Beberapa waktu lalu, UPTD Museum Daerah NTT menyelenggarakan pameran temporer tentang tradisi menginang/makan sirih pinang di Nusa Tenggara Timur. Pameran ini bertajuk “Kristal Cinta di Limbah Merah”, dengan tema umum “Restorasi Kebudayaan Menuju NTT Bangkit NTT Sejahtera”.
Pameran berlangsung selama empat hari, sejak pembukaan pada 24 Juni 2022 hingga penutupan pada 27 Juni 2022 lalu. Sayangnya, karena sedikit terlambat mendapatkan informasi mengenai pelaksanaan pameran, saya hanya bisa mengikuti pembukaan pameran via streaming YouTube. Barulah di hari kedua, ketiga, dan keempat saya berkesempatan menyaksikan pameran secara langsung.
Tradisi menginang bukanlah sesuatu yang asing bagi saya secara pribadi. Saya tumbuh besar dalam masyarakat yang lekat dengan tradisi menginang. Dalam masyarakat kami, tradisi ini dikenal dengan istilah hang cepa atau mama cepa, di mana cepa merujuk pada perpaduan kala (sirih), raci (pinang), dan tahang (kapur).
Dalam kehidupan bermasyarakat pun, posisi tradisi ini begitu sentral, baik dalam konteks keseharian maupun secara khusus dalam berbagai ritus dan upacara budaya. Dalam keseharian masyarakat kami, menginang adalah aktivitas yang umum dilakukan ketika lejong (bertamu), duat (berkebun), maupun di waktu-waktu senggang. Sementara, dalam konteks upacara adat dan ritus budaya, sirih-pinang menjadi sesuatu yang memiliki nilai budaya, baik dalam upacara adat perkawinan, dalam ritus teing hang (memberi makan leluhur), dan berbagai ritus budaya lainnya.
Kenyataan-kenyataan itu jugalah yang akhirnya membuat saya begitu tertarik mengunjungi pameran tradisi pekinangan ini. Paling tidak, saya bisa menjadi lebih memahami bagaimana posisi tradisi ini dalam masyarakat NTT secara umum, menemukan keragaman tradisi ini di berbagai daerah di NTT, serta berbagai hal baru yang bisa saya pelajari melalui penyelenggaraan pameran ini.
Kristal Cinta di Limbah Merah
Tiba di Museum Daerah Provinsi NTT, suasana tampak ramai dengan sajian tarian daerah yang sedang dipentaskan. Tak menunggu lama, saya bersama seorang kawan segera menuju ruang pameran.
Salah seorang pegawai museum menyambut kedatangan kami, ia segera mempersilahkan kami masuk ke ruang pameran. Di dalamnya, beragam koleksi wadah pekinangan sudah ditempatkan begitu rapi, lengkap dengan informasi-informasi terkait tradisi pekinangan di Nusa Tenggara Timur.
Di dekat pintu masuk ruang pameran, saya menemukan latar belakang sejarah tradisi pekinangan di NTT. Menurut catatan sejarah tersebut, tradisi menginang sudah berkembang sangat lama di kalangan masyarakat NTT. Meskipun asal usul mulanya tidak diketahui secara pasti, namun di NTT tradisi ini telah menjadi salah satu tradisi yang diwariskan dari para leluhur hingga saat ini.
Sejarah tradisi menginang di Nusantara sejak awal penemuannya dijelaskan melalui beberapa catatan sejarah yang juga saya dapatkan di ruang pameran hari itu. Namun, secara khusus dalam konteks NTT, saya menemukan catatan mengenai hasil penelitian makroskopis melalui pengamatan gigi-geligi sisa rangka manusia prasejarah di Lewoleba, Kabupaten Lembata (1961) dan Gua Liang Bua, Kabupaten Manggarai (1965), melalui penggalian arkeologis oleh Pastor Verhoeven, yang menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup di kedua gua tersebut telah mengonsumsi sirih pinang yang menyebabkan pewarnaan pada gigi (dental staining), terutama pada geraham belakang. Hal ini dikarenakan terdapat variasi gradasi/tingkat warna gigi yang diduga sebagai dampak dari intensitas mengunyah sirih pinang dan ramuan pelengkapnya.
Selain itu, dijelaskan pula bahwa pada suatu masa ratusan tahun yang lalu, Pulau Alor dan Pulau Pantar dijuluki Malio Galiao yang berarti Pulau Sirih Pinang, karena pada masa itu kedua pulau ini kaya akan sirih pinang yang merupakan bahan utama dalam tradisi menginang, yang dikenal luas di wilayah Asia.
Terkait judul pameran, sejak awal saya sebenarnya belum bisa menginterpretasikan judul pameran “Kristal Cinta di Limbah Merah” dan mengaitkannya dengan tradisi menginang dalam masyarakat NTT. Setelah beberapa saat mengitari ruang pameran dan melihat koleksi-koleksi yang ada di sana, saya menemukan penjelasan terkait judul tersebut yang ternyata begitu sarat makna dengan filosofinya yang begitu luar biasa.
“Makan sirih pinang yang diramu dengan kapur akan menghasilkan limbah merah. Namun, siapa sangka, kalau di balik limbah merah yang berlepotan terdapat kristal-kristal cinta yang telah membangun rasa persaudaraan, kekeluargaan, dan gotong royong yang mendasari kehidupan sosial budaya orang Nusa Tenggara Timur”.
