Malam belum begitu larut tatkala saya melambaikan tangan kepada seorang pengemudi becak yang sedang mangkal tidak jauh dari hotel tempat menginap di Jalan Wolter Monginsidi, Solo, Jawa Tengah, awal Juni, tujuh tahun silam.
“Dhereaken teng Benteng, pinten?” Tanya saya dalam bahasa Jawa tatkala pengemudi becak itu menghampiri.
“Gangsalwelas,” jawabnya.
Tanpa saya tawar lagi, saya langsung duduk tumpang kaki di atas becak. Tujuan saya malam itu adalah kawasan Benteng Vastenburg, tempat digelarnya acara Karnaval Vastenburg.
Malam itu, untuk kedua kalinya saya menyambangi Vastenburg. Kunjungan saya pertama ke benteng ini yaitu pada tahun 2011. Saat itu, seusai dolan-dolan ke Pasar Klewer, saya iseng berjalan ke arah utara hingga bundaran Gladak. Sudah lama saya mendengar keberadaan benteng ini dan penasaran untuk melihatnya secara langsung.
Lokasi Vastenburg tak begitu jauh dari bundaran Gladak. Siang itu, saya sempat mengitari Vastenburg yang tertutup pagar seng tinggi dan mencari-cari akses untuk melihat bagunan itu dari jarak yang lebih dekat. Setelah beberapa saat berkeliling, akhirnya saya menemukan celah di sisi barat, yang memungkinkan saya untuk masuk dan melihat sosok benteng itu.
Semak-semak dan rumput liar langsung menyeruak begitu saya mencoba menerobos masuk melewati celah pagar seng yang menutup seluruh bagian Benteng Vastenburg. Tampaknya benteng tersebut sudah sejak lama dibiarkan tak terawat. Saya dapat melihat gerbang utama benteng itu dan sempat mengabadikannya menggunakan kamera saku. Namun, saya tak mungkin bergerak lebih jauh untuk mendekati gerbang Vastenburg mengingat semak-semak yang tumbuh di depannya cukup tinggi.
Benteng tertua
Benteng Vastenburg termasuk ke dalam sepuluh benteng tertua peninggalan Belanda. Benteng seluas 9,7 hektare ini dibangun tahun 1745 oleh Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) atas perintah Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff. Tujuan utama pembangunan benteng ini sendiri adalah sebagai upaya pihak Belanda untuk mengawasi aktivitas Keraton Surakarta—di samping sebagai pusat garnisun pemerintah Belanda.
Awalnya, benteng ini bernama Grootmoedigheid, yang secara harfiah artinya ‘kebesaran hati’. Namun, sejak Februari 1861, berganti nama menjadi Vastenburg, yang berarti ‘istana yang dikelilingi tembok’.
Bentuk bangunan Benteng Vastenburg berupa bujur sangkar dengan tinggi tembok sekitar enam meter. Di sekeliling benteng terdapat parit yang cukup dalam dan lebar serta berisi air yang berfungsi sebagai zona perlindungan. Bagian dalam benteng dipetak-petak dijadikan barak militer dan juga penjara. Di tengah benteng, terdapat lahan terbuka yang dulunya dijadikan arena persiapan militer atau arena apel pasukan militer.
Dulu, untuk keluar dan masuk benteng, tersedia fasilitas dua buah jembatan derek yang bisa diangkat-turunkan. Satu jembatan berada di pintu depan dan satu lagi berada di pintu belakang benteng. Di malam hari, kedua jembatan ini diangkat sehingga orang yang tidak berkepentingan tidak dapat memasuki kawasan Benteng Vastenburg. Tentu saja, jembatan derek itu kini sudah tidak ada lagi karena sudah digantikan oleh jembatan permanen.
Di masa-masa perang kemerdekaan, tidak sedikit pejuang kemerdekaan Indonesia yang sempat dipenjarakan dan bahkan disiksa di dalam Benteng Vastenburg oleh pihak Belanda.
Tatkala tahun 1942 pemerintah Belanda menyerah kepada Jepang, Vastenburg otomatis jatuh ke pihak tentara Jepang. Tiga tahun kemudian, saat Republik Indonesia berdiri, kepemilikan benteng ini pun akhirnya berada di tangan pemerintah Republik Indonesia dan lantas dimanfaatkan untuk markas besar pasukan Brigade Infanteri (Brigif) 6 Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Dengan alasan antara lain untuk penataan kota, tahun 1986 Brigif 6 Kostrad harus hengkang dari Benteng Vastenburg. Tidak lama setelah itu, Benteng Vastenburg menjadi tidak terawat dan kumuh. Rumput maupun semak belukar tumbuh menutupi sekeliling benteng itu, seperti yang pernah saya saksikan pada kunjungan pertama saya ke benteng itu pada tahun 2011.
Agenda seni dan budaya
Setelah lama membiarkan benteng itu terlantar, Pemerintah Kota Solo akhirnya berupaya membenahi kawasan Benteng Vastenburg. Di antaranya saja dengan menjadikan Benteng Vastenburg sebagai tempat penyelenggaraan sejumlah agenda seni dan budaya. Salah satunya adalah gelaran Karnaval Vastenburg yang dilangsungkan pada Sabtu malam di pekan pertama Juni, tahun 2014.
Karnaval Vastenburg yang perdana kali itu bertajuk “Bambu, Itulah Pilihanku”. Seluruh peserta karnaval yang terdiri dari 330 penampil dan berasal dari enam kota di Indonesia mengenakan kostum batik yang dikombinasikan dengan aneka pernak-pernik dari bambu. Mereka serentak bergerak dari kompleks Balai Kota Solo di Jalan Jenderal Sudirman menuju kawasan Benteng Vastenburg tempat mereka melakukan performance di panggung utama yang terletak di tengah-tengah benteng.
Konsep Karnaval Vastenburg pada malam itu terinspirasi oleh perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina di tahun 1925 tatkala Benteng Vastenburg kala itu dihiasi berbagai jenis ornamen bambu.
Semenjak dilangsungkannya Karnaval Vastenburg, berbagai acara seni budaya kemudian kerap dihelat di benteng tersebut. Sebelum COVID-19 mewabah, acara seni dan budaya yang terakhir sempat digelar di benteng ini adalah Festival Bekraf dan Festival Reog.
Semoga pandemi COVID-19 segera usai sehingga beragam agenda seni dan budaya dapat kembali digelar di benteng ini.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu
Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.
1 Comment