Sebelum Indonesia berdiri sebagai republik, komunitas adat di Sorong dan Sorong Selatan telah menghuni serta merawat hutan dan laut dengan kearifan lokal secara turun-temurun. Jauh sebelum konsep konservasi dan zonasi muncul. Namun, pengakuan oleh negara berjalan amat lambat.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hamparan hutan tropis di kawasan ekowisata Malagufuk, Sorong. Di Papua, hutan dan segala isinya dilindungi dan disakralkan karena memenuhi hajat orang banyak, termasuk masyarakat adat/Deta Widyananda

“Semua tanah di Papua itu tanah adat!” tegas Onesimus Ebar lantang kepada tim Ekspedisi Arah Singgah Papua 2024. Pernyataan ini terlontar dari mulut Kepala Kantor EcoNusa Sorong Selatan itu saat membahas progres pengajuan legalitas hutan adat ke pemerintah pusat di Kampung Bariat, Distrik Konda. Adrianus Kemeray, kepala kampung, juga ikut dalam diskusi. Sejumlah warga turut merapat mendengarkan dan sesekali memberikan pandangan.

Ones, panggilan akrabnya, mengungkit peristiwa heboh empat tahun silam. Pada Oktober 2020, seluruh lapisan masyarakat berkumpul. Mulai dari ketua adat, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, relawan, sampai yayasan nirlaba seperti Greenpeace dan Pusaka Bentala Rakyat hadir di kantor Distrik Konda. Kepala distrik saat itu, Sopice Sawor menampung aspirasi masyarakat adat yang menggelar aksi demo menolak rencana perusahaan perkebunan kelapa sawit masuk ke wilayah mereka. Sopice, yang juga istri Ones, kemudian mendesak Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan mencabut rekomendasi izin PT Anugerah Sakti Internusa (ASI). 

Izin usaha dan izin lokasi tersebut telah dikeluarkan Bupati Otto Ihalauw pada periode 2013–2014. Rinciannya, ASI mendapat lahan seluas 37.000 hektare di Distrik Teminabuan dan Distrik Konda. Selain itu, juga ada PT Persada Utama Agromulia (PUA) yang memperoleh izin lahan 25.000 hektare di Distrik Wayer dan Distrik Kais. Namun, sampai tahun 2020 belum ada aktivitas usaha apa pun yang dilakukan kedua perusahaan tersebut. 

Khusus di wilayah Distrik Konda, Sopice menekankan bahwa sedari awal masyarakat tidak pernah menyatakan setuju adanya investasi kelapa sawit. Sebab, masyarakat adat yang terdiri dari subsuku Genma, Afsya, Nakna, dan Yaben, yang tersebar di lima kampung (Manelek, Bariat, Nakna, Konda, dan Wamargege) sangat bergantung pada sagu, hasil hutan, dan perikanan. Jika perusahaan sawit masuk dan mengubah peruntukan lahan adat, maka akan sangat merugikan masyarakat.

Upaya penolakan masyarakat adat tersebut akhirnya berhasil meluluhkan pemerintah. Pada bulan Mei 2021, Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli mencabut izin PUA dan ASI. Di akhir tahun yang sama, Samsudin mendapat perlawanan. Kedua perusahaan sempat menggugat keputusan bupati ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura. Namun, setelah melalui proses persidangan, pada 23 Mei 2022 PTUN Jayapura memutuskan menolak gugatan PUA dan ASI. Maka, keputusan bupati tetap sah.

Pemkab memang akhirnya menerbitkan peraturan daerah pada 2022 dan keputusan bupati pada 2024, yang intinya mengakui dan melindungi 42 kelompok subsuku dan ratusan marga sebagai bagian masyarakat hukum adat dan wilayah adat di Sorong Selatan. Dan seperti Ones bilang, ini harus diapresiasi. Akan tetapi, masih ada jalan terjal dan proses berlipat-lipat demi pengakuan negara, melalui kementerian kehutanan. Perjalanan masyarakat adat di sana belum akan berhenti. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Diskusi soal hutan adat di Kampung Bariat, Sorong Selatan/Mauren Fitri

Konsep luhur dari leluhur dalam menjaga alam

Situasi serupa juga dialami oleh komunitas adat suku Moi di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Bahkan regulasi pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Moi sudah ketok palu menjadi peraturan daerah (perda) sejak 2017. Lima tahun lebih awal daripada Sorong Selatan. Menurut Torianus Kalami, tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), sampai saat ini belum ada pengakuan resmi dari negara terhadap masyarakat hukum adat dan wilayah adat suku Moi. 

“Kita tidak tahu kapan negara akan memberi pengakuan. Perjalanannya panjang sekali,” kata pria yang akrab disapa Kaka Tori itu. Ia mengaku sampai lupa berapa kali pihaknya melakukan audiensi lintas kementerian di Jakarta. Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen termasuk salah seorang yang cukup rutin mendampingi mantan anggota DPRD Kabupaten Sorong 2014–2019 tersebut ke ibu kota.

Kaka Tori tidak mengada-ada. Lebih dari 20 tahun lalu, ia bersama Oktovianus Mobalen sudah mendirikan PGM, yang salah satu fungsinya mengadvokasi masyarakat suku Moi dalam hal pemetaan dan pengelolaan wilayah adat, serta konservasi. Selain itu, PGM juga mendorong pelestarian tradisi egek lewat Festival Egek yang berlangsung setahun sekali.

Sebagai informasi, egek merupakan konsep konservasi tradisional dan penerapan zonasi pemanfaatan sumber daya alam terbatas ala suku Moi. Egek seperti sasi, yang memberlakukan larangan aktivitas apa pun pada area-area tertentu yang telah disepakati secara adat. Kaka Tori mengatakan egek telah berkontribusi nyata pada perlindungan kawasan hutan, laut, dan keanekaragaman hayati di tanah Moi, khususnya Malaumkarta Raya.

Termasuk di dalamnya Malagufuk, kampung kecil di pedalaman Hutan Klasow. Sekitar 15 menit berkendara dilanjut satu jam berjalan kaki 3,5 kilometer menembus jembatