TRAVELOG

Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut

Perahu-perahu nelayan yang biasanya berdengung bising pada malam hari kini tak terdengar lagi dari kediaman Gofur. Laut Jawa yang kadang ombaknya menjilat-jilat pelatarannya itu juga sudah tak tampak. Hanya tembok beton setinggi dua meter memanjang yang kini terlihat, juga sebuah kubangan luas yang di dalamnya terdapat petak-petak tambak milik warga.

Kubangan luas itu dulunya adalah daratan, lalu terkena abrasi dan menjadi bagian dari Laut Jawa. Setelah tanggul laut sepanjang 3,6 kilometer dibangun dengan memotong sebagian laut dangkal itu, bagian dalam laut itu berubah menjadi kolam “kubangan” retensi pengendali banjir rob.

Gofur tinggal di Tambak Lorok, sebuah kampung nelayan yang berada di Kecamatan Tanjung Mas, Semarang Utara. Ia sendiri adalah seorang nelayan. Tiap menjelang malam Gofur berangkat melaut untuk menjaring udang dengan perahu oranye miliknya. Tengah malam Gofur kembali lagi ke darat, lalu menyetorkan hasil tangkapannya ke tempat pelelangan ikan di kampungnya.

“Bulan Desember itu harga hasil laut memang naik. Tapi kalau udang naiknya nggak seberapa. Yang naiknya melambung itu, ya, kerang hijau, kerang dara, ikan-ikan. Itu mahal semua. Kerang hijau dari lima ribu bisa naik sepuluh sampai lima belas (ribu),” katanya.

Saya pertama kali menemui Gofur di rumahnya pada Minggu, 8 Desember 2024. Kala itu, ia sedang duduk santai dengan salah seorang tetangganya di depan rumahnya. Ia mengenakan kaus putih bergambar wajah paslon Pilpres 2024, celana pendek hitam, dan sandal selop coklat. Sebuah ketu hitam tersampir di kepalanya, menutupi rambutnya yang mulai beruban. Umurnya 52 tahun.

Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
Gofur dan perahu warga oranye miliknya di dermaga sebelah timur kampung/Adinan Rizfauzi

Tambak Lorok Hari ini dan Muasal Warganya

“Orang Tambak Lorok ini rata-rata perantauan, orang pendatang. Yang asli Tambak Lorok, ya, yang masih kecil muda itu. Yang tua-tua aslinya orang luar. Banyak yang dari Demak seperti saya.” Gofur bercerita tentang kampungnya. Saya manggut-manggut mendengarkannya. 

Sebuah situs Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyebut Tambak Lorok adalah perkampungan nelayan terbesar di Kota Semarang. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jawa Tengah mencatat ada 700 lebih warga Tambak Lorok yang berprofesi sebagai nelayan. Kini, kampung itu memiliki 11.056 penduduk.

Belakangan ini Tambak Lorok tampak mendapat sorotan pemerintah. Sebuah pasar direvitalisasi. Saat saya berkunjung, pasar dua lantai dengan tembok biru itu banyak diisi oleh pedagang yang menjajakan hasil laut. Sebuah taman juga dibangun. Terletak di antara jalan satu arah kampung, memanjang lurus mengikuti jalan utama kampung. Banyak tetumbuhan di sana, juga tempat bermain dan kursi-kursi panjang, menjadi oase di tengah permukiman warga yang saling berdesakan.

Yang terakhir adalah pembangunan tanggul laut. Akhir 2024 lalu Presiden Joko Widodo meresmikan tanggul sepanjang 3,6 kilometer itu.

“Waktu pembangunan tanggul belum jadi, Pak Jokowi ke sini jam dua belas malam, hanya sama sopirnya saja. Nggak ada pengawalnya,” kata Gofur dengan suara bangga. “Sekarang kampung Tambak Lorok aman dari gelombang, aman dari pasang surut laut.” 

Efektifitas Tanggul Laut

Pemerintah mengklaim tanggul laut di Tambak Lorok akan bertahan sampai 30 tahun. Tapi saya mendengar bahwa tanggul laut itu sudah merembes pada waktu-waktu tertentu. Beberapa pakar menyebut tanggul laut memang efektif menanggulangi air pasang, gelombang, dan rob. Namun, ia hanya bisa diandalkan dalam jangka pendek. Di pesisir Semarang–Demak, daya tahan tanggul juga berpacu dengan penurunan muka tanah. Di sana penurunan muka tanah bisa mencapai 12 sentimeter per tahun.

“Menurut saya tanggul laut merupakan solusi yang efektif untuk jangka pendek. Tidak menyelesaikan akar masalah walau investasinya besar,” kata Ketua Departemen  Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang Ing Wiwandari Handayani dalam sebuah wawancara radio pada pekan ketiga Februari 2025 lalu.

Ketika saya menyusuri tanggul laut di Tambak Lorok, beberapa pemancing sedang khusyuk melakukan aktivitasnya. Kawasan industri Tanjung Mas terlihat jelas dari balik tanggul yang dibangun dengan anggaran 386 miliar itu. Seekor burung kuntul putih mencari mangsa di kubangan luas di kolam retensi. Melihat ada orang melintas tak jauh darinya, ia terbang rendah.

“Di Jakarta Utara tanggul laut dibangun lebih tinggi. Tapi sudah retak, air-airnya masuk ke dalam,” kata salah seorang rekan yang hari itu turut serta ke Tambak Lorok. Ia orang Bekasi. Barangkali ia sering menelusuri Jakarta Utara.

Jangan jauh-jauh sampai Jakarta Utara. Sekitar tiga tahun lalu, tanggul di PT Lamicitra Nusantara yang berlokasi di kawasan Pelabuhan Tanjung Mas jebol. Akibatnya, air rob masuk ke kawasan pelabuhan, sampai berhari-hari. Aktivitas industri terhenti. Tambak Lorok yang hanya berjarak selemparan batu dari pelabuhan juga kena rob. Saat itu, tanggul di kampung tersebut belum selesai dibangun.

  • Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
  • Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut

Tanggul Tol Laut Semarang–Demak

Kini, sebuah tanggul laut versi mercusuar sedang dibangun oleh pemerintah pusat. Tol Tanggul Laut Semarang–Demak. Tanggul sekaligus jalan tol sepanjang 27 kilometer itu akan melahap anggarannya 15 triliun. Sepuluh juta bambu digunakan sebagai material proyek tersebut, dirakit dan ditata sedemikian rupa menjadi matras untuk bangunan tanggul dan tol di atasnya. Konon, penggunaan matras bambu itu bisa menahan penurunan tanah.

Selain mempertanyakan efektivitas dan kekuatan matras bambu, beberapa kalangan khawatir keberadaan tol tanggul laut justru membawa malapetaka bagi daerah lain. Sebab, keberadaan tanggul Tol Tanggul Laut Semarang–Demak itu diperkirakan bakal mengubah arus laut. Daerah-daerah yang sebelumnya aman malah berpotensi kena rob hanya karena tidak dilalui tanggul.

Lantas, apa yang seharusnya juga dilakukan oleh pemerintah agar tak melulu bergantung pada pembangunan tanggul laut? Ing Wiwandari Handayani mengatakan, “Akar masalah di hulu harus mulai diperbaiki dengan menjaga kawasan resapan air dan tata kelola kota yang baik.”

Ketika Hidup Warga Pesisir Semarang Ditanggung Tanggul Laut
Matras bambu pembangunan tol tanggul laut terdampar karena terbawa gelombang besar pada akhir Januari lalu/Achmad Rizki Muazam via Mongabay Indonesia

Pada hari lain Gofur mengajak saya ke dermaga sebelah timur kampung. Ia tetap mengenakan kaus kampanye. Hanya saja, hari itu ia mengenakan kaus milik paslon lain. Tampaknya kaus kampanye menjadi pemberian yang berguna betul bagi orang seperti Gofur.

Terdapat sebuah tangga kayu di tanggul yang membatasi dermaga dengan permukiman warga. Kami menaiki tangga itu agar tidak harus berjalan jauh memutar. Ketika kaki saya sudah menapaki dermaga, saya melihat bambu-bambu sepanjang tiga meter yang teronggok di pojokan, tepat di samping tanggul. “Itu bambu-bambu proyek tol tanggul laut. Lepas dari kerangka dan terbawa sampai sini,” tuturnya. 

Awan hitam menggantung di langit sebelah utara, di atas Laut Jawa yang airnya berkecipak membentur tepian dermaga. Gofur duduk di sebatang bambu yang melintang. Ia merogoh saku celananya, meraih bungkus rokok dan geretan. Asap tipis meliyuk-liyuk di udara. Baunya berbaur dengan aroma laut. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Adinan Rizfauzi

Adinan Rizfauzi adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes). Selama kuliah, ia pernah aktif di Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Unnes untuk menekuni jurnalisme. Untuk melepas penat, ia gemar berjalan-jalan sambil menenteng kamera bekas kesayanganya.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Wisata Seribu Pantai di Maunori