Dari penjelasan itulah, saya akhirnya memahami “Kristal Cinta di Limbah Merah” sebagai sebuah terminologi yang merepresentasikan betapa luhur dan bernilainya tradisi menginang dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur.
Menginang bagi masyarakat NTT tidak lain adalah sebuah warisan leluhur yang bernilai budaya tinggi, baik melalui kebiasaan menginang yang dilakukan maupun melalui keberadaan wadah pekinangan yang mengandung nilai-nilai luhur serta memiliki peranan yang penting, tidak saja memenuhi unsur seni, tetapi lebih dari itu memiliki simbol bermakna yang merangkai pesan para leluhur kepada generasi penerusnya.
Ketersediaan ragam koleksi wadah pekinangan ini pun dilengkapi dengan berbagai informasi, baik mengenai nama dan fungsi wadah pekinangan (seperti Lopa Perada, Tanga Wahil, dan Oko Mama), maupun nilai-nilai luhur dari tradisi menginang di NTT. Semua itu kemudian membantu saya untuk semakin mengenal bagaimana keberadaan tradisi pekinangan yang memiliki nilai dan bahkan peran penting dalam kehidupan masyarakat NTT.
Sebagaimana judul pameran tradisi menginang ini, termanifestasi secara jelas melalui keberadaan tradisi menginang dalam masyarakat NTT yang kaya akan nilai sosial dan budaya. Menginang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat NTT sebagai simbol keakraban, kebersamaan, kekeluargaan, dan keramah-tamahan universal yang melahirkan perasaan saling menerima, saling menghargai, saling mengerti, serta menumbuhkembangkan sikap toleransi dan gotong royong dalam kehidupan kolektif masyarakat NTT.
Sirih dan pinang juga memiliki peran penting dalam berbagai upacara dan ritus budaya, baik itu dalam upacara perkawinan, kematian, persembahan bagi leluhur, dan upacara-upacara adat lainnya. Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, sirih dan pinang menjadi sajian penerimaan dan penghormatan tamu, sebagai tanda cinta, sarana mempersatukan perbedaan, sebagai pengobatan tradisional, memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat, dan berbagai nilai lainnya.
Nilai-nilai ini tumbuh dalam kebersamaan makan sirih pinang yang dilakukan dalam keseharian masyarakat NTT maupun dalam konteks upacara adat dan budaya. Menginang telah menjadi satu tradisi yang memiliki nilai budaya serta berperan besar dalam mempersatukan perbedaan, mengakrabkan persahabatan, mempererat kekeluargaan, serta menumbuhkan solidaritas dan kebersamaan bagi masyarakat NTT.
Pementasan Tarian Daerah
Selama pelaksanaan pameran, saya juga berkesempatan menyaksikan pementasan tarian daerah dari beberapa sanggar dan paguyuban etnis di NTT. Adapun beberapa tarian daerah yang dipentaskan selama empat hari pelaksanaan pameran adalah pementasan tarian caci dari sanggar etnis Kabupaten Manggarai, tarian daerah dari etnis Malaka, tarian etnis Sabu, tarian etnis TTU, tarian etnis Atoin Meto (TTS), tarian etnis Sumba, tarian etnis Helong, tarian etnis Alor, dan tarian etnis Lembata. Selain itu, pihak UPTD Museum Daerah NTT juga menyelenggarakan perlombaan tari tradisional rokatenda dan kebalai tingkat SMA dan SMK se-Kota Kupang dan Kabupaten Kupang.
Kesempatan menyaksikan tarian daerah selalu membawa efek kagum sekaligus rasa bangga bagi saya sebagai putra daerah NTT. Berbagai tarian daerah yang dibawakan dalam balutan pakaian adat, dengan gerakan nan indah yang berpadu alunan musik tradisional, selalu mampu menciptakan nuansa berbeda dan kesan yang luar biasa. Dan bagi saya, itu tidak bisa tergantikan oleh apa pun.
Lebih lagi, kali ini saya menyaksikannya bersamaan dengan pameran tradisi pekinangan yang diselenggarakan pihak Museum Daerah NTT, yang akhirnya membuat saya menjadi bisa mengenal lebih dekat tentang tradisi menginang di NTT dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Museum Daerah NTT sendiri bagi saya bukanlah tempat yang asing. Saya sudah cukup sering mengunjungi museum, baik dalam bentuk kunjungan pribadi, keperluan tugas kuliah, pengenalan museum kepada rekan-rekan mahasiswa dari luar NTT, dan juga mengikuti beragam kegiatan yang diselenggarakan pihak Museum Daerah NTT, seperti lomba, workshop, dan juga pameran. Semuanya itu berdampak positif dalam memperluas wawasan dan pengetahuan saya tentang budaya dan sejarah di NTT. Dengan itu, kesan saya tentang museum pun tidak pernah berubah sejak pertama kali saya menulis tentang keberadaan museum: mengunjungi museum adalah menjumpai sejarah masa lalu, menemui peradaban umat manusia dari waktu ke waktu, dan serentak memberi diri untuk diperkaya dengan berbagai pengetahuan tentang sejarah dan budaya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.