Tulisan “Rarama Bebye Ro Rumfarkor Ine” di gapura kayu yang sudah mulai berlumut menyambut kami saat memasuki kompleks SD YPK Getsemani, Kampung Saporkren, Raja Ampat. Deretan kata itu berasal dari bahasa Biak Betew yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kamu yang Datang ke Sekolah Ini.”

SD YPK Getsemani menjadi satu-satunya sekolah di Kampung Saporkren, Distrik Waigeo Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Sekolah itu memiliki 90 orang murid dan 10 pengajar. Ada enam kelas dalam kompleks yang terdiri dari dua bangunan itu.

Menurut penuturan Darius Ap, seorang guru di sekolah SD YPK Getsemani, proses kegiatan belajar mengajar berubah semenjak COVID-19, meskipun tak banyak. Walaupun wilayah itu masih dikategorikan sebagai zona hijau, kegiatan belajar mengajar harus mengikuti protokol COVID-19. Waktu belajar digilir. Satu hari adalah waktu belajar bagi kelas 1, 3, dan 5. Hari berikutnya giliran kelas 2, 4, dan 6. Tiap kelas pun dibagi menjadi dua demi menjaga jarak. 

“Anak-anak di sini, sih, masih biasa saja dengan COVID-19. Mereka tahu (tentang COVID-19) karena kami juga sering informasikan. Tapi (pandemi) tidak menjadi hal yang menakutkan bagi mereka,” ungkap Darius.

Jika dari sisi pendidikan tidak banyak yang berubah dari Kampung Saporkren, kondisi wisata memantau burung (birdwatching) beda cerita.

Menyusuri hutan Saporkren

Hutan Saporkren dikenal sebagai habitat dari lima spesies burung endemik Pulau Waigeo, di antaranya cendrawasih pohon atau cendrawasih merah (red bird-of-paradise), cendrawasih belah rotan (cendrawasih Wilson), Raja Ampat pitohui, gagak hutan (brown hooded crow), dan spice imperial pigeon (merpati yang memiliki mahkota). Semuanya hidup bebas, bahkan terkadang sampai masuk kampung.

Homestay Saporkren

Homestay Saporkren/M. Syukron

Semaraknya wisata memantau burung Saporkren berimbas pada okupansi penginapan-penginapan (homestay) di kampung itu. Karena lazimnya pengamatan dilakukan di pagi hari, para birdwatcher lebih senang menginap di homestay yang jaraknya tak jauh dari hutan Saporkren ketimbang menyewa kamar di tempat lain. Tapi itu dulu, sebelum pandemi datang.

Sony Rumbino, salah seorang peserta kegiatan penyuluhan pertanian yang ternyata juga seorang pemandu wisata berkata bahwa sejak Februari tidak ada lagi tamu yang datang ke Saporkren. Pandemi membuat rutinitas Sony dan warga kampung berubah. Kondisi begini adalah anomali. Sejak 2004 ketika Sony dan beberapa orang warga mulai memandu wisatawan dari dalam dan luar negeri melihat burung di Saporkren, baru sekali ini situasi begini terjadi. 

Tentu pengaruhnya besar sekali bagi kondisi perekonomian penduduk Saporkren yang hidupnya bergantung pada pariwisata. Sony merespons situasi dengan membuka lahan dan berkebun sejak Mei kemarin. Ia perlu melakukan sesuatu untuk menghidupi istri dan empat orang anaknya.

Menyusuri Hutan Saporkren

Menyusuri Hutan Saporkren/M. Syukron

Sony berbaik hati mengajak kami ke hutan untuk melihat kebunnya. Lokasinya tak seberapa jauh dari permukiman. Hanya perlu sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah terakhir, lewat jalan setapak tak mulus. Tanah basah dan licin, namun Sony berjalan santai tanpa alas kaki sambil menenteng kamera DSLR Canon—pemberian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)—yang ia gunakan untuk memotret satwa.

Hutan sudah menjadi arena bermainnya. Aktif dalam kelompok tani hutan yang mengawasi kawasan Saporkren (2.000 ha)—dan beberapa kali menangkap pemburu liar yang masuk hutan untuk menembak burung—membuat kakinya kebal menapaki hamparan batugamping khas bentang alam karst. Santai sekali ia berjalan. Sementara itu, kami yang meskipun sudah memakai alas kaki, kepayahan menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset.

Kebun Kecil di Hutan Saporkren

Kebun kecil di hutan Saporkren/M. Syukron

Kebun kecil Sony Rumbino

Setelah melewati rintangan berupa semak belukar dan pohon-pohon roboh, kami pun tiba di lahan Sony. Kebun seluas sekitar 50×60 meter itu ia tanami kasbi, betatas, sirih, dan jagung yang bibitnya masih bisa ia cari dengan mudah di hutan. Agar tidak dirusak oleh babi hutan, Sony melindungi kebunnya dengan pagar kayu setinggi setengah meter. Sambil menunggu panen pertamanya, ia kini sedang mempersiapkan bibit-bibit tanaman lain untuk ditanam.

Bagi Sony, kendala dalam berkebun adalah soal modal awal untuk membiayai pengadaan alat dan bahan untuk pembibitan dan merapikan lahan. Pengetahuan yang ia dapat dalam penyuluhan ketahanan pangan oleh tim EcoNusa COVID-19 Response Expedition, serta bantuan peralatan pertanian yang diberikan, rasa-rasanya bisa mengangkat sedikit beban di pundak Sony dan warga Saporkren yang sedang berjuang bertahan di masa pandemi.

Wah, jadi rindu bercocok tanam di Pulau Kapoposang!


Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id. 

Tinggalkan Komentar