Bukit Turgo memiliki tempat istimewa di hati saya. Bagaimana tidak? Tempat ini menjadi sumber inspirasi untuk saya menuliskan novel pertama. Di tempat yang sunyi dan udara sejuk pegunungan dengan halimun yang keluar lebih kerap dari lainnya ini pula yang menjadi pintu bagi saya mengenal Gunung Merapi.
Segelas kopi turgo telah tersaji. Sebuah warung kopi sederhana, Gubuk Jo’atmo berdiri di tengah pemukiman yang sunyi, di antara hutan pohon bambu, dadap, dan kopi Dusun Turgo, di batas utara Yogyakarta sebelum memasuki Taman Nasional Gunung Merapi. Pemiliknya adalah sepasang suami istri yang juga petani kopi, Pak Musimin dan Bu Rosinah. Di sebuah Sabtu siang, saya mampir sejenak lepas melakukan trekking ringan ke Bukit Turgo.
Cerita tentang kopi Bukit Turgo
“Sejak zaman Belanda, Mbak,” jawab Bu Rosinah ketika saya bertanya tentang keberadaan tanaman kopi di Dusun Turgo.
Perbincangan hangat di tengah udara Turgo yang sejuk kemudian terjadi. Tanaman kopi sudah ada sejak Johannes van den Bosch mencetuskan tanam paksa di nusantara, terutama di tanah Jawa. Lemahnya pengetahuan tentang pengolahan kopi, para petani khususnya di Turgo hanya memanen ceri dan menjualnya pada tengkulak. Belum lagi, kawasan Turgo sempat dihantam awan panas Gunung Merapi pada tahun 1994.
Wedhus gembel itu sebenarnya menghantam punggung Bukit Plawangan yang berada di sisi timur, kemudian memantul dan mengarah ke Turgo. Tragedi yang berhasil meluluhlantakkan Turgo. Pun mengubah cara pandang masyarakat yang memercayai bahwa Bukit Turgo yang usianya lebih tua itu akan melindungi mereka dari ancaman Merapi. Bahwa gunung yang dihuni oleh arwah dua empu sakti pembuat pusaka, Rama dan Permadi, tak akan berani kepada bukit yang dianggap sebagai ibu yang telah setia memangku siang dan malam.
Namun Gunung Merapi punya rumusnya sendiri. Ia layaknya tuan rumah yang bebas melakukan apa saja. Sementara kita, manusia hanyalah tamu. Meski begitu, Merapi tidak pernah ingkar janji. Ia selalu memberikan tanda-tanda jika hendak punya hajat, yang bisa dibaca melalui ilmu pengetahuan dan teknologi maupun mitologi.
Peristiwa meletusnya sebuah gunung dipercaya bukan sebagai bencana, melainkan merupakan proses alam yang memang seharusnya terjadi, membuktikan bahwa alam itu hidup. Lepas semuanya usai, tanah akan menjadi subur oleh unsur hara yang dihasilkan dari aktivitas vulkanik tersebut. Hal itu bisa dilihat dari kehidupan masyarakat di suatu lereng gunung yang hidup berdampingan dengan alamnya. Mereka percaya, bahwa gunungnya itu akan selalu memberikan keberkahan jika tidak serakah.
Kopi tersisa setengah. Masih di Gubuk Jo’atmo. Cerita tentang kopi berlanjut. Pak Musimin mengaku hanya memiliki tanaman kopi robusta. Sementara untuk arabika, beliau harus mendapatkannya dari kebun lain yang berada di ketinggian yang lebih tinggi. Pak Musimim juga sempat mengajak saya memasuki dome tempat ia menjemur biji kopi yang berada di samping rumahnya.
“Untuk roasting saja yang belum bisa saya lakukan sendiri karena belum punya alatnya,” akunya sekali lagi.
Pak Musimin mengaku, awalnya ia tidak begitu menaruh perhatian kepada tanaman kopi di dusunnya itu. Sisa-sisa batang tanaman kopi yang selamat dari awan panas yang lalu, ia ubah menjadi rumah untuk tanaman anggrek miliknya. Lepas seorang dosen salah satu universitas swasta di Yogyakarta melakukan riset tentang tanaman anggrek, melihat bahwa kopi turgo memiliki potensi untuk dikembangkan, barulah Pak Musimin mulai belajar mengolah kopi.
