Sebelum mulai bercerita, ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu: Apa kamu sudah siap mengorbankan sedikit waktu untuk lepas dari Instagram, Twitter, FB, atau media sosial lain? Kalau jawabanmu “OK,” mari kita mulai.
Jadi, ceritanya, beberapa waktu lalu aku dan beberapa orang teman meluncur dari Kota Semarang ke arah Rawa Pening. Pagi sekali, masih jam 6. Tentu kami ke sana bukan untuk memotret matahari terbit—yang tentu saja sudah terbit—di pinggir rawa. Tujuan kami adalah sebuah desa bernama Kesongo di Tuntang, Kabupaten Semarang.
Ada apa di sana?
Oke, siap-siap, ya, mendengar jawabannya. Kalau kamu sedang menyeruput teh atau kopi, mending ditelan dulu. Jadi, ada apa di sana? Jawabannya: Kongres Sampah. Betul, kamu tidak salah baca. Sekali lagi: Kongres Sampah.
Aku yakin kamu pasti mengernyit. Barang apa ini? Aku, yang mendengar tentang acara ini sejak sebulan sebelumnya, juga agak kesulitan awalnya menalar acara ini. Tapi, setelah cari-cari informasi, aku jadi tahu sedikit-sedikit soal Kongres Sampah.
Kongres Sampah ini sengaja digelar pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada 12-13 Oktober 2019 lalu untuk meningkatkan kepedulian [masyarakat] soal pengelolaan sampah dan lingkungan. Kegiatan ini diharapkan bisa menelurkan berbagai ide dan kebijakan baru untuk menangani kedua persoalan itu.
Yang membuatku makin antusias ke sana, Kongres Sampah disemarakkan dengan aneka festival—fesyen, karnaval, seni pertunjukkan, dan kuliner. Semuanya—kecuali festival kuliner tentunya—memanfaatkan sampah yang sudah didaur ulang.
Maka, pagi itu aku bersemangat sekali menggeber si roda dua ke Desa Kesongo. Dari jalan raya, aku dan teman-teman masuk ke perkampungan. Pepohonan, jalan yang sedikit berlubang, dan warga lokal yang tersenyum lebar, menyambut kami, orang asing, dengan ramah.
Lalu, aku kemudian sadar bahwa ada sesuatu yang menarik dari desa ini. Di depan setiap rumah tersedia dua tempat sampah anyaman. Dilihat-lihat dari bentuknya, tempat-tempat sampah itu adalah handmade alias bikinan sendiri.
Menariknya, di bawah tulisan “sampah organik” dan “sampah non organik” ada terjemahan dalam bahasa Jawa, yakni “iso bosok” dan “ora iso bosok.” Dengan terjemahan itu, tentu warga akan lebih paham soal jenis sampah dan bagaimana memperlakukannya. Penyertaan tulisan berbahasa Jawa itu adalah ide cemerlang.
Melihat kearifan ini, sebagai manusia yang mengerti arti “organik” dan “anorganik/non-organik,” aku jadi tertampar. Mengetahui saja memang belum cukup untuk membuat seseorang konsisten beraksi.
Warga Desa Kesongo, sementara itu, yang belum tentu paham luar-dalam tentang keorganikan atau keanorganikan sampah, sudah mulai memisahkan sampah. Selain memisahkan sampah, perhatian mereka ke lingkungan juga tercermin dalam usaha mereka untuk membuat kerajinan tangan berbahan dasar sampah—juga eceng gondok dan rotan.
Kesenangan bagi penduduk Desa Kesongo adalah apabila seluruh warga bahagia, berkecukupan, sehat, dan hidup di lingkungan yang bersih.
Lalu kami tiba di lokasi Kongres Sampah. Banyak sekali produk olahan sampah yang kulihat di sana, mulai dari tas, dompet, pupuk, baju, bahkan minyak. Ada pula hiasan seperti bunga, ecobrick, lampu, gantungan kunci, dan lain-lain. Semuanya dikemas semenarik mungkin. Konon, karya masyarakat lokal berbagai usia itu sudah ada yang menembus pasar luar negeri.
Tentang kuliner, makanan yang tersaji di kongres pelopor itu adalah makanan lokal. Jadi, kalau yang kamu cari adalah makanan-makanan luar seperti pizza, spaghetti, atau steak, siap-siap saja untuk kecewa. Kamu, kawan, salah tempat.
Rangkaian acara Kongres Sampah ternyata bukan hanya eksebisi namun juga diskusi. Urun ide itu tidak hanya menguap begitu saja, melainkan akan dijadikan dasar untuk gebrakan-gebrakan baru dalam hal pengelolaan lingkungan.
Jadi, kawan, penantianku selama sebulan tidak sia-sia. Aku belajar banyak dari Kongres Sampah dan Desa Kesongo. Dalam perjalanan pulang, aku bertekad untuk lebih peduli pada pengelolaan sampah, sebab sampahku tanggung jawabku. Perlahan-lahan aku juga mungkin akan lebih peduli pada lingkungan.
Nah, sekarang silakan kembali ke Instagram, Twitter, FB, atau media sosial lain apa pun yang jadi rumah mayamu. Ceritaku selesai.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.