“Mas, saya mau ke Kampung Wisata Kayutangan. Ada rekomendasi pemandu yang bisa temani saya keliling, nggak? Saya kebetulan lagi di Malang.” Begitu pesan singkat yang saya kirim kepada Mas Aan—penggiat ekowisata di East Java Ecotourism Forum, sekaligus kolaborator TelusuRI yang saya temui secara virtual pada awal pandemi COVID-19.
Ia kemudian mengirimkan nomor seorang pemuda warga Kayutangan, sekaligus bilang “Saya sudah teruskan pesan kamu ke dia, langsung hubungi saja. Kalau dia nggak bisa, hubungi nomor kedua ya!”
Lima belas menit kemudian, saya tiba di sebuah gang kecil di tepi Jalan Kawi setelah menyusuri trotoar Jalan Arif Rahman Hakim dari Toko Oen yang masih berantakan karena proyek pembangunan.
Plang “HATI-HATI! 50 M LAGI ADA PEKERJAAN PROYEK KAYU TANGAN HERITAGE” ada di sepanjang jalan yang saya lewati. Meski cukup lenggang, namun debu-debu proyek bertebaran. Membuat pejalan seperti saya tak nyaman. Pun, cuaca pas panas-panasnya, kala itu waktu menunjukkan pukul dua siang. Nafas saya mulai tersengal-sengal. Meski jarak Toko Oen ke Kayutangan tak jauh, namun ransel yang menempel di punggung lumayan berat membuat ritme jalan saya melambat. Saya mengernyitkan dahi, sambil mengelap keringat yang membasahinya menggunakan bagian lengan kaos putih kesayangan yang makin buluk.
Seorang pemuda yang mengenakan jaket dan topi warna hitam, sneakers, dan tas ransel tersenyum dari kejauhan. Di sebelahnya ada seorang bapak tua, mengenakan kaos berwarna kuning dan juga seorang pengemudi becak. Keduanya turut menyambut saya.
Karena ada kegiatan lain, Kombet Rodi—pemuda tadi—mohon izin memperkenalkan Mbah Ndut, seorang warga Kayutangan yang akan menemani saya berkeliling kampung. Beliau menjadi pemandu saya dalam rute terpanjang walking tour Kayutangan sore itu.
“Silakan mengisi daftar hadir dulu, Mbak.”
Saya menulis nama serta membayar HTM seharga Rp5.000 di depan Gang IV, Kampung Kayutangan. Seorang ibu kemudian mengulurkan sebuah kartu pos bergambar rumah Nyik Aisyah yang merupakan salah satu rumah tua di kampung ini. Sebelum memasuki kampung, Mbah Ndut sempat menawarkan memotret saya di gang depan, namun saya menolaknya dengan canda.
“Kami mulai membuka Kampoeng Heritage Kajoetangan pada 2018. Pada akhir tahun tersebut, kampung cukup ramai dengan kunjungan wisatawan. Penuh-penuhnya [wisatawan] sekitar tahun 2019. Sayangnya pandemi [COVID-19] datang, sehingga kami harus menutup kampung dari aktivitas wisata selama tiga tahun.”
“Nah, [baru-baru ini] kami baru buka lagi. Perlahan sih, karena sebelumnya tutup lama sekali.” Mbah Ndut lanjut menjelaskan kepada saya tentang muasal Kampung Kayutangan menjadi destinasi wisata sembari kami berjalan menyusuri sebuah gang kecil.
Selama tutup, Kampung Kayutangan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak berupa pendampingan untuk penataan kampung dan juga gang-gang yang ada di sana. UMKM sekitar juga mulai tumbuh.
Tiba-tiba kami sudah memasuki ujung Gang VI. Di sini, banyak berdiri rumah-rumah peninggalan zaman dulu. Rumah pertama yang kami singgahi yakni rumah kuno berarsitektur Jengki, dibangun pada tahun 1950-an. Pagarnya berwarna hijau toska, begitu juga dengan dindingnya. Meski warnanya jauh lebih terang. Di halaman dalam rumahnya, sebuah Vespa nyentrik dengan warna biru terparkir.
