Tiba-tiba sebulan terakhir lini masa media sosial membicarakan Gunung Semeru, yang hampir empat tahun terakhir tutup karena pandemi dan aktivitas vulkanik. Namun, Ranu Kumbolo, mencuat sebagai primadona yang paling dirindukan banyak orang.
Teks & foto: Rifqy Faiza Rahman
Terutama ketika Juni lalu. Beberapa akun pemengaruh, komunitas lokal, atau lembaga pencinta alam baru pulang dari kegiatan bersih jalur pendakian bersama Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Ada satu-dua kawan baik saya yang ikut. Tujuannya memang hanya sampai ke Ranu Kumbolo. Mereka mendirikan camp dan memaksimalkan fasilitas shelter kayu di tepi danau berketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut.
Meski rute relatif tidak banyak berubah, tetapi pergerakan alam meninggalkan banyak jejak setelah pendakian umum ditutup sejak November 2020. Mulai dari longsor di jalur menuju Pos 3 setelah kawasan tebing Watu Rejeng, tumbuhnya banyak pohon di area berkemah Ranu Kumbolo, hingga permukaan debit air ranu yang lebih tinggi dari sebelumnya. Lama tak dikunjungi manusia, alam Semeru memulihkan diri sebagaimana mestinya.
Berita penurunan status aktivitas Gunung Semeru dari Level III (Siaga) menjadi Level II (Waspada) pada 15 Juli 2024 turut memantik obrolan di media sosial. Rata-rata menyuarakan rasa rindunya pada jalur pendakian Semeru, khususnya kenangan berkemah di Ranu Kumbolo. Lini masa bak menjadi tempat reuni para pendaki lintas generasi; sekaligus meledek pendaki yang belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di hutan Semeru.
Tidak terkecuali saya. Meski belum bersuara “ugal-ugalan” di media sosial, saya lekas membuka memori yang tersimpan di cakram keras eksternal. Melihat-lihat lagi kenangan tentang Ranu Kumbolo dalam rentang satu dasawarsa silam.
Bersiap dibekap dingin sejak petang
Umumnya pendaki tiba di Ranu Kumbolo sore hari. Pendakian dari Ranu Pani (2.200 mdpl)—desa terakhir dan pos registrasi pendakian TNBTS—membutuhkan waktu tempuh normal 4–5 jam untuk jarak sekitar 10 kilometer. Melewati jalur yang relatif landai sepanjang gapura pendakian, Pos 1, Pos 2, sampai Watu Rejeng (2.350 mdpl).
Trek akan menanjak menjelang Pos 3 dan kembali melandai saat mendekati Pos 4. Di pos terakhir ini, Ranu Kumbolo sudah terlihat sangat jelas. Tinggal menyusuri turunan terjal menuju sabana Pangonan Cilik, lalu berjalan melipir bukit hingga tiba di area shelter di sisi barat danau untuk berkemah.
Pada prinsipnya, pendaki bebas mendirikan tenda di mana saja, selama tidak terlalu dekat dengan bibir danau dan aktivitasnya tidak mencemari danau. Ranu Kumbolo memiliki arti penting dan sakral bagi kepercayaan masyarakat Hindu Tengger di Ranu Pani. Di area camp, terdapat prasasti berbahan batu andesit yang bertuliskan sebuah kalimat berbahasa Jawa Kuno. Artinya, prasasti tersebut menceritakan tokoh bernama Mpu Kameswara yang melakukan suatu ritual bernama tirthayatra pada tahun Saka 1447. Ritual ini merupakan salah satu rangkaian langkah hidup wanaprastha untuk bisa memasuki tahap akhir kesempurnaan yang disebut dengan sanyasin atau biksuka.
Saya membayangkan di masanya keheningan menyelimuti perjalanan dan laku tapa Mpu Kameswara di Ranu Kumbolo. Saat malam tiba, kedamaian tampak paripurna setelah bintang-bintang dan galaksi menyemut di kolom langit.
Lukisan malam yang harus diabadikan
Sebagaimana di malam terakhir pendakian saya pada akhir Mei 2014. Bertepatan dengan fase bulan mati atau new moon, Ranu Kumbolo begitu hidup. Terlihat tenda-tenda seperti bercahaya, disorot lampu senter para pendaki yang lalu-lalang. Sayup suara pendaki masih terdengar, meski samar.
Selebihnya adalah suara-suara dari corong alam. Gemercik air danau, embusan angin yang menyibak rerumputan dan ranting-ranting pohon. Bahkan langit gemerlap itu pun mungkin bersuara dalam diamnya. Maka jika ingin mengulang, kelak saat pendakian kembali dibuka, saya akan datang bermodalkan fase kalender bulan yang sama, untuk merasakan pengalaman serupa seperti dahulu.
Saya sempat berpaling ke belakang. Melihat siluet celah bukit di ujung Tanjakan Cinta. Gurat pepohonan menukik mengikuti kontur tanah. Di atasnya, bintang-bintang menyemut. Seolah-olah menyentuh pucuk pepohonan cemara gunung.
Sejatinya, saya juga menyaksikan pemandangan malam yang sama tatkala pendakian bulan November 2012. Namun, kamera yang saya bawa kurang memadai untuk merekam lukisan malam yang luar biasa itu. Kala itu, hanya tutur cerita dari mulut saya bagi mereka yang bertanya, tentang bagaimana melalui malam yang cerah di tempat semagis Ranu Kumbolo. Kini saya memiliki sedikit simpanan foto malam yang meriah di Ranu Kumbolo. Sebuah alasan paling kuat yang bisa mengajak saya kembali ke sana.
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.