Menjadi mahasiswa rantau di Surakarta dengan profesi penulis muda membuatku kerap bolak balik ke Jogja untuk bertemu penerbit. Awalnya aku asing dengan Stasiun Balapan, sebab Tirtonadi dan Senja yang menawan masih jadi pilihan. Bus antarkota yang menurutku tidak terlalu rumit untuk dipesan. Langsung datang dan berangkat lalu sampai di tujuan. Paling-paling hanya saat ngetem untuk cari penumpang yang harus memangkas ekspektasi jam kedatangan.

Malas saja kalau harus mengantri tiket lebih awal lalu pulang lagi ke kosan, atau mengunduh aplikasi kemudian bayar di minimarket terdekat. Aku memang anak yang nggak mau ribet. Makanya masih pilih untuk naik bus.

Aku senang dengan perjalanan sore menuju malam karena sesampainya di Jogja bisa jumpa malam dan lampu-lampu yang temaram. Namun saat esok harinya aku mendadak ada tugas kuliah yang harus dikumpulkan di hari Senin, aku harus segera balik lagi ke kosan untuk bisa lekas mengerjakan.

Aku adalah tipikal orang yang mudah gugup dan selalu kepikiran sesuatu yang belum terselesaikan. Tim dari penerbit bukuku, Kak Tri pun mengantarku ke Stasiun Lempuyangan untuk memesankan tiket Prameks. Di sana, untuk pertama kalinya kisah ini dimulai. 

“Saya balik ke Solo dulu Kak, terima kasih buat wejangannya,” aku menyalami tangan pemimpin redaksi yang sudah membawaku ke industry buku ini dengan senyuman.

Kalau bukan karena kebaikannya mungkin aku tidak bisa ada di titik sekarang.

“Kalau sudah sampai kabari Gas.” 

Prameks via Rizku Bagaskara
Prameks via Rizky Bagaskara

Aku mengangguk dan bergegas melangkah ke gerbong itu. Melempar pandangan ke sekitar untuk mencari kursi yang masih kosong. Entah kenapa aku suka untuk duduk di samping jendela. Kebiasaan ini sudah berlangsung lama, sejak aku kecil—saat naik mobil, bus, KRL Jakarta Tangerang, juga pesawat.

Duduk di samping jendela, aku bisa mengabadikan momen dan bercerita tentang perasaanku kepada rumput-rumput yang berlalu begitu cepat, sudut-sudut kota, café dan segala gelap-terangnya yang memikatku untuk mampir tapi rasa lelah masih jadi pemenangnya.

Mulai Berkenalan dengan KA Prameks

Mulai dari hari itu, aku terbiasa untuk menggunakan Prameks saat bertolak ke Jogja, begitu juga sebaliknya. Tidak hanya untuk ke kantor penerbit saja, saat ada acara festival buku, jalan-jalan ke Gramedia Jogja, ke ISI Jogja, juga saat perhelatan JAFF. Atau hanya sekadar ingin menikmati Malioboro dan membaur dengan rasa tenang yang Jogja sediakan.

Saking lelahnya, aku pernah sampai ketiduran dan baru bangun saat sudah di Stasiun Balapan. Iya, gerbong-gerbong mimpi itu, aku menyebutnya. Gerbong yang menjadi saksi bisu atas segala perasaan yang kadang sulit untuk kudeskripsikan. Dari senyum malu-malu saat berhasil menyapa seorang perempuan, bahagia karena bisa dikasih bunga saat bertemu dengan pembaca, juga tentang air mataku yang membasahi pipi saat hidup terlalu berat namun semua ini harus tetap dilanjutkan. Sampai ketika aku kelelahan dan tertidur. Semuanya masih ku ingat dengan sangat jelas.

Detik-detik peluncuran buku menjadi momen paling menyenangkan selama perjalananku bolak balik Solo-Jogja. Gembira yang tak terkira saat menyembunyikan dan mempersiapkan kejutan untuk pembaca.

Kusadari, aku menjadi dekat dengan Jogja karena gerbong itu. Jajan ke Malioboro saat mendapat insentif dan mentraktir sahabatku di perantauan. Bahkan saat mengetik tulisan ini aroma serta rasa makanan yang aku hampiri itu masih terasa lezatnya. Kemudian dilanjutkan duduk-duduk santai sambil tenggelam dengan isi kepala masing-masing.

Berlari-lari dari Malioboro menuju Stasiun Tugu saat jam pulang sudah mendekati keberangkatan Pramkes ke Solo, juga berdesak-desakkan di GrabCar hanya untuk sampai di kosan. Aku tidak pernah membayangkan akan besar di sana. Solo dan Jogja, dua kota yang menjadi tempat singgah saat aku bingung mencari arah. Karena ku kira semua hidupku akan selalu tentang Jakarta dan gedung-gedung tingginya. Namun ternyata tidak.

Dan sekarang yang aku bisa lakukan hanya rindu. Iya, hanya rindu. Sebab saat kubuka linimasa ramai orang membicarakan Prameks sudah tidak beroperasi lagi. Iya, video Tiktok dari akun alras13 yang berisi upacara pelepasan Prameks terakhir pada hari Selasa, 9 Februari 2021 lalu ramai direspons orang.

Banyak komentar haru dan pilu menyambut perpisahan. Ternyata pun aku baru tau kalau gerbong mimpi ini sudah beroperasi selama 27 tahun. Waktu yang sangat lama untuk ukuran sebuah transportasi. Entah sudah berapa banyaknya kenangan pahit serta manis, sebuah cerita hidup yang magis, Prameks sudah terpatri dan punya tempat sendiri di hati. Jangan tanya mengapa bisa beberapa waktu lalu sempat trending di Twitter, juga meramaikan linimasa. Karena memang ada banyak cerita di sana.

Serta menggetarkan hatiku untuk membagikan sedikit kisahku bersama Prameks. Seperti di awal, sekarang aku hanya bisa rindu. Hanya itu.

Tinggalkan Komentar