Tinggalkan Komentar