Mungkin kita bisa saja sepakat bahwa tidak ada kesempatan kedua untuk mengubah kesan pertama, termasuk pada destinasi wisata yang kita tuju. Namun, kesan dan cerita baru selalu akan tercipta seiring jejak langkah perjalanan dan ragam cerita yang tersimpan di dalamnya. 

Mengenang Fatubraun sejatinya adalah mengenang perjalanan pertama ke sana tahun lalu, menginap semalam, menyaksikan atraksi budaya Amarasi, menyatu dalam kebersamaan dengan teman-teman PMM 1 Undana, dan segala kepingan cerita lain di dalamnya. Hari ini, kembali lewat Modul Nusantara saya kembali melawat ke sana, di tempat yang sama, tetapi dengan orang yang berbeda dan ceritanya yang berbeda pula.

Penghujung September yang panas menjadi momen keberangkatan ke sana. Bersama Pak Thom dan rombongan mahasiswa kelompok 5 Modul Nusantara Undana, kami berangkat saat matahari benar-benar di atas kepala. Bisa dibayangkan betapa menyiksanya panas Kota Kupang yang menuntun keberangkatan kami ke sana.

Rombongan berangkat menggunakan tiga unit mobil, dan tentu saja yang paling menyita perhatian adalah munculnya Kijang milik Bapak Minggus. Kebetulan saya menumpang mobil ini bersama Gufron, Prasetya, Yazid, dan Adam. 

Duduk di samping Pak Minggus, saya pun menggali banyak cerita tentang mobil Kijangnya yang melaju begitu kencang sepanjang jalan ke Fatubraun. Menurut cerita Pak Minggus, Kijang ini merupakan Kijang kelahiran 1996. Kendati usianya tak lagi muda, pengalaman ke Fatubraun membuat saya terkagum-kagum dengan tenaga Kijang yang sempat saya ragukan sewaktu berangkat dari Kupang. 

Berbicara tentang Pak Minggus, paling tidak, saya menemukan tiga hal unik yang menjadi ciri khas sosok kelahiran Sumba ini. Pertama, Pak Minggus punya ciri khas dengan topi koboi yang dikenakannya. Kedua, ia selalu menyapa orang sepanjang jalan, entah itu sesama pengendara maupun masyarakat yang sedang beraktivitas di pinggir jalan. Ia percaya bahwa orang lain adalah bagian dari dirinya, dan sekadar menyapa di jalan adalah bagian dari bentuk menghargai keberadaan orang lain di sekitarnya. 

Ketiga, Pak Minggus juga adalah sosok yang gemar memotret. Ia kerap menghentikan mobil untuk sekadar mengambil gambar, mulai dari pemandangan, perkebunan penduduk, dan lain-lain sepanjang jalan. Baginya, memotret adalah cara mengabadikan momen dan setiap kesempatan yang pernah dijalani.

Seiring laju mobil yang tanpa ragu melewati jalur menuju Fatubraun, saya terus bercerita dengan Pak Minggus. Hingga tanpa terasa, kami akhirnya tiba di Fatubraun. Sembari menunggu dua mobil rombongan lainnya, kami berhenti di pinggir jalan untuk sejenak menikmati keindahan Pantai Teres yang tersaji di depan mata. Kami berbincang dengan Bapak Minggus yang tentu saja tak melepas ponselnya untuk mengabadikan momen. 

Begitu rombongan lain datang, kami lantas melaju menuju Pantai Teres. Menariknya kali ini kami mengambil rute yang berbeda. Jika tahun lalu kami mengambil jalur kanan dan menikmati Pantai Teres dari gazebo-gazebo yang telah ditata rapi, kali ini kami mengambil jalur kiri. Kendati kondisi jalan yang hampir sama, tetapi mengambil jalur kiri ternyata harus melewati beberapa titik yang rusak. 

Pondok Singgah
Foto di Pondok Singgah/Oswald Kosfraedi

Kami melaju dengan hawa panas yang kian terasa. Tanpa mengetahui di mana kami akan berhenti, kami hanya menikmati laju Kijang Pak Minggus yang sesekali dipacunya dengan begitu kencang. 

Setelah beberapa saat, rombongan kami akhirnya berhenti di pinggir jalan tempat di mana sebuah pondok singgah berdiri. Setelah diarahkan oleh Pak Thom dan Pak Minggus, kami akhirnya duduk di bale-bale pondok singgah tersebut. 

Kami berbagi banyak hal, tentu saja dengan cerita Pak Minggus yang begitu banyak. Selain rombongan kami, seorang warga setempat juga duduk di tempat itu. Awalnya Pak Minggus memperkenalkan bapak tersebut sebagai penjaga pondok singgah itu. 

