Sebagai pecinta kuliner yang demen banget makan di pinggir jalan, alias pedagang kaki lima, setahun terakhir ini begitu berat rasanya. Harus membatasi ruang gerak, hingga merindukan saat-saat menyantap kuliner kaki lima tanpa khawatir di berbagai kota.
Memang, dengan membeli kuliner yang dijual oleh pedagang kaki lima atau UMKM, secara nggak langsung kita ikut berkontribusi dalam roda perekonomian masyarakat setempat. Namun sayangnya, ada kebiasaan yang seringkali kita abaikan tapi ternyata punya pengaruh besar terhadap lingkungan, yakni sumbangsih kita terhadap sampah.
Sedikit cerita, setiap kali berkunjung ke luar kota, saya selalu menyempatkan untuk mencicipi kuliner khas kota tersebut. Nggak afdol rasanya kalau melewatkannya. Waktu itu saya bersama beberapa teman SMA memutuskan ke Semarang untuk reuni sekaligus berlibur. Selain banyak tempat wisata, kuliner khas Semarang menjadi salah satu alasan kenapa saya mau datang.
Dengan berbekal rekomendasi dari Google, saya dan rekan-rekan menelusuri ragam kuliner yang ada di kota ini. Ada lumpia, tahu gimbal, nasi goreng babat, hingga nasi gandul—yang belakangan saya ketahui merupakan kuliner khas Pati. Banyaknya daftar makanan yang harus kami cicip dalam waktu singkat, membuat kami membeli tanpa berpikir cara menghabiskannya.
Tentu saja, pada akhirnya makanan tersebut tak semuanya kami habiskan, karena kami masih ada tanggungan untuk menyantap makanan lainnya. Hal ini tidak hanya terjadi sekali. Saat berkunjung dan kulineran di kota lain pun, kerap kali saya melakukan hal yang sama.
Sering kali, saya tak sendiri. Saat kuedarkan mata ke sekeliling, pemandangan serupa juga kutemui di beberapa meja, makanan yang bersisa dan harus berakhir di tempat sampah.
Kenapa sih harus menghabiskan makanan?
Mengambil peran dalam pelestarian lingkungan ternyata bisa dimulai dari hal paling sederhana. Jika belum mahir dalam mengolah kompos ataupun tidak punya cukup waktu untuk merubah barang bekas menjadi barang DIY, bukan berarti tidak bisa berkontribusi dalam pengurangan sampah.
Sebagian besar kapasitas TPA penuh, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria mengungkapkan bahwa TPST Bantar Gebang di Bekasi akan penuh di tahun ini. Lalu, tahun 2005 silam terjadi longsor di TPA Leuwigajah yang disebabkan oleh gas metana dari sampah makanan.
Sedih dan merasa bersalah saat mengetahui fakta ini, dulu saya pikir dengan membuang sampah pada tempatnya, melakukan aksi penanaman pohon, dan mengurangi penggunaan kendaraan bermotor sudah sangat cukup untuk menjaga lingkungan. Ternyata apa yang saya pikirkan masih kurang tepat, selama pandemi ini saya mulai belajar tentang dampak dari sampah rumah tangga yang setiap hari dihasilkan. Betapa terkejutnya saat mendapati fakta, bahwa penyumbang terbesar gas metana yang bisa merusak lapisan ozon adalah sisa makanan.
Sampah makanan hampir mendominasi lebih dari 50% komposisi sampah di TPA, namun seringkali kita tidak hal tersebut dan menganggapnya remeh. Meskipun sebagian besar merupakan sampah organik yang mudah terurai, namun jika volumenya terlalu besar dan bercampur dengan sampah anorganik, akan menghasilkan gas metana.
Fakta inilah yang akhirnya membuat saya lebih peduli saat kulineran. Jika belum bisa ikut berperan aktif mengkampanyekan hidup minim sampah dan mengedukasi masyarakat untuk membuat kompos, setidaknya saya harus memulai dari diri sendiri dengan menjadi pejalan ramah lingkungan.
Kita bisa melakukan langkah sederhana untuk mengurangi volume sampah, yakni dengan tidak menyisakan makanan di piring. Ambil makanan secukupnya, kita tentu bisa memperkirakan kapasitas makanan yang bisa dimakan agar tidak tersisa.
Merubah kebiasaan memanglah tidak mudah, namun bukan berarti tidak bisa bukan?
Ada beberapa tips yang bisa dilakukan agar bisa tetap mencicipi aneka kuliner tanpa harus menyisakan sampah Pertama, kita bisa patungan saat membeli makanan. Cara ini pernah saya terapkan saat berkunjung ke Penang, waktu itu saya memang belum terlalu peduli dengan dampak dari sisa makanan.
Kalau dipikir-pikir, cara ini bisa banget diterapkan di Indonesia. Terlebih lagi saat kita mau kulineran ke tempat yang menjual beraneka ragam menu. Patungan dengan teman, cicip sedikit-sedikit dari banyak menu yang dipesan sampai kenyang. Dengan patungan, selain bisa memastikan makanan yang dipesan tidak akan bersisa, kita juga bisa menghemat bujet liburan.
Kedua, selalu bawa tempat makan kosong. Memang butuh ruangan ekstra di koper, tapi demi hemat dan meminimalisir sampah, kenapa enggak? Untuk jenis makanan tertentu yang tidak berkuah, jika tidak bisa menghabiskan dalam sekali makan, tak ada salahnya untuk menyimpan dan memakannya kembali.
Upaya ini barangkali tidak akan terlihat nyata hasilnya jika hanya diri sendiri yang melakukannya. Namun, perubahan besar selalu dimulai dari hal-hal kecil, salah satunya dengan memulai kebiasaan menghabiskan makanan di piring kita.
Jadi, sudah siap untuk menghabiskan makanan di piringmu?
Sampah Kita merupakan sebuah tajuk untuk berbagi pengalaman refleksi tentang sampah. Sampaikan cerita dan refleksimu soal sampah, bagikan tips dan kiat menyelesaikannya di telusuri.id/sampahkita.
Sampah Kita didukung oleh Lindungi Hutan dan Hutan Itu Indonesia.