Pemuda kampung itu adalah Rosi (21). Pria jangkung ini berpartisipasi pada aktivitas otak-atik motor balap di serikatnya yang bernama Karang Taruna Racing Team dengan anggota bocah-bocah kecamatan. Konon, ia tertarik pada dunia otomotif sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama.
“Konsentrasi kami meningkatkan CC mesin,” cerita Rosi. “Kalau motor kami ber-CC 150, gimana caranya biar meningkat ke 170. Bagian blok kami bore up. Kami lebih menggarap motor yang menggunakan karburator ketimbang injeksi. Yang biasanya diubah juga di bagian kelistrikan kayak CDI atau busi.”
Untuk aktivitas harian macam nongkrong sana-sini, konvoi, dan menunjukkan eksistensi, Rosi beserta timnya—yang berkostum sama—lebih acap mengendarai Yamaha Fiz R. Akan tetapi, untuk balapan, tim Rosi akan mengandalkan Satria FU. Baginya, Satria memiliki sejumlah keunggulan yang tak ada pada motor lain. Di samping berbodi kecil dan bermesin gahar, produk keluaran Suzuki tersebut berpersneling hingga enam gigi. “Satria bisa melaju dengan napas lebih panjang,” tukas cowok macho itu.
Inkarnasi Raga Besi
Meski gemar balapan liar yang biasanya dilancarkan di Jalan Kabupaten, tim Rosi juga tak enggan mengikutsertakan “sapi besi”-nya ke turnamen resmi. Seperti ingin menunjukkan bahwa prestasi mereka bisa diuji di segala medan. Di arena legal atau ilegal.
Meski begitu, Rosi mengaku tak pernah menjadi joki. Baginya, trayektori atau lintasan balap tipe drag senantiasa dibayang-bayangi malaikat maut. Kalaupun tak dirundung ajal, kaki patah adalah konsekuensi minimum nasib apes yang bisa terjadi di rute lempang 201 meter itu. “Ada temanku yang mati waktu kecelakaan,” ucap Rosi bergidik seolah menyadari bahwa nyawa manusia tak sebanyak kucing Buddha.
“Bagiku, motor cuma mainan.” Tapi mainan Rosi adalah jenis gim yang mempertaruhkan nyawa. Pemuda ini baru berhenti dari kegarangan masa remaja ketika kawan-kawannya harus terjun ke dunia kerja dan ia insaf bahwa modifikasi mesin motor cukup menguras duit orang tua.
Sementara itu, balap liar tidak pernah dilakukan Amir (26) ketika masih duduk di bangku SMA. Dengan Fiz R, ia hanya mau ambil bagian pada ajang balapan resmi. Sebagaimana karapan sapi, partisipasinya di balapan motor tidak digerakkan motif hadiah yang tak seberapa. Ia hanya ingin reputasi.
Kian dewasa, pemuda setinggi 170 senti ini lebih memilih bergabung dengan klub motor ketimbang memacu adrenalin di arena balap. Kini ia dipercaya sebagai ketua Klub Motor Ninja Madura. Baginya, klub dapat menjadi ajang memperluas jejaring sosial dengan mutu persahabatan tak seracun geng motor. Satu motor berjuta saudara. Begitu prinsip Klub Ninja Madura.
“Sejak dulu, Ninja adalah kendaraan idaman anak muda. Sama-sama 150 CC dengan Yamaha Vixion, tapi Ninja masih lebih cepat,” ucap Amir bangga ketika ditanya mengapa memilih Kawasaki tipe itu. Ia menjelaskan bahwa Ninja tidak hanya memiliki daya pikat sensual yang jantan. Motor besar itu diam-diam juga menyimpan muslihat seksual. Sebab, posisi sadel miring akan membuat cewek yang dibonceng merapatkan tubuh pada si joki.
“Cowok enggak cocok pakai matik. Kenapa enggak sekalian pakai lipstik?” ujar Amir, entah bercanda atau serius. “Matik itu motor untuk ngangkut gas LPJ atau galon. Ninja enggak bisa ngangkut barang-barang gituan. Lagian Ninja bukan motor harian. Ia motor yang sengaja didesain buat gaya-gayaan.”
Raga rua Ninja hijau milik Amir tampak serasi dengan postur gemoy pemuda itu. Dan ia memang berkata bahwa motor adalah pantulan karakter pemiliknya. “Kalau motornya jelek, orangnya pasti jelek. Kalau motornya enggak pernah dicuci, orangnya juga jarang mandi.”
Tidak Sekadar Properti Belaka
Jenis motor mestinya memang mencerminkan bawaan pemiliknya. Seperti Aden (22) yang berperawakan tenang lebih memilih bergabung dengan klub Vario ketimbang Amir-Ninja yang atraktif. Selain karena sederhana tanpa mengurangi tampilannya yang elok, jenis matik tersebut dipilih pemuda indah ini karena kerusakannya jarang parah dan servisnya mudah.
“Memelihara Vario punya banyak kelebihan,” cerita Aden. “Irit, enggak ribet. Kalaupun harus dimodifikasi, yang diubah hanya aksesoris dan suku cadang ringan.”
Telah setahun bergabung dengan Vario Squad Pamekasan, Aden tidak menyangka bahwa klub motor menanamkannya benih-benih filantropisme bersahaja. Ketika tetangganya yang “awam” hendak membeli motor, misalnya, ia kerap menjadi rujukan. Pun ketika motor sanak famili atau bala tetangga mengalami kerusakan, Aden yang akan mencarikan solusinya.
Seperti hubungan sapi jantan Madura dan pemiliknya, Aden tidak menganggap motor sebagai properti mati semata-mata. Ia memandang motor sebagai sahabat sejati. “Motor menemani kita jalan-jalan meskipun tak ada kawan,” daku Aden dengan deklarasi kesepiannya yang melankolis.
Apa pun jenisnya, motor telah menjadi inkarnasi-teknologis badan jantan seorang pria. Modifikasi bodi dan suku cadang, serta pendandanan raga motor adalah ikhtiar sang tuan mereformasi kapasitas kepriaannya. Gagasan film-film yang mempersonifikasi kendaraan bermotor, seperti Cars atau Transformers, sejatinya berangkat dari fantasi mistik ihwal tubuh dengan stamina tanpa batas, superior, dan immortal. Meski tak seepik sinema-sinema itu, impian tentang kualitas deistik manusia tengah diupayakan Silicon Valley melalui rekayasa bionik dan kecerdasan buatan untuk melahirkan spesies baru bernama organisme sibernetika, cyborg.
Namun, para pembalap amatir Desa Pandan tak berpikir sejauh itu. Barangkali pemuda-pemuda tersebut hanya ingin menghangatkan cuaca dingin senja bulan Maret dengan darah panas akil balig yang perlu disalurkan. Hanya azan Magrib yang akan meredam raung edan sapi-sapi besi itu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.