Interval

Karapan Sapi, Karapan Besi (1)

Langit sore pancaroba sepucat gading mamut yang teronggok di museum telantar. Waktu itu adalah pengujung Maret dan musim hujan di Madura tak segalak wilayah lain. Itulah mengapa di Desa Pandan, sengit garam telah merangsek liang hidung. Sebagian terbang ke laut.

Di bekas rawa, atau mungkin tambak, beberapa kelompok anak muda sedang menunggu Magrib. Tiga perempat jam sebelum corong masjid menggemakan azan, knalpot motor mereka mengerang, terdengar seperti derau mamalia raksasa yang terancam. Aku berada di tengah-tengah keriuhan, turut menjadi bagian dari cara kawula muda itu menghabiskan waktu.

Pandangan kami tertuju jauh ke pusat tanah lapangan, memindai tiga motor yang berlari kencang. Bila dibantu teropong monokular, mataku tentu dapat menangkap detail raga motor yang kian disamarkan kepulan debu di udara. Kita hanya tahu kendaran itu adalah Yamaha RX-King, sejenis matik entah apa, dan Suzuki Satria korban modifikasi sana-sini.

Di titik lain, sebuah motor bebek melaju, terjerat tanah berpasir, lalu jatuh. Si joki mati-matian bangkit, menarik gas, tetapi putaran roda tampak sulit bekerja. Tak membuatnya beranjak ke mana-mana, dan hanya menyelubunginya dengan selimut debu. “Bajingan tolol,” tukas seorang remaja tanggung sambil ngakak bersama kawan-kawannya. 

Para pembalap dadakan itu memang berlaga di arena yang salah. Paling tidak, mestinya mereka sadar, Scoopy nan imut perlu diganti motocross yang kokoh mencengkeram tekstur bumi. Tapi, di kompetisi konyol semacam itu, standar layak dan segala norma tak pernah berlaku.

Maka, balapan iseng tersebut cuma menimbulkan getaran suasana yang melemparku ke sebuah perasaan ganjil bahwa aku tidak sedang menyaksikan pacuan motor. Ini mungkin sejenis deja vu, atau bukan. Tapi, andai kau tahu, bagiku peristiwa yang berlangsung saat itu hanya substitusi aktual dari olahraga tradisional orang Madura: karapan sapi.

Karapan Sapi, Karapan Besi
Pemuda Desa Pandaan menonton balap motor/Samroni

Jantanisasi Tubuh Sapi

Di Pulau Garam, lembu tak diperlakukan sebagai totem, seperti status suci zebu India. Ia hanya hewan yang lantaran multifaedah diperlakukan cukup istimewa ketimbang ternak lainnya. Karapan sapi mungkin sayembara paling tua di antara kontes sapi sono’ dan sabung sapi. Sejarahnya bisa ditelusuri hingga masa ketika Belanda belum menancapkan kaki di Nusantara. Dahulu, ia ditaja untuk meningkatkan produktivitas pertanian di tanah Madura yang tak subur. Namun, kini, karapan sapi telah lepas dari motif ekonomisnya. Ia menjelma turnamen yang diburu untuk menaikkan gengsi.

Gengsi itu memang melekat dengan watak maskulin ketika kepemilikan harta benda bukan satu-satunya simbol wibawa tradisional. Oleh karena itu, hadiah tak seberapa dari pertandingan karapan sapi tidak ada apa-apanya ketimbang prestise yang bakal disandang sang pemenang. Martabat “machoistik” inilah yang membuat para pemilik sapi karapan menjadi “bovino maniak” yang tak segan membobol rekening agar jagoannya ditahbiskan sebagai pejantan utama di medan palagan. 

Itulah mengapa konsep turangga (kuda, kendaraan) dalam filosofi kemakmuran pria Jawa masih terlalu banal. Sebab, relasi antara binatang tunggangan dengan tuannya yang notabene bergender pria melampaui kepentingan ekonomi. Ia juga bergelayut di dimensi psikologis.

Hingga saat ini, citra kejantanan kuno belum hilang dari kesadaran kita. Tubuh kekar dan perkasa ala instruktur fitnes adalah damba setiap pria. Persoalannya, fisik manusia terbatas, dan kenyataannya, hewan-hewan lain memiliki jasmani lebih besar serta bertenaga. Maka, kecemburuan karnal itu kerap muncul dalam wujud makhluk-makhluk mitologis yang mempertautkan tubuh manusia dengan raga hewan sebagaimana kita jumpai pada minotaur—sang pria banteng—atau sentaurus, si manusia kuda.  

Memelihara binatang aduan, seperti kerbau, ayam jago, merpati, jangkrik, atau ikan cupang, merepresentasikan obsesi pria atas kekuatan fisik. Hewan-hewan petarung itu adalah sublimasi maskulinitas destruktif yang mustahil dioperasikan terus-menerus dalam keseharian manusia modern. Kegiatan jasmani tersebut hanya mungkin didemonstrasikan pada masa-masa primitif saat pria di dua suku harus menyelesaikan sebuah konflik.

