Belum banyak yang tahu kalau di Gunung Pati, Kota Semarang, ada sebuah perkampungan batik bernama Kampung Alam Malon. Tapi, di sana kamu bisa menemukan banyak atraksi lain selain batik.
Wedang Malon, misalnya. Minuman khas Kampung Malon itu menyambut kedatangan kami siang itu. Minuman itu terbuat dari rempah seperti jahe, kapulaga, jeruk purut, kayu manis, gula jawa, pandan, irisan daging kelapa muda, dsb. Supaya lebih nikmat, wedang Malon bisa ditambahkan susu sapi segar. Rasanya? Seperti STMJ.
Nggak hanya aroma, rasa rempahnya juga cukup kuat. Untuk sekadar menghangatkan dan menyegarkan badan, cocok sekali.
Setelah menghabiskan dua gelas wedang Malon dan beberapa potong ketela rebus, saya dan teman-teman penggiat wisata diajak berkeliling kampung oleh Pokdarwis Kampung Malon.
Ketika berjalan menelusuri kampung, saya melihat bahwa beberapa rumah warga Kampung Malon dijadikan workshop pembuatan batik sebagai atraksi wisata.
Batik dengan pewarna alami
Kampung Alam Malon nggak cuma punya batik cap, tapi juga batik tulis. Motifnya bervariasi. Tapi, umumnya motif batik Malon adalah yang berciri Semarangan dan Gunung Pati. Selain durian dan jambu kristal, motif-motif yang jamak adalah ragam flora dan fauna.
Batik di Kampung Malon dihias dengan pewarna alami yang berasal dari limbah bakau, tingi, jelawe, indigofera, secang, tegeran, dan kulit jambal. Sebagian besar tumbuhan yang jadi bahan baku pewarna alami ini dibudidayakan sendiri oleh warga.
Penggunaan pewarna alami ini juga jadi salah satu media kampanye pelestarian lingkungan. Bahan-bahan nonkimia tentunya nggak menghasilkan limbah yang akan mencemarkan lingkungan.
Mencicipi sate krembi
Waktu keliling kampung, saya dan rekan-rekan juga diajak menyantap sate krembi, yang juga makanan khas Kampung Alam Malon. Wujud sate ini adalah setusuk ketan rebus yang dikepal, irisan tempe, dan daging ayam.
Aromanya khas seperti jajanan penthol di Madiun sana. Sate krembi jadi lebih menggiurkan kalau disiram dengan bumbu kacang seperti yang biasanya melengkapi sate ayam.
Setelah beberapa tusuk sate saya tandaskan, makan siang yang sesungguhnya muncul. Kalau kata rekan saya, “Belum … makan kalau belum makan nasi.”
Tak menunggu lama, menu makan siang yang lezat lagi njawani itu pun berakhir dalam perut—nasi urap, sate krembi, ditambah ikan asin dan perkedel kentang.
Setelah kenyang, saya dan rekan-rekan kemudian dituntun oleh Pak Gareng yang memandu kami siang itu ke kebun warna untuk melihat tanaman-tanaman pewarna, seperti indigofera.
“Jegog lesung” di Padepokan Ilir-ilir
Matahari siang itu sungguh terik. Kepala saya jadi pusing karena kami berpanas-panasan di tengah kebun tanpa tutup kepala. Setelah sesi keliling kebun berakhir, kami bergegas ke Padepokan Ilir-ilir.
Saat menuju padepokan itu, sayup-sayup terdengar suara seperti jegog lesung. Semula saya bertanya-tanya ada apa gerangan. Setiba di padepokan, barulah saya tahu bahwa suara itu berasal dari ibu-ibu Kampung Malon yang sedang memainkan alu dan lesung.
Ternyata padepokan itu memang jadi tempat warga Kampung Malon belajar seni dan budaya. Padepokan itulah yang jadi atraksi pamungkas dalam perjalanan pertama saya ke Kampung Alam Malon kali itu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
8 comments
Waahh, ejie ga ikut ke jegognya. Sesi pemotretan kak Lenny euy ?
Mampir aja lagi ke sana, Kak. 🙂
aih george juice ah ini…meski fotoku g nongol wekwkewke
🙂
Kampung Alam Malon ternyata banyak atraksinya. Seruu. Wedang Malonnya enak ?
Iya, Kak. Terima kasih sudah mampir. 🙂
Foto-fotonya keren..sudah bercerita sendiri hehe
Makasih, Kak. 🙂