Menjelajahi kampung lawas di suatu kota, ibarat menambang emas, tetapi yang didapatkan uranium. Kehidupan sederhana, yang jika dijelajahi lebih dalam, bakal menemukan sesuatu yang jarang atau mungkin tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat awam.
Kali ini saya menelusuri kampung lawas Ngesusan di Timuran, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Tidak ada Ngesusan di peta digital saat ini. Hanya segelintir warga Surakarta yang tahu letak kampung lawas tersebut.
Perempatan Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro merupakan titik tengah lokasi kampung lawas Ngesusan. Latar belakang penamaannya yang unik dan tidak tampak sebagai kampung lawas, menjadi alasan saya menjelajahi Ngesusan.

Selayang Pandang Kampung Lawas Ngesusan
Penamaan Ngesusan atau Ngesus, didasarkan atas keberadaan gedung Monumen Pers Nasional yang bergaya arsitektur Hindu, tepat di perempatan Jalan Gajah Mada dan Jalan Yosodipuro atau Taman Ngesus. Merujuk surat kabar De Vorstenlanden tahun 1920, gedung ini awalnya Societeit Sasana Soeka, tempat sosialita warga Belanda dan bangsawan Pura Mangkunegaran.
Societeit artinya perkumpulan, sedangkan Sasana Soeka berarti tempat bergembira. Societeit Sasana Soeka artinya tempat perkumpulan dan bergembira. Mereka menempati Sasana Soeka selain untuk bergembira dan pesta, juga berdiskusi berbagi pengalaman guna mencapai kesepahaman dan menggelar acara kenegaraan.
Mereka yang tergabung dalam perkumpulan mayoritas warga Belanda, saudagar, elit bumiputra, dan bangsawan Mangkunegaran yang tinggal di wilayah Pura Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan. Tempat pesta dan acara kenegaraan menempati ruang tengah societeit, sedangkan ruang diskusi di perpustakaan di salah satu ruang kamar.
Mereka yang diperkenankan hadir ditentukan, tetapi jika acara bersifat umum, warga diperkenankan hadir di halaman. Surakarta memiliki tiga societeit, yakni Societeit Harmonie di Loji Wetan, Societeit Habipraya di Coyudan, dan Societeit Sasana Soeka.

Societeit Sasana Soeka: Awal Mula Nama Ngesusan
Merujuk surat kabar De Locomotief tahun 1918 (Norbruis, 2022), gedung Societeit Sasana Soeka dirancang oleh seorang arsitek bumiputra bernama Mas Aboekassan Atmodirono. Ia lahir 18 Maret 1860 di Wonosobo, putra dari Kepala Kejaksaan Wonosobo Atmodirono. Lazim kala itu nama anak menggunakan nama belakang sang ayah.
Meski berasal dari keluarga priyayi kejaksaan, tampaknya Aboekassan Atmodirono memilih jalan hidup sebagai arsitek terlepas dari kedua orang tuanya. Melihat keinginan tersebut, ia disekolahkan di pendidikan mentereng kala itu, yakni Europeesche Lagere School (ELS) di Yogyakarta, Technische Wilhelminaschool di Batavia dan terakhir di Technische Hogeschool Delft di Belanda.
Ketika belajar di Delft inilah, ia tidak menyia-nyiakan kesempatan yang dipercayakan orang tuanya, untuk belajar dan bekerja sama dengan arsitek senior kelahiran Belanda. Ia lantas bertemu rekan kerjanya, insinyur Henri Maclaine Pont.
Mereka lantas berkolaborasi menciptakan master plan sesuai gaya masing-masing, demi menyelesaikan studi sebagai arsitek muda. Usai lulus tahun 1878, Aboekassan lantas melamar pekerjaan di Burgelijk Openbare Werken (BOW), semacam dinas pekerjaan umum di Hindia Belanda (Indonesia kala itu), sebagai pengawas kelas dua.