Ketika peradaban tumbuh dan manusia semakin jinak, adu kekuatan itu diwadahi aktivitas legal macam festival. Dari gladiator hingga smackdown—yang bahkan bisa ditonton bocah-bocah cilik di negara dunia ketiga. Di Madura, ojhung adalah ritual pemanggil hujan yang mempertandingkan dua pria telanjang dada. Adu cambuk rotan berdarah-darah tersebut menjadi pertunjukan maskulin ketika kualitas kejantanan dianggap dapat mendatangkan kesuburan (hujan). Seluruh eksibisi tubuh maskulin itu, dari pergulatan brutal sampai yang cuma berpose setengah bugil di kontes binaraga, tak lain merupakan ekstensi modus adaptasi pria di atas panggung evolusi biologis. Kekuatan otot atau gemerlap bulu ekor menjadi modal simbolik yang memiliki manfaat prospektif demi ketahanan suatu spesies. 

Lalu, modal simbolik hewan-hewan itu diperdaya hasrat manusia ketika transformasi ketidaksadaran ditemukan. Hollywood menangkap fenomena psikis ini dengan baik ketika monyet—makhluk yang sering dianggap licik—bernama Abu adalah binatang yang mewakili profesi jambret sang tuan, Aladdin. Atau dalam How to Train Your Dragon, Toothless merupakan naga yang berwatak seringkih patronnya, Hiccup. Sementara Momo, lemur terbang dalam Avatar: The Last Airbender, sungguh memiliki keselarasan karakter dengan Aang yang lincah di udara.

Representasi Jantanisasi

Secara psikologis, merawat binatang piaraan, seperti melatih kuda pacu, memandikan ayam sabung, atau memberi jamu kuat untuk sapi karapan sejatinya adalah menanam kekuatan kepada sang tuan sendiri. Lebih dalam, hewan-hewan itu bukan lagi turangga sebagai properti yang menyimbolkan status sosial pemiliknya. Ia adalah alter ego seorang pria. Makhluk-makhluk itu merepresentasikan kondisi badani dan rohani si pemelihara. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh, tutur sajak Goenawan Mohamad. Keresahan kuda dalam puisi “Asmaradana” merupakan situasi depresif Damarwulan yang terpaksa meninggalkan kekasihnya karena hendak terjun ke arena perang melawan negara Blambangan. 

Piaraan yang tangguh seakan-akan menandakan bahwa pemiliknya sukses memerankan diri sebagai alpha male. Ketangkasan fisik ini paling sering diukur dari seberapa cepat si hewan bisa berlari meninggalkan kompetitornya jauh di belakang bokong. Kelak, ketika teknologi transportasi menggantikan hewan tunggangan—dan dengan demikian menjelma diri lain yang baru—kendaraan-kendaraan modern itu tak diciptakan untuk jadi alat angkutan belaka sebagaimana pacuan kuda atau karapan sapi. Ia juga dirancang dengan tujuan rekreatif yang menunjukkan kehormatan pria. Kini, trayek Formula 1 dan MotoGP gegap gempita oleh hewan-hewan balap bertubuh besi. 

Dalam khazanah warita sebuah agama Abrahamik, antusiasme terhadap kecepatan kendaraan, misalnya, muncul pada hikayat “Perjalanan Malam sang Nabi” dengan menghadirkan makhluk tunggangan bernama Barak. Para seniman India kerap melukiskan kendaraan samawi ini bertubuh kuda sembrani dengan kepala wanita berwajah tak kalah jelita ketimbang bintang film Bollywood Priyanka Chopra. Namun, kecantikan feminin itu tak lantas membuat Barak kurang heroik daripada aksi gesit mobil-mobil Fast and Furious. Bahkan, ketangkasan kilat tersebut membikin X-15, pesawat paling cepat di dunia milik Angkatan Udara Amerika Serikat yang mampu melaju 7.273 kilometer per jam, tampak sepayah kura-kura tua berusia seabad. Dengan kecepatan tak tepermanai itulah kendaraan surgawi tersebut membawa sang Nabi menembus lapisan astral dan melambungkan kharismanya sebagai patriarkh paling unggul.

Mungkin Barak dan sang Nabi terkesan seperti sebuah antinomi yang membenturkan daya feminin dan energi maskulin. Namun, kisah ini barangkali hendak memberi tahu kita bahwa watak feminin yang lembut merupakan puncak maskulinitas. Sebenarnya, persatuan dua elemen yang seolah-olah paradoks itu tidak terlalu mengejutkan andai kita pernah mendengar bahwa sang Nabi memiliki gelar nur ala nur, yang secara harfiah berarti ‘cahaya di atas cahaya’. Sang Nabi dan Barak merupakan cahaya yang menunggangi cahaya. Barak adalah representasi jantanisasi subtil sang Nabi sendiri. 

Hanya fiksi futuristik semacam pintu ajaib Doraemon yang bisa menyamai kompetensi kuda langit sang Nabi. Meski nyaris muhal menandingi kecepatan Barak—nama ini pernah dipinjam maskapai penerbangan Bouraq Indonesia Airlines yang kandas setelah 35 tahun melayang di angkasa—peradaban manusia tak kunjung lelah menciptakan teknologi-teknologi cepat. Mulai roket yang diharap mampu melipat waktu penjelajahan ruang ekstraterestrial hingga bongkar pasang motor balap liar pemuda kampung di Madura.

(Bersambung)

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Burung-Burung Terbang ke Akhir Zaman (1)