Kami tiba di Dermaga Kampung Yenbuba, Raja Ampat, jam 9 pagi. Dermaga ini terbuat dari kayu besi, memanjang sekitar 200 meter menuju kampung yang membelakangi gunung-gunung di Pulau Meos Mansar itu.
Kurabesi dijangkarkan di perairan utara Pulau Meos Mansar. Arus selatan yang sedang kencang tidak memungkinkan untuk membawanya berlabuh di dermaga Kampung Yenbuba. Untuk ke kampung itu, tim ekspedisi memakai perahu-motor cepat.
Di gerbang kampung terdapat papan bertuliskan “Untuk sementara aktivitas wisata dihentikan.” Di kirinya berdiri bangunan berdinding papan yang ternyata adalah BUMDes MART Meos Mansar. Nyaris tidak ada isinya, seolah-olah sudah sangat lama tidak digunakan. Ada dua toples permen dan beberapa gulung tisu.
Beberapa langkah kemudian ada sebuah bangunan lain yang tampaknya dijadikan sebagai pos COVID-19. Pada dinding-dindingnya tertempel informasi tentang COVID-19 serta jadwal keberangkatan kapal dari dan menuju Waisai sekaligus pemberitahuan soal standar protokol kesehatan.
Menggantungkan hidup pada pariwisata
Hampir 70 persen masyarakat Yenbuba menggantungkan hidup pada pariwisata. Di Kampung Yenbuba, menurut Samuel Wospakrik, Program Officer EcoNusa, terdapat 20 homestay yang menjadi anggota PERJAMPAT (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat). Di antara seluruh pulau di Raja Ampat, Kampung Yenbuba adalah pulau dengan jumlah keanggotaan PERJAMPAT terbanyak.
“Sebenarnya masih banyak lagi [homestay di Kampung Yenbuba]. Hanya saja [homestay-homestay itu] belum mampu memenuhi kriteria dari PERJAMPAT,” jelas Samuel.
Yacob Sauyai, Kepala Kampung Yenbuba yang juga merupakan Ketua PERJAMPAT (Perkumpulan Penggerak Usaha dan Penghidupan Masyarakat Asli Raja Ampat), meluangkan waktu untuk berbincang dengan Tim Ekspedisi.
“[Pandemi ini membuat kami] harus kembali dan masuk hutan, membuat kebun. Kami harus tetap bersyukur agar ini menjadi pembelajaran. Terus bergerak untuk beradaptasi,” ujarnya.
Rasa syukur ini oleh Pak Yacob juga ditekankan kepada 108 kepala keluarga di Kampung Yenbuba. Menurutnya orang di pulau lebih beruntung daripada mereka yang bekerja di kota. Sekarang ini orang-orang kota tidak bisa keluar rumah; punya uang tapi stress. Sementara itu masyarakat yang tinggal di pulau masih bisa ke laut untuk cari ikan dan ke kebun untuk menanam bahan makanan.
Kampung Yenbuba terus waspada
Sebagai kepala kampung, ia merasa bahwa kebijakan-kebijakan perlu segera diambil. Masyarakat tentu banyak yang takut akibat informasi yang beredar. Itulah yang menjadi alasan kenapa posko COVID-19 didirikan dan sosialisasi terus diberikan. Kewaspadaan terhadap akses keluar-masuk menjadi pokok utama yang menjadi perhatian pemerintah kampung.
Menurut data Gugus Tugas COVID-19 Papua Barat Per tanggal 13 September 2020, di Waisai, Ibu Kota Kabupaten Raja Ampat, sudah ada 52 kasus positif. Hal ini yang membuat kepala kampung makin khawatir dengan masyarakatnya yang sering keluar-masuk dari dan ke Waisai. Karena itu pemerintah kampung sudah siap menerapkan kuncitara dan menutup Yenbuba dari orang luar.
Pak Yacob berkata dengan serius, “Kami tidak peduli siapa yang mau datang. Jika kita tidak ketat maka akan membahayakan masyarakat sendiri.”
“Pariwisata sekarang ini masih menjadi pertanyaan besar. Ujungnya masih belum kelihatan. Tapi kebutuhan kita ada di depan mata. Kita harus cari solusi sendiri dan tetap waspada,” ujar Pak Yacob menutup ceritanya.
Pada September 2020, M. Syukron dari TelusuRI mengunjungi beberapa lokasi di Raja Ampat untuk melihat langsung dampak pandemi COVID-19 di wilayah tersebut dalam ekspedisi bersama EcoNusa. Tulisan ini merupakan bagian dari seri catatan perjalanan itu. Nantikan terus kelanjutannya di TelusuRI.id.