Dari depan, saya bisa melihat dengan jelas bentuk atap pelana dari rumah ini. Ada patahan, dan perbedaan ketinggian atap yang membuat rumah ini tampak lebih menarik dari rumah lain di sekitarnya. Dari literatur yang saya baca, arsitektur Jengki muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap pengaruh arsitektur Eropa yang kala itu sangat marak. “Kalau ini memang dibangun saat perpindahan antara arsitektur Belanda dengan arsitektur Nusantara. Orang zaman dulu menyebutnya rumah separuh jadi karena atapnya tampak tidak sempurna.”
Tak banyak yang Mbah Ndut ceritakan tentang rumah dengan nomor 976 ini, ia pun buru-buru menjelaskan rumah lain yang berada di depan kanan dari rumah ini. Rumah dengan arsitektur Belanda yang dibangun pada tahun 1920-an. Salah satu ciri khasnya yakni ornamen manisan yang ada di bagian atap depan.
Rumah ketiga yang saya singgahi yakni rumah paling tua di kampung ini, dibangun sekitar 1870-an, milik almarhum Pak Nur Wasil yang sudah pindah ke Jalan Candi Mendut. Kini rumah ini menjadi base camp Pokdarwis Kayutangan.
Mengutip dari perkim.id, Kampung Kayutangan punya sejarah yang dibagi menjadi beberapa periode perkembangan. Pertama, pada periode pra-Indische (sebelum tahun 1800), Kayutangan merupakan perkampungan yang dihubungkan oleh jalan setapak. Selanjutnya, periode saat Belanda masuk ke Indonesia tahun 1800-1940. Kampung Kayutangan berkembang menjadi kawasan perekonomian di Kota Malang, jalan-jalan besar juga mulai dibangun.
Kampung Kayutangan kemudian terus berkembang hingga tahun 1980-an. Bangunan permukiman padat makin banyak berdiri mendekati area perekonomian di Kampung Kayutangan, sampai akhirnya pada tahun 1986 pembangunan kompleks pertokoan modern dekat alun-alun Malang membuat perubahan besar pada Kampung Kayutangan yang mulai ditinggalkan sebagai pusat perekonomian (Rizaldi, 2010).
Tak heran, rumah-rumah kuno hingga pertokoan memenuhi kampung ini. Meski sebagian besar di antaranya sudah hilang karena perubahan pembangunan.
Sesaat kemudian, saya tiba di Pasar Krempyeng. Pasar dadakan yang hanya ada pagi hari sampai sekitar pukul satu siang ini menjual berbagai kebutuhan harian masyarakat, khususnya sembako.
“Pasar ini sudah ada semenjak saya masih kecil. Sekarang usia saya 65 tahun,” terang Mbah Ndut.
Mbah Ndut kemudian menunjuk salah satu sudut pasar, “Dulu TK saya di situ. Di sebelah bangunan warna ungu. Sekarang sudah jadi losmen.”
“Olahraga siang, Mbak?” sapa seorang ibu, sambil tersenyum ramah.
“Nggeh, Bu,” jawab saya meringis sambil merapikan kembali cangklongan tas ransel yang semakin tak nyaman.
Mbah Ndut lalu mengajak saya ke sebuah terowongan tua. Terowongan ini menjadi jalan tembus antara Semeru ke Kayutangan.
“Dulu waktu TK, rumah saya ada di gang sana. Kalau ke sekolah, nggak boleh lewat atas. Harus lewat terowongan ini supaya lebih aman.”
Seperempat jalan menyusuri Kayutangan, saya tiba-tiba teringat dengan Ciputat. Kedua tempat ini punya kesamaan yang terlihat jelas. Tak ada mobil yang bisa masuk kampung karena lebar gang kurang dari dua meter. Bangunan berdiri berhimpitan, rapat hampir tidak ada sekat.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.