Seturut waktu, ia pun kemudian berani membeli ceri kopi dari warga sekitar dengan harga lebih tinggi dari tengkulak lalu mengolahnya sehingga menjadi bubuk siap saji yang bernilai jual tinggi. Usahanya itu pula yang kini membuat kopi turgo ikut bergeliat.
“Sekarang bisa buka (warung) setiap hari, Mbak,” jawab Bu Rosinah ketika saya bertanya tentang kepindahan warung yang semula di pinggir jalan dusun menuju samping rumahnya.
Sebelum berpindah tempat menjadi satu bersama rumah anggrek milik Pak Musimin di depan rumah, warung kopi ini bernama Kedai Kopi Alam Merapi, yang hanya buka di tiap hari Sabtu dan Minggu saja. Selain kopi, warung ini juga menyediakan teh dari kulit biji kopi atau dikenal dengan kaskara serta beberapa kudapan seperti pisang dan tahu goreng.
Untuk menuju Dusun Turgo sendiri, memerlukan waktu sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota Yogyakarta. Dari Tugu Golong Gilig, terus melaju ke arah utara, mengikuti alur Jalan Monjali. Lepas melewati jalanan dengan hutan bambu di kanan dan kiri, suasana Yogyakarta yang semula ramai, berubah menjadi sepi dengan kabut yang datang lebih kerap dari lainnya, hingga akhirnya memasuki Dusun Turgo.
Pendakian ke Bukit Turgo
Pendakian Bukit Turgo juga memakan waktu yang sama. Dimulai dengan memasuki hutan bambu yang masih sedikit terbuka, jalan setapak berlanjut dengan tangga batu di kelokan pertama hingga kemudian benar-benar berada di dalam hutan yang pekat.
Meski tidak terlalu tinggi, saya tidak pernah sekalipun meremehkan alam liar. Pendakian bukit yang memiliki ketinggian 1200 meter di atas permukaan laut ini, tidak bisa dikatakan mudah. Hutan yang tertutup, jalur yang sepi, ditambah di beberapa lokasi, harus melewati tangga batu yang curam, berpegangan pada tali tambang, dengan jurang Sungai Boyong di sebelah kanan. Belum lagi suasana yang cukup membuat bulu di sekujur tubuh meremang dan bau tanah yang sangat lembab dan dingin, serta aroma dupa yang cukup santer tercium ketika berada di Gua Jepang. Puncak bukit pun banyak berupa area terbuka yang tak terlalu luas dengan satu bangunan makam berlapis keramik merah muda.
Menurut penuturan seorang pemuda yang saya jumpai di puncak Bukit Turgo, ketika kami bersama-sama istirahat di suatu sudut rimbun, sebenarnya masih ada area terbuka di ujung bukit, tapi jalur menuju ke tempat itu berupa rumput liar yang tinggi, yang kalau diinjak, rumput itu cepat kembali berdiri. Menutup jejak sehingga banyak orang yang tersesat.
Namun yang pasti, di puncak Bukit Turgo itu pulalah saya bisa melihat puncak Gunung Merapi paling dekat dari sebelumnya. Memang, alam liar selalu punya rahasia. Ia punya rumusnya sendiri. Manusia hanya perlu membaca dan mempelajari agar geliatnya tak hanya membuat merenung, tapi juga tersenyum.
Sementara, Dusun Turgo pada zaman dulu adalah hutan belantara. Letaknya yang diapit dua sungai yang sering menjadi tempat muntahan lahar Gunung Merapi, Sungai Krasak dan Boyong, membuat Bukit Turgo terisolasi oleh hutan lebat dan menjadikannya tempat keramat, layak sebagai tempat pelarian. Orang-orang datang untuk sesuatu yang bersifat spiritual.
Di puncak Bukit Turgo, terdapat bangunan yang dipercayai sebagai makam Syeh Djumadil Qubro, orang yang pertama kali datang untuk melakukan laku, kemudian bermukim, dan pada akhirnya wafat. Pada era Tanam Paksa, kawasan ini menjadi tempat pelarian para pribumi untuk menghindari pajak yang tinggi. Kini, Bukit Turgo masih kerap didatangi para peziarah terutama di malam wingit.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Mengalir sampai jauh. Terbang hingga menghilang.