Sore itu, menjelang pertengahan tahun 2014, entah bagaimana caranya saya lupa, kami berkumpul di sebuah pertigaan beberapa kilometer dari titik keramaian Kampung Inggris, Pare, Kediri. Buku catatan dan diktat Bahasa Inggris kami tinggal di tempat nongkrong atau pondokan masing-masing. Yang kami bawa hanya sedikit uang yang pas untuk ongkos pergi-pulang.
Itu hari penting. Semen Padang akan bertanding lawan Persik Kediri. Sebagian besar kawan—jumlah kami sekitar 10-15 orang barangkali—mengorbankan satu-dua pertemuan kursus yang sangat berharga itu. Pengorbanan yang beralasan saya kira. Sebagian besar di antara mereka adalah pelaut yang lebih banyak menghabiskan waktu bercengkerama dengan cakrawala di samudra ketimbang beradu pandang dengan lanskap daratan—apalagi tanah kelahiran. Menonton Semen Padang seperti perjalanan singkat ke kampuang nan jauah di mato.
Lucunya, tak semua dari kami orang Sumatera Barat. Dua kawan sekamar saya—satu dari Sulawesi Selatan, seorang lagi NTB—juga ikut. Dengan baju yang juga merah senada warna seragam Semen Padang, mereka sudah sukses menyaru menjadi suporter Kabau Sirah. Asal tak buka mulut, status mereka sebagai “penyusup” takkan ketahuan; karakter muka kami sama-sama Melayu.
Berdebar-debar kami menunggu bus kecil menuju Kediri yang tak kunjung lewat. Sambil menunggu, kami mengobrol entah apa, melempar lelucon-lelucon garing, saling mengejek, bertingkah tengil sewajarnya anak muda. Saya sendiri besar kemungkinan menghabiskan penantian itu dengan belajar menyempurnakan pronunciation umpatan bahasa Toraja dan Sasak pada dua orang sahabat sekamar.
Lama menunggu, bus belum lewat-lewat juga. Pare-Kediri tak terlalu jauh. Naik kendaraan umum sekitar 30-45 menit saja engkau sudah bisa mencapai Kediri dari Pare. Mujurnya, kepala suku kami jago mengatur waktu sehingga tak perlu khawatir akan telat. Kami masih punya banyak waktu untuk menunggu. Seburuk-buruknya, jika memang tak ada bus yang lewat, kami bisa mengacungkan jempol ke atas sambil berdoa pada semesta supaya ada orang baik yang mau memberi kami tumpangan ke Kediri.
Lalu harapan datang. Dari jauh, sebuah truk besar meluncur. Dari baknya, kepala-kepala manusia tampak bergoyang-goyang mengikuti getaran truk. Makin lama mereka makin dekat. Mungkin kami bisa menumpang angkutan itu ke Kediri.
Kami pun mulai bergerak ke pinggir jalan dan melambai-lambaikan tangan. Truk itu tampak melambat dan akhirnya berhenti sekitar sepuluh meter dari tempat kami berdiri. Tapi orang-orang dalam bak truk bergeming. Lalu seseorang menepuk dinding kabin truk itu, memberi kode bagi sang sopir untuk menginjak pedal gas si besar. Sejurus kemudian truk itu pun melaju meninggalkan kami. Orang-orang di bak truk itu pun tertawa.
Mereka suporter Persik.
Menang 2-1
Akhirnya ada bus yang lewat dan membawa kami ke Kediri. Sekitar setengah jam kemudian kami tiba di kota. Cuma perlu jalan sebentar agar kami tiba di stadion. Sambil menunggu gerbang dibuka, kami bertukar cerita dengan beberapa orang suporter Semen Padang lainnya yang sengaja jauh-jauh datang ke Kediri demi menonton tim kesayangan. Ada yang datang dari Malang, Surabaya, bahkan dari Bandung dan Jakarta.
Sekitar sepuluh menit sebelum pertandingan dimulai, kami masuk stadion dan ditempatkan di ruas penonton umum. Sekarang jumlah kami sekitar 20-25 orang. Jelas masih kalah jumlah dibanding suporter Persik yang mengisi sebagian besar stadion. Ribuan orang mungkin jumlahnya.
Dan mereka terbagi tiga. Sebelum bertanding saja mereka sudah saling berbalas nyanyian dan berusaha memamerkan kelompok mana yang paling asyik. Suara kami pendukung Semen Padang tentulah tak terdengar. Tak mengapa. Tak kuasa menyatakan keberadaan lewat suara, kami masih bisa menyuarakan eksistensi lewat warna.
Pertandingan pun dimulai. Suara pemain di lapangan tak terdengar, tertutupi suara suporter yang bergemuruh seperti suara ombak Laut Selatan. Bendera-bendera Persik berkibar ke kanan dan ke kiri. Suara-suara manusia bergabung memproduksi nyanyian yang menggetarkan hati. Pemain Persik pasti bersemangat sekali kala itu. Pertandingan kandang memang selalu berharga bagi sang tuan rumah.
Kami barangkali tak bisa menggetarkan hati para pemain Semen Padang, tapi orang-orang Indarung itu mampu menggetarkan gawang Persik. Tak main-main, dua kali! Sementara itu Persik hanya bisa membobol gawang Semen Padang sekali.
Momen-momen setelah Semen Padang berhasil membobol gawang Persik adalah momen-momen canggung. Satu stadion diam kecuali sekitar 25 orang berbaju merah di pojokan. Kedua gol itu seperti inside joke yang hanya pemain Semen Padang dan kami, para suporternya, yang paham—atau seperti lelucon kering ala orang Inggris.
Usai peluit panjang berbunyi, kami mesti menunggu sekitar 15-20 menit sebelum bisa keluar. Menunggu massa pendukung Persik bubar dulu dan pulang ke rumah masing-masing adalah pilihan yang bijaksana.
Mungkin sebenarnya kami tak perlu menunggu, sebab saya yakin suporter sepak bola Indonesia sudah cukup dewasa. Itu cuma bentuk antisipasi, sebab sebagian besar kami tumbuh bersama cerita-cerita kelam tentang kerusuhan pascapertadingan sepak bola. Dulu, saya baru berani menonton Semen Padang di GOR Agus Salim kelas 3 SMA, ketika saya merasa sudah mampu menghadapi keadaan-keadaan darurat.
Saat stadion sudah sepi barulah kami bersama-sama berjalan ke luar. Kami pulang ke Pare dengan langkah ringan. Tak ada yang lebih membahagiakan ketimbang melihat klub kotamu menang di rantau. Dan saya yakin sebagian besar kawan—tentunya selain kawan dari Sulawesi Selatan dan Lombok—pulang sambil menahan rindu pada telur asin dan kacang rebus yang selalu ada ketika kami menonton Semen Padang bertanding di GOR Agus Salim.