Dalam kubah yang beratapkan kayu ulin, yang berhiaskan ukiran sulur-sulur pada setiap sisinya, orang-orang khusyu memanjatkan doa. Beberapa mengucapnya dengan lantang dan beberapa lainnya tampak lirih mengucap dengan mata tertutup, mengharap dengan perantara orang yang di dalam kubur, doa mereka segera naik ke langit, secepat kilat ketika hujan bergemuruh.

Pagebluk ini belum berakhir. Orang-orang tetap berdatangan, meskipun lebih sedikit dari biasanya. Ada yang berharap kesembuhan dari penyakit yang diderita, ada pula yang datang sebagai ungkapan rasa syukur karena hajatnya sudah terkabul.

Mereka datang secara rombongan, anak-anak nampak sulit diatur oleh orang tua mereka yang ingin kekhusyukan dalam berdoa. Beberapa orang yang datang sendiri-sendiri, tampak memisahkan diri dari rombongan lainnya. Sang juru kunci makam sibuk membacakan doa. Mulutnya komat-kamit melantunkan doa dalam bahasa Arab.

“Memang selama pagebluk berlangsung, pengunjung lebih sepi dari biasanya, apalagi setelah banjir sempat melanda provinsi kita, pengunjung hampir tidak ada karena hampir sebagian besar berasal dari luar kota,” ucap Hamdani, 57 tahun, sang juru kunci makam kepada saya.

“Alhamdulillah di sini tidak terdampak banjir,” tambahnya.

Kubah Makam Sultan Suriansyah yang berasitektur khas Banjar
Kubah Makam Sultan Suriansyah yang berasitektur khas Banjar/M. Irsyad Saputra

Tempat itu sakral, setidaknya bagi masyarakat Kalimantan Selatan.  Makam seorang raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan meresmikan Kerajaan Banjar sebagai kerajaan Islam.

Makam Pangeran Samudera atau dikenal dengan nama Sultan Suriansyah menjadi kawasan wisata religi yang ada di Banjarmasin. Makamnya sering menjadi destinasi wisata sejarah selaras dengan letak Masjid Sultan Suriansyah yang menjadi masjid pertama di Kalimantan Selatan, yang berada tak jauh dari makamnya.

Makam tersebut selain dipagari kayu, juga diselimuti kain kuning, yang menjadi penanda bahwa makam itu keramat.

“Banyak yang menaruh kain kuning disini dengan hajat yang bermacam-macam, ada yang untuk kesembuhan, ada yang untuk kemudahan dalam usaha.”

Makam Sultan Suriansyah dengan kain kuning
Makam Sultan Suriansyah dengan kain kuning/M. Irsyad Saputra

Kain kuning adalah warna kebesaran seorang Raja Banjar, warna kuning juga menjadi warna bendera Kerajaan Banjar. Bagi masyarakat Kalimantan Selatan, warna kuninglah yang menempati sebagai warna suci dan sakral. Kain warna kuning yang identik dengan kuning kunyit dipakai dalam berbagai pakaian adat atau hiasan kepala seperti pada kain sasirangan ataupun laung.

Meskipun makam disini adalah makam raja-raja dan keluarganya, ada juga salah satu makam yang diselimuti kain dengan warna hijau yakni makam Sayyid Muhammad, salah satu ulama besar kerajaan yang berasal dari kalangan habaib.

“Untuk disini ada dua warna yang digunakan, yang berwarna kuning menunjukkan raja dan warna hijau menunjukkan ulama besar khususnya habaib,” paparnya.

Para juru kunci makam Sultan Suriansyah/M. Irsyad Saputra

Sama halnya dengan Kubah Habib Hamid Bahasyim yang terletak di Kampung Basirih, Banjarmasin Barat, juga menggunakan kelambu hijau dengan sedikit aksen kuning. Habib Hamid Bahsyim atau Habib Basirih tersohor sebagai Waliyullah pada jamannya.

Beliau merupakan keturunan Rasulullah yang ke-32, sejalur dengan Sunan Ampel yang merupakan keturunan ke-16. Menurut penuturan cucu beliau, Habib Fitri Bahasyim, Habib Basirih sudah meramalkan kedatangan tentara Jepang ke Banjarmasin.

“Waktu itu sebelum Jepang datang, beliau sudah memberi isyarat dengan membuat helm dari batok kelapa dan kacamata dari gelas kaca, seakan akan menyerupai seorang tentara.”

Di lain waktu, pernah beliau hendak dimasukkan ke rumah sakit jiwa oleh Haji Umar Faisal yang merupakan tentara Jepang yang sedang menyamar, namun naas di lain waktu pesawat Haji Umar Faisal malah meledak,” tuturnya.