Ia bekerja berpindah-pindah, di antaranya Pasuruan, Purworejo, Kebumen, Banjarnegara, dan Kota Semarang. Setelah menetap di Semarang, tahun 1898 ia mencoba mengikuti ujian arsitek di Semarang.
Pada 1 Mei 1901, Aboekassan dinyatakan lulus dan mendapat kenaikan jabatan di BOW sebagai arsitek pengawas kelas satu. Tidak lama kemudian, ia mencalonkan diri menjadi anggota Dewan Kotapraja Semarang dan membantu pendidikan bumiputra.
Merujuk Bataviasche Nieuwsblaad tahun 1913 (Norbruis, 2022), Aboekassan selama di Semarang turut mendirikan Kartini Vereeniging atau Sekolah Kartini di Bukit Candi. Sekolah perempuan ini didanai Conrad Theodore van Deventer dan Jacques Henry Abendanon, dipimpin Nyonya Wallbrink.
Dalam mendirikan sekolah Kartini, sejatinya Aboekassan sudah merencanakan sejak tahun 1912, dibantu rekan arsitek Henry Maclaine Pont. Selain menghormati perjuangan Raden Ajeng Kartini, tujuan mendirikan sekolah juga memajukan pendidikan, khususnya untuk perempuan.
Upacara pembukaan Kartini Vereeniging Semarang digelar Senin pagi, 15 September 1913. Mas Aboekassan turut hadir dan berpidato. Dalam sambutannya, yang diberitakan Bataviaasch Nieuwsblad, upacara pembukaan merupakan hari bahagia baginya karena menjadi tonggak kemajuan pendidikan bumiputra.
Aboekassan juga mengucapkan terima kasih kepada Conrad Th. Van Deventer dan Jacques. H. Abendanon atas terwujudnya pendidikan bumiputra khusus perempuan di Semarang. Kabar gelaran upacara pembukaan itu akhirnya sampai di kerajaan Belanda.
Melalui A.M. Valkenburg, selaku kepala insinyur BOW Semarang sekaligus perwakilan kerajaan Belanda di Hindia Belanda, Aboekassan dianugerahi penghargaan Orde van Oranje Nassau tahun 1912. Penghargaan bergengsi untuk individu atas jasanya terhadap pemerintah.
Aboekassan lantas diganjar pekerjaan baru mengurus sistem saluran air Kota Semarang. Lalu diterima menjadi anggota perhimpunan teknik bangunan di Vereeniging van Bouwkundigen Nederlandsch Indië van Semarang dan turut serta meramaikan Koloniale Tentoonstelling di Semarang tahun 1918.

Gelaran Koloniale Tentoonstelling turut serta dihadiri Gusti Mangkunegara VII, yang takjub dengan desain arsitektur paviliun milik Aboekassan. Keduanya saling bertemu, hingga akhirnya bersepakat merancang gedung societeit yang digagas Gusti Mangkunegara VII.
Aboekassan lantas pergi ke Kota Surakarta, setelah mendapat izin BOW Semarang. Sesampainya di sana, ia bertemu kembali dengan Gusti Mangkunegara VII di Pura Mangkunegaran untuk berdiskusi mengenai master plan gedung tersebut.
Merujuk catatan A. Yasawidagda, anggota Societeit Sasana Soeka sudah terbentuk sederhana tahun 1917, dipimpin Hardjasoepoetra. Mereka biasa mengadakan pertemuan pukul tujuh malam, di rumah kontrakan di barat Kampung Tumenggungan, Surakarta.

Atas dasar ini, Gusti Mangkunegara VII berinisiatif mendirikan rumah societeit (soos) baru—awal penamaan Ngesusan atau Ngesus—yang kelak menjadi Societeit Sasana Soeka. Proses perancangan dan pembangunannya ditaksir berlangsung setahun. Merujuk pemberitaan Djawi Hisworo bertajuk perpindahan rumah itu, Societeit Sasana Soeka diresmikan Minggu, 31 Juni 1918. Acara dimulai pukul tujuh malam, diawali sambutan presiden perserikatan.
Diberitakan lebih lanjut, presiden mengatakan pemindahan rumah soos berkat sifat ringan tangan Gusti Mangkunegara VII dalam memberi bantuan pendirian rumah dan menelan biaya tidak sedikit. Menurutnya sudah sepantasnya anggota societeit wajib mempersembahkan ribuan ucapan terima kasih kepada Beschermer.
Sambutan diakhiri sorak-sorai tamu yang hadir, diiringi alunan musik sebagai wujud kegembiraan. Kegiatan dilanjutkan bersuka ria sembari menikmati hidangan dan minuman yang disajikan, ditemani alunan musik gamelan. Gusti Mangkunegara VII turut menyambut dengan mengucapkan terima kasih dan menyematkan nama Sasana Soeka.
Diberitahukan lebih lanjut, rumah soos baru berada di ujung jalan perempatan belakang Tumenggungan (kini areal Kepatihan Mangkunegaran). Upacara pembukaan dihadiri 200 tamu anggota soos, priyayi bumiputra, putra-putri kerajaan, dan tamu perwakilan Tionghoa.
Turut hadir kelompok murid perempuan sekolah Tionghoa memakai baju noni. Suasana malam hari riuh dengan hiburan musik diiringi gamelan, hingga puncaknya pukul 21.00 datang satu perkumpulan Strijk Orkest dari Keraton Kasunanan, diiringi tiga perempuan muda menyanyikan lagu Barat diiringi tabuhan gamelan Jawa. Upacara pembukaan selesai tengah malam dengan selamat, para tamu bersorak, “Hiduplah Societeit Sasana Soeka!”.

