Lepas mata air, saya mendapati vegetasi hutan yang mulai rapat. Pohon-pohon menjulang tinggi, jenis tanaman beraneka ragam. Dan di sini pula, kali pertama saya berjumpa dengan Amorphophallus titanum yang masih berbentuk pohon. Usianya kira-kira sekitar 5 tahun, pohonnya menjulang tinggi, hijau, dengan cabang-cabang penuh daun. Awalnya, saya tidak mengira bahwa ini merupakan Amorphophallus mengingat rupa bunganya saat mekar tak memiliki daun.
Masyarakat Batu Katak menyebut Amorphophallus dengan nama “bunga”. Iya, hanya bunga. Bunga sudah merepresentasikan bahwa tanaman tersebut merupakan Amorphophallus, apapun jenisnya.
Dari informasi yang saya dapatkan dari Bang Zuah, Amorphophallus titanum merupakan jenis Amorphophallus terbesar di dunia. Yang paling kecil, namanya Amorphophallus prainii, rupanya seperti A. titanum tetapi ukurannya jauh lebih kecil. Satu lagi, yakni Amorphophallus gigas yang berbentuk seperti mahkota. Ketiganya merupakan jenis bunga bangkai, namun berbeda dengan Rafflesia arnoldii. Di Sumatra, jenis A. titanum dan A. gigas menjadi bunga unggulan karena secara ukuran sama-sama besar. Sedangkan A. prainii, ukurannya hanya sebesar botol air mineral 1500 ml.
Saya sedikit harap-harap cemas karena sekitar tiga puluh menit berjalan, kami belum bertemu dengan satwa apapun. Kecemasan tersebut kemudian berlalu begitu saja saat saya kembali menemukan bunga. Kali ini, masih berbentuk batang bunga, tampak seperti pohon rebung.
“Yang pendek itu akan menjadi bunga,” Bang Darma yang juga pemandu kami menjelaskan kepada saya sambil menunjuk dua bakal bunga di seberang. Membutuhkan waktu kurang lebih sekitar tujuh tahun untuk si bakal bunga menjadi bunga, dan mekar. Siklus hidupnya mulai dari tumbuh batang sekitar empat hingga lima tahun, mati, baru kemudian muncul bakal bunga dan menjadi bunga tunggal, mati lagi, baru keluar bunganya. “Nah, ketika mulai saat mekar (blooming) hingga layu, bunga hanya membutuhkan waktu maksimal 36 jam saja,” terang Bang Zuah.
Tentu, hal ini menjadi magnet untuk menarik wisatawan datang ke sini. Berjumpa dengan bunga yang membutuhkan waktu tujuh tahun untuk mekar, dan hanya memiliki waktu mekar sekitar tiga hingga tujuh hari saja.
Berbeda dengan Rafflesia arnoldii, Amorphophallus tumbuh menyebar, bahkan lokasinya bisa berpindah dari lokasi tumbuh bunga yang pertama. Masyarakat Batu Katak pernah mencoba menanamnya, namun tidak berhasil tumbuh. Jadi, kalau ingin melihat bunga harus trekking ke dalam hutan. Itu pun, belum tentu beruntung bisa bertemu dengan si bunga.
Saya kemudian teringat cerita seorang kawan yang dua minggu sebelumnya datang ke sini. Hannif bersama rekan-rekan DESMA Center mendadak punya agenda menyusuri hutan lebih dalam, dan beruntung sekali mereka mendapati bunga yang sedang mekar. Padahal, tiga hari sebelumnya mereka sudah survei menyusuri hutan namun hanya bertemu bakal bunga saja. Hari itu, entah, keberuntungan macam apa yang ia dapatkan, membuat saya pada akhirnya iri padanya.
Dari lokasi kami berdiri pula, di atas tebing ada dua batang bunga yang tumbuh besar di sela-sela jurang. Saya melongok ke atas untuk mengamatinya lebih detail. Tak jauh dari situ, Bang Darma kembali meminta kami melongok lebih ke atas lagi, ke sisi sebelah kiri kami berdiri. Kali ini ia memperlihatkan sarang orang utan. Bentuknya seperti sarang burung, tetapi ukurannya jauh lebih besar. Empunya sarang sendiri, entah sedang di mana. Bang Darma juga menunjukkan pohon Ficus, salah satu pohon yang menjadi tujuan orang utan, siamang, dan juga Thomas leaf monkey saat musim buah tiba. “Paling sedikit ada dua orang utan datang kalau pas musim buah,” ujarnya.