Makam Sayyid Muhammad yang berkain hijau
Makam Sayyid Muhammad yang berkain hijau/M. Irsyad Saputra

Hari ini, saya datang bersama para peziarah lain; salah satunya adalah Mi’rajuddin, peziarah yang datang beserta keluarga besarnya. Dengan sengaja kesini datang dari luar kota, mengharapkan keberkahan dari sang empu makam. “Banyak dari kami yang datang kesini, dengan hajat bermacam-macam, berharap cepat terkabul dengan berkat Habib Basirih,”ujarnya.  

Kain yang diletakkan di makam menurutnya adalah lambang keramat yang khas dari Kalimantan. Hal ini adalah upaya penghormatan kepada orang yang sudah meninggal, khususnya untuk orang-orang yang memiliki pengaruh.

“Pemberian kain kuning biasanya tak lepas dari bunga-bunga yang juga diikatkan pada makam,” tambahnya. Makam ini menjadi salah satu tempat yang dikembangkan sebagai destinasi wisata religi yang ada di Banjarmasin selain Makam Sultan Suriansyah.

Pak Anang, ahli waris makam/M. Irsyad Saputra

Tak hanya terlihat menghiasi makam-makam orang yang berpengaruh, kain kuning juga diletakkan pada makam orang-orang biasa yang diduga memiliki keramat. Semisal yang terjadi di Pekapuran Raya. Sebuah makam yang terletak di pinggir jalan terlihat memiliki cungkup kecil dan beberapa kain kuning. Penasaran dengan makam tersebut akhirnya membawa saya menemui Pak Anang, keluarga dari empu makam.

Berdasarkan cerita Pak Anang, mulanya itu hanyalah sebuah kubur anak-anak yang berjenis kelamin wanita, entah mengapa secara tiba-tiba ada orang yang menaruh kain kuning di makamnya. Anak yang dimakamkan ini dulunya adalah pengidap hidrosefalus, kondisi medis yang membuat ukuran kepala lebih besar dari biasanya.

“Dia itu masih sepupu sama saya, bapak ibunya juga sudah meninggal, andaikata masih hidup beliau bakal berumur 54 tahun, sedangkan saya 53 tahun,” kenang Pak Anang.

Seringkali Pak Anang menemukan kain kuning di makam tanpa tahu siapa yang menaruhnya. Pernah suatu ketika Pak Anang mendapati seseorang yang sedang menaruh kain kuning di makam tersebut, kemudian ketika ditanya orang itu menjawab bahwa hajatnya dikabulkan berkat makam ini. “Saya orangnya netral, bukannya setuju tindakan tersebut dan bukan juga melarang, namanya juga budaya,” tuturnya.

Meskipun makam ini makam orang biasa, biasanya ada yang berkeramat juga
Meskipun makam ini makam orang biasa, biasanya ada yang berkeramat juga/M. Irsyad Saputra

Kain kuning adalah budaya Dayak, budaya Kalimantan pada umumnya. Dayak banyak mengadopsi warna kuning sebagai warna yang sakral, termasuk warna bendera.  Terlepas dari unsur agama, kain kuning tetap menjadi identitas budaya Kalimantan khususnya masyarakat Dayak dan Banjar, hal ini juga menjadi dasar tetap dipakainya kain kuning sebagai warna yang menunjukkan kesakralan dan kekeramatan.  

Keramat yang secara etimologi disadur dari kata Bahasa Arab “karomah”  berarti kemuliaan, kehormatan. Dalam bahasa Indonesia, keramat merujuk pada suatu benda atau tempat yang suci dan dapat memberikan tuah kepada pihak lain. Misalnya pada jenis jimat, tempat keramat, ataupun senjata pusaka.

Meski begitu tidak semua yang diberi kain kuning merupakan keramat seperti halnya di persimpangan Sungai di Kapuas. “Dahulu kain kuning dipergunakan juga sebagai penanda, seperti misalnya di pertigaan sungai, orang-orang memberi penanda kain kuning yang diikat di tiang agar perahu tidak saling menabrak, kain kuning terlihat jelas saat malam hari.”

“Tapi bisa saja artinya berbeda bagi orang lain karena melihat kain kuning tadi,” imbuhnya.Meskipun secara umum masyarakat Banjar telah memeluk Islam, tradisi pengeramatan dengan kain kuning ini bisa disebut sebagai living megalithic tradition.  Pasalnya kepercayaan kepada benda-benda maupun tempat keramat sudah berlangsung dari zaman pra-aksara dan terus menerus berlangsung hingga masa sekarang dengan berbagai bentuk dan makna. Dengan masuknya agama-agama samawi ke Kalimantan, kepercayaan ini lantas masih bertahan dan bertransformasi menyesuaikan dengan ajaran agama yang dianut.

Tinggalkan Komentar