Perpaduan Gaya Arsitektur Eropa dan Jawa
Selaku arsitek di balik kemegahan Societeit Sasana Soeka, Aboekassan sengaja memadukan gaya arsitektur art deco Eropa, fasad simetris dengan pilar-pilar, dan gaya timur lewat struktur candi Hindu Jawa. Hal ini tidak lepas dari wujud kepeduliannya terhadap kebudayaan Jawa, meski ia disetarakan arsitek Belanda. Ia mengimplementasikan struktur candi Hindu Jawa untuk eksterior gedung sehingga memperlihatkan kekokohan, berpadu apik dengan sepasang patung naga di bagian kiri kanan tangga masuk sebagai wujud keberanian.
Soerjowinoto, arsitek bumiputra setelah Aboekassan mengenyam pendidikan di Antwerp, mencatatkan keindahan Societeit Sasana Soeka dalam jurnal perjalanannya berjudul Naar Indonesie:
“Gedung Societeit Sasana Soeka adalah bangunan yang sangat indah, perpaduan harmonis antara gaya Hindu Jawa kuno dan gaya barat cukup kuat. Meski sederhana namun sangat anggun. Ini adalah bukti bagi seniman sekaligus arsitek lulusan sekolah tekhnik Wilhelmina Batavia, tetap rendah hati sebagai orang Jawa yang mampu memadukan keindahan seni nasionalnya dengan gaya seni megah khas barat.”
Begitu juga dengan insinyur Charles Prosper Wolff Schoemaker, ketika beranjangsana di Surakarta dan mengunjungi Societeit Sasana Soeka. Dilansir dari De Vorstenlanden tahun 1925 (Monumen Pers Nasional), ia begitu takjub dan menaruh hormat atas mahakarya Aboekassan sebagai wujud nyata kecintaan seorang bumiputra terhadap budaya Jawa. Ia menambahkan, gaya Aboekassan sangat ekspresif menggabungkan kreativitas arsitektur Eropa yang fungsional-rasional dengan kekhasan arsitektur Hindu Jawa yang penuh simbol dan makna.
Beberapa pengelana dari Eropa yang singgah di Surakarta pun kagum dibuatnya. Banyak yang mencatatkan keindahan dan kekagumannya, seperti gedung Societeit Sasana Soeka tak ubahnya candi Hindu yang muncul di abad ke-19.
Merujuk berita Preanger tahun 1926 (Monumen Pers Nasional), Mas Aboekassan diketahui memiliki karya lain, yakni gedung Panti Soeko sebagai sarana hiburan pekerja kelas atas Pabrik Gula Colomadu, yang notabene milik Pura Mangkunegaran. Ia juga tercatat berkecimpung di pergerakan nasional sebagai anggota Boedi Oetomo dan anggota Mangoenhardjo.


Roda kehidupan terus berputar, tetapi tidak untuk Aboekassan. Setelah undur diri sebagai insinyur di BOW Semarang, ia memutuskan rehat di kediamannya, Jalan Dr. Cipto yang dahulu bernama Karrenweg Semarang, hingga wafat hari Jumat tanggal 30 Juli 1920.
Upacara pemakaman digelar khidmat di makam Bergota Semarang, dihadiri rekan arsitek, pejabat Kota Semarang, kepala pelabuhan Valkenburg, bupati Semarang, perwakilan BOW Jawa Tengah, anggota Boedi Oetomo, anggota Mangoenhardjo, perwakilan dari Kota Surakarta, dan tamu Eropa.
Meski raga Aboekassan sudah tiada, karya monumentalnya di Surakarta tetap berdiri menjulang, mengharumkan nama sang arsitek yang teguh mempertahankan budaya yang diwariskan. Bagi saya, inilah tempat awal dan akhir penamaan kampung lawas Ngesusan di Surakarta: Societeit Sasana Soeka.
Referensi:
Koleksi surat kabar fisik dan informasi sejarah Monumen Pers Nasional, Surakarta.
Norbruis, Obbe H. (2022). Arsitektur di Nusantara: Para Arsitek dan Karya Mereka di Hindia-Belanda dan Indonesia pada Paruh Pertama Abad ke-20. Stichting Hulswit Fermont Cuypers, Belanda.
Priyatmoko, Heri. (2018). Menelisik Sejarah Societeit Mangkunegaran. Pojok Kedaulatan Rakyat, edisi 13 Februari 2018. Terjemahan referensi fisik catatan A. Yasawidagda dan surat kabar Djawi Hiswara dari bahasa Jawa. https://repository.usd.ac.id/21783/.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.