Tanpa banyak bicara, bapak itu hanya memandang ke arah lautan, tanpa melibatkan diri dalam obrolan kami. Saya lantas berpindah dan mengambil tempat duduk di sampingnya. Saya membuka obrolan kami hari itu dengan memperkenalkan diri dan daerah asal saya. Setelahnya kami larut dalam obrolan beberapa topik, yang sebenarnya sengaja saya tanyakan pada beliau. 

Beliau ternyata warga asli di wilayah tersebut, dan seperti kata Pak Minggus, ia juga menjaga pondok singgah yang kami tempati dan lahan di sekitarnya. Menurutnya, lahan-lahan di sana dulunya adalah milik mereka, tetapi kemudian diberikan kepada orang-orang lain yang ingin menggunakan lahan tersebut, termasuk pondok singgah tersebut. 

Saya cukup heran ketika mendengar kata “diberikan”, dan lantas memastikan kembali perihal hal tersebut. Bapak itu sekali lagi mengatakan bahwa memang mereka memberikan tanah pada orang yang ingin menggunakannya. 

Logika saya berkutat pada pertanyaan bagaimana mungkin tanah yang demikian potensialnya diberikan begitu saja. Di tengah kebingungan tersebut, secara tiba-tiba beliau mengatakan bahwa tanah ini kan bukan kita yang punya, kita manusia hanya mengelolanya. Detik itu juga saya terdiam. 

Setelahnya saya mencoba memancing beliau dengan pertanyaan baru tentang kelebihan Pantai Teres. Menurutnya kelebihan Pantai Teres terletak pada hasil lautnya yang melimpah. Sebuah jawaban yang sebenarnya tidak terlintas dalam benak saya. 

Pondok Singgah
Seberes kegiatan di Pondok Singgah/Oswald Kosfraedi

Ia juga bercerita bagaimana ia tumbuh di wilayah tersebut hingga saat ini ketika Pantai Teres sudah semakin banyak dikenal dengan pembangunan wisatanya yang semakin maju. Ia mengutarakan perubahan besar yang terjadi setelahnya adalah menurunnya hasil laut. Namun, ia juga tidak menampik kenyataan bahwa pengembangan wisata Pantai Teres juga berdampak baik sehingga pantai itu semakin banyak dikenal, semakin ramai dikunjungi, dan semakin ditata dengan baik. 

Di tengah perbincangan kami yang makin panjang, kami diinstruksikan untuk beranjak ke Fatubraun guna melaksanakan kegiatan kebhinekaan hari ini. Saya lantas berpamitan pada beliau dan mengikuti rombongan kami bergegas ke Fatubraun.

Mobil lalu melaju ke Fatubraun. Di tempat parkir Fatubraun, kami lalu berhenti dan lantas mulai menapaki satu per satu anak tangga menuju puncak. Ah, Fatubraun. Rasanya baru kemarin kami larut dalam kebersamaan dengan teman-teman PMM angkatan 1. Hujan menyambut kami dengan derasnya, lalu larut dalam sharing kebudayaan Amarasi, mendirikan tenda, bercerita hingga larut, menyambut sunrise di puncak, hingga kembali dengan cerita yang lekat di ingatan hingga hari ini. 

  • Puncak Fatubraun
  • Puncak Fatubraun

Saya masih ingat baik, bagaimana waktu itu saya sempat kepikiran untuk tidak mendatangi Fatubraun lagi musabab kesan luar biasa bersama teman-teman PMM angkatan 1. Namun, akhirnya hari ini saya menginjakkan kaki kembali: di tempat yang sama, dengan orang yang berbeda.

Saya mengamati sekitar dengan alamnya tak asing juga kenangannya yang masih terekam jelas. Fatubraun menjadi tempat dengan kisah dan kesan terbaik di angkatan 1 dan kini menjadi pembuka di angkatan 2.

Kami lantas menapaki anak tangga menuju puncak. Tak ingin melewatkan kesempatan, kami lantas mengabadikan momen begitu kami tiba di puncak Fatubraun. Tawa kami mengalun satu di puncak Fatubraun. Sembari bergantian mengambil foto, kami saling berbagi cerita. 

Setelah hampir satu jam lebih, dengan matahari yang kian turun, kami lantas bergegas untuk pulang kembali ke Kupang. Sebelum pulang, terbesit ide untuk menggagas tagline kelompok 5 selama pelaksanaan Modul Nusantara dalam beberapa bulan ke depan. Alhasil, lahirlah “Kelompok 5 beda na. Sond jalan sond asyik”, dan hari itu  tagline  itu pun berkumandang untuk pertama kalinya. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

1 komentar

piesus 10 Desember 2022 - 12:06

waw rilkhh

Reply

Tinggalkan Komentar