Tidak heran jika daerah yang berada di dekat pantai, sebagian masyarakatnya bermata pencaharian sebagai penjual ikan dan hasil tangkapan laut lain. Sorong salah satunya, memiliki wilayah di pinggir daratan, membuat sebagian dari mereka memilih menjadi nelayan dan penjual ikan.
Di Sorong, ada salah satu tempat bernama Jembatan Puri, tempat jual beli ikan dan hasil tangkapan laut lain. Tidak tahu mengapa nama itu tidak dinamakan “pasar”, tetapi tetap memakai nama asli dari tempat itu, Jembatan Puri.
Pernah waktu itu saya ingin pergi ke Jembatan Puri menggunakan angkutan umum, ketika saya menyebutkan nama tempatnya “Pasar Puri” seketika langsung dikoreksi oleh bapak supir angkotnya, dengan logat khas Papua, “Jembatan Puri kah?”
“Yang tempat jual ikan itu, Pak.” Jawab saya.
“Oh, iya, Jembatan Puri itu.” Balasnya lagi.
Seketika saya langsung mengiyakan, karena saya yang memang pendatang, tidak ada gunanya menyangkal lagi salah satu fakta yang ada di kota orang.
Lokasi Jembatan Puri ini masih berada di Kota Sorong, tidak di ujung maupun di tempat terpencil seperti yang dibayangkan. Hanya saja perlu masuk ke dalam gang, tetapi tidak terlalu jauh dari jalan raya.
Sampai di Jembatan Puri, ternyata tidak hanya menjual ikan dan hasil laut saja, ada juga yang berjualan sayur, sembako, juga sagu. Tetapi memang tidak seperti pasar tradisional kebanyakan. Hanya sedikit yang berjualan sayur dan sembako, karena memang spesialisasi tempat itu untuk berjualan ikan dan hasil laut lainnya.
Jam operasional Jembatan Puri buka dari subuh hingga jam 9 pagi. Pernah waktu itu saya mencoba datang jam 10, sudah tidak ada lagi penjual. Sepi. Mereka bahkan sudah keluar dari tempat itu dengan membawa peralatan jualannya juga barang dagangannya. Hanya sisa penjual sayur dan sembako, itupun hanya tinggal beberapa.
Para penjual membuat lapaknya sendiri untuk barang dagangannya. Payung hanya opsional, dan mereka biasa menggunakan terpal sebagai alas ikan-ikan itu. Lalu memamerkan ikan-ikan itu, bahkan sudah ada yang dikelompokkan, atau sudah dihitung penjualnya, jika nanti ada yang membeli langsung dibungkus.
Fakta lain yang membedakan Sorong dengan Jawa adalah timbangan. Membeli ikan di Sorong tidak dengan menyebut ingin berapa kilogram, tetapi penjualnya sudah membuat takaran sendiri, tinggal menyebut ingin berapa tempat yang mau dibeli. Pertama membeli juga agak bingung, karena terbiasa dengan menyebut beratnya, bukan jumlahnya.
Contohnya saja ketika membeli ikan Kembung atau ikan Lema biasa orang sini menyebutnya, saya ditawari oleh penjual, satu tempat harganya lima belas ribu. Isi ikan sekitar lima ekor.
Selayaknya pasar, Jembatan Puri tidak pernah kehabisan pembeli. Ada saja yang mendatangi tempat itu dan membeli beberapa ikan. Karena ikan-ikan yang dijual pun juga masih segar. Hasil tangkapan nelayan semalam berlayar, lalu esok paginya dijual.
Lalu bagaimana dengan di pasar tradisional di sini? Apakah di pasar tradisional tidak menjual ikan segar?
Pasar tradisional juga menjual ikan laut, tetapi untuk kesegaran dari ikan tentu kalah dengan ikan yang dijual di Jembatan Puri. Uniknya pasar tradisional di Sorong, mereka buka dari pagi hingga sore menjelang maghrib. Biasanya di Jawa, pasar tradisional hanya buka dari pagi hingga siang atau dari sore hari hingga tengah malam.
Tetapi enaknya belanja ikan di pasar tradisional, ketika sudah sore hari biasanya mendapat harga diskon. Dari yang semula membeli dua tempat diberi harga Rp30 ribu, bisa menjadi lebih ekonomis mendapat harga sampai Rp20 ribu. Tetapi perlu diingat, ikan sudah tidak sesegar pagi hari.
Tak jarang, pembeli ikan-ikan itu sebagian adalah pemilik warung makan seafood yang berada di Sorong. Tepatnya di Tembok Berlin, warung berjejeran di area ini, menawarkan aneka masakan hasil laut. Bedanya dengan di Jawa, pembeli bisa memilih sendiri ikan yang ingin dimakan. Memilih jenis ikan apa sampai ukuran yang seberapa.
Oh iya, Tembok Berlin itu sebutan nama tempat di Sorong. Biasanya itu menjadi titik tujuan akhir untuk orang-orang yang jogging di pagi atau sore hari. Karena di sore hari, selain terdapat warung makan seafood, juga tersedia penjual gorengan dan kelapa muda. Terlebih jika beruntung mendapat cuaca yang cerah, kita bisa mendapati pemandangan matahari tenggelam di Tembok Berlin.
Dua kali saya makan di warung makan area Tembok Berlin. Pertama kali ke sana, saya memilih ikan nubara karena memang tidak terlalu suka dengan ikan. Harganya cukup murah, Rp55 ribu sudah lengkap dengan nasi putih, lalapan, dan sambal colo-colo.
Sambal colo-colo itu mirip sambal dabu-dabu, bedanya adalah jika sambal dabu-dabu disiram dengan minyak, sedangkan sambal colo-colo menggunakan perasan jeruk nipis atau jeruk lemon. Rasanya sama-sama enak, hanya saja sambal colo-colo memiliki sensasi asam. Dipadukan dengan ikan bakar sangat cocok. Namun, kalau kurang suka dengan sambal colo-colo, kita bisa menggantinya dengan sambal terasi.
Saya baru pertama kali mencicipi sambal colo-colo. Ternyata, rasanya enak. Cocok di lidah saya. Sambal colo-colo bisa menjadi alternatif bikin sambal super cepat ketika sedang malas mengulek.
Yang kedua, saya memilih ikan kerapu di warung berbeda dari warung pertama yang saya datangi. Warnanya merah, bentuk ikannya memanjang. Kalau ikan bubara bentuknya pipih atau melebar ke samping. Rasa dari ikan kerapu lebih juicy, lebih manis, lebih enak dibandingkan ikan bubara. Wajar sih, karena harganya juga lebih mahal dibandingkan dengan ikan bubara tadi.
Sorong tak kalah unik dengan Bali, tak kalah ramai dengan Jakarta, pandangan “underestimate” hanya membuat diri tidak akan ke mana-mana.
Bekerja di KPP Pratama Sorong, tertarik dalam bidang literasi dan suka jalan-jalan.