Di dalam hutan, cahaya matahari tak banyak masuk. Meski tidak panas, tapi keringat terus mengucur dari kepala hingga menetes ke punggung. Kadang, untuk menaiki bukit, dengkul saya harus bertemu dengan jidat saking tingginya pijakan. Lumayan sekali sebagai permulaan.
Beruntungnya, sepanjang perjalanan belum ada pacet yang menggigit bagian tubuh. Perjalanan lalu kami lanjutkan, kali ini trek bebatuan besar dan kasar ada di hadapan. Saya sendiri cukup kesulitan untuk melewatinya karena selain menanjak, jalurnya juga tidak terlalu kelihatan.
Setelah satu jam perjalanan, kami berhenti sebuah sungai kecil. Airnya bening, dan dingin. Di tengah sungai, terdapat gundukan tanah dan bebatuan, di atasnya terhampar beragam jenis buah segar seperti semangka, pisang, jeruk, rambutan, dan tak lupa nanas! Tentu saja, saya langsung mengambil satu potong besar nanas Medan yang menjadi buah favorit sejak tiba di Langkat. Rasanya asam manis, meski tidak dingin, tapi lebih dari cukup untuk menjadi pemadam dahaga.
“Jika sudah selesai makan, mari kita lanjutkan perjalanannya. Setelah ini kita akan melewati hutan kering.” ucap Pak Hepi.
Saya mengganti sepatu dengan sandal sebelum berjalan kembali, rasa parno akan gigitan pacet memang menggelayuti, membuat saya memakai sepatu, dan mengganti sandal cadangan untuk digunakan saat tubing. Merepotkan dan mempersulit diri sendiri memang. Tapi ya sudahlah.
Kami sudah berjalan sekitar dua puluh menit, lepas dari sungai. Tanah yang kami tapaki masih sama, kering. Vegetasi juga tak serapat sebelumnya. Peacock fern banyak tumbuh di sini, warna daunnya agak berbeda dari yang sebelumnya saya temu di hutan tadi. Kali ini hijau dan biru. Mungkin karena cahaya matahari yang masuk ke sini jauh lebih banyak daripada di dalam hutan. Bang Darma memetik beberapa lembar, lalu mengusap-usapkannya ke tangan. “Ini bisa jadi penangkal nyamuk, lho!” katanya sembari terus mengusapkannya hingga lengan.
Baru sekitar 100 meter berjalan, Kak Ely—yang juga salah seorang peserta famtrip—memberitahu saya beberapa anggrek hutan yang kami temui di pinggir jalur. Ada dua jenis, warnanya kuning dan ungu. Sayang, saya tak mengetahui lebih banyak tentang keduanya.
Beberapa pohon tumbang menghadang kami setelahnya. Tidak terlalu banyak, namun membuat kami harus membungkuk dan berjalan perlahan hingga pemberhentian selanjutnya yakni bawah pohon kepeng—yang begitu menarik perhatian Ray, Febrian, dan Kak Ely.
Dari jauh, tampak buahnya melekat pada batang pohon, menggerombol seperti anggur, namun ukurannya jauh lebih besar. Nyenengke! Warna buah yang masih mentah yakni hijau, sedangkan yang mulai matang berwarna kuning kecoklatan, mirip kelengkeng. Karena ikut penasaran, saya meminta Ray melemparkan satu buah untuk saya coba. Bang Joe, yang kebetulan membawa pisau, memetik satu untuk saya. Ia mengopernya kepada Ray, sebelum akhirnya berakhir di mulut saya.
Dari dekat, buah kepeng lebih mirip dengan manggis baik dari tekstur buah hingga bijinya, meski ukurannya tak sebesar manggis. Cara mengupasnya pun juga berbeda. Karena tak bisa membelahnya, saya asal mengupasnya dan buru-buru melahapnya. “Berrrrrrr,” reaksi saya saat memakan buah kepeng. Ray bilang, rasanya asam dan ada manisnya. Namun yang saya rasa, hanya asam, sekali. Tapi tetap enak, masih bisa saya nikmati.
Dua ekor Millipede menyambut kami di titik start tubing yang berada di pertemuan antara Sungai Sikelam dan Sungai Berkail. Salah satu binatang yang paling lambat saat berjalan ini mencuri perhatian kami lagi, berpindah dari satu tangan ke tangan lain sebelum melepaskannya kembali ke hutan.
“Wah, wah, wah! Tolong saya, Bang. Tolong,” saya berteriak panik menuju Bang Joe. Beberapa pacet tanpa saya sadari menempel di ujung kaki, hingga paha bawah saya. Mereka seolah menari-nari, menggerakkan badan, meliuk-liuk dan bersiap menghisap darah. Saya sempat kibas-kibaskan kaki ke sungai, namun pacet-pacet itu tak kunjung lepas hingga Bang Joe mencabutnya satu per satu. Akhirnya, di ujung perjalanan trekking ini, saya kena pacet juga. Pasrah.
Semua peserta kemudian bersiap tubing, satu per satu mengenakan life jacket, memasukkan barang-barang ke dalam dry bag, dan duduk manis di atas ban. Selama dua puluh menit, kami menyusuri Sungai Berkail yang hari itu airnya begitu jernih dan arusnya tak begitu besar. Meski begitu, saya tetap terjatuh dari atas ban setelah rombongan kami menabrak rombongan di depan yang tersangkut batu. Sah, basah kuyup.
Usai menyusuri Sungai Berkail, kami tiba di Jungle River—titik akhir dari pengarungan. Di sini, makan siang dengan lauk khas Karo bernama tasak telu menyambut raga lelah karena keseruan trekking dan tubing. Kali ini, tasak telu tersaji bersama ayam bumbu pedas, lalapan daun singkong, labu kukus, serta sambal goreng kentang. Perpaduan yang pas. Kata Bu Lorisma, bumbunya hanya tiga macam.
Sekilas, rupa tasak telu seperti serundeng. Warna coklat mudanya tidak begitu pekat. Serabut-serabut dagingnya tampak seperti kelapa parut. Nyemek, dan empuk. Rasanya pun tidak pedas meski dibumbui dengan cabai merah. Gurih sekali dan terasa sangat enak di lidah.
Sebagai hidangan penutup, saya mencicipi cimpa dan es kelapa muda selasih. Ini kali pertama saya makan cimpa. Dari luar terlihat seperti lepet, tetapi ternyata isinya jauh berbeda. Cimpa terbuat dari tepung pulut yang diuleni hingga lembek lalu diisi dengan gula merah dan kelapa. Pada adonannya ditambahkan sedikit merica. Daun singkut—daun yang mirip dengan daun pandan, tetapi ukurannya lebih lebar—menjadi pembungkusnya sebelum mengukusnya di atas tungku. Bu Nurmayanti-lah yang memasak sajian cimpa siang hari itu, di tengah kesibukannya, ia masih sempat menceritakan proses pembuatannya kepada saya dan Fani dengan cepat dan semangat.
Semua hidangan tadi saya nikmati di pinggir Sungai Berkail, tepatnya [masih] di Jungle River. Jika datang pada waktu tepat, satwa endemik bisa kita lihat dari sini. Hari itu, kami cukup kesiangan untuk jalan sehingga tidak bertemu dengan satwa, waktu makan mereka sudah lewat begitu penjelasan yang saya dengar dari Bang Zuah. Jika berangkat lebih pagi, sebelum pukul sembilan, dan jika beruntung, kita bisa mendengar suara monyet dan melihat mereka bergelantungan. Lalu, jika meninggalkan Jungle River terlalu sore, sekitar pukul lima hingga pukul enam, satwa juga akan menampakkan diri. Beberapa di antaranya yakni Black handed gibbon dan Yellow handed gibbon yang lumayan langka. Nah, kalau cuaca sedang hujan, biasanya ada biawak besar yang menyeberang.
“Setidaknya kami bisa melihat lingkungan, jalur jalan dan makan dulu lah sebelum bertemu langsung dengan satwanya,” gumam saya.
Para stakeholder, termasuk DESMA, selalu memberikan edukasi, dan masyarakat sepakat tidak ada feeding kepada satwa untuk memancing mereka datang saat ada kunjungan wisatawan. Jadi, kalau memang ke sini, jauhkan ekspektasi bertemu satwa karena menurut saya itu menjadi bonus dari perjalanan menyusuri Batu Katak.
Karena sepanjang jalur trekking kami tidak bertemu dengan bunga yang sedang mekar, malam harinya Bang Zuah memperlihatkan kepada saya dokumentasi Amorphophallus titanum dari gawainya. “Sekilas kayak bunga palsu, ya? Nggak seperti tanaman. Ini ukuran mini memang segitu besarnya, bukan karena efek kamera atau angle pemotretan, ya!” ujar Bang Zuah.
“Ke Batu Katak itu nggak cukup satu hari, Mbak,” kata Bang Zuah menutup obrolan malam itu.
Pada 22-25 September 2022 lalu, TelusuRI mengikuti kegiatan Familiarization Trip Ekowisata Batu Katak, yang diselenggarakan oleh DESMA Center sebagai tindak lanjut dari kegiatan Digitalisasi dan Promosi Ekowisata serta Penguatan Kapasitas Pelaku Ekowisata di Taman Nasional Gunung Leuser, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
Header foto: Insan Wisata/Hannif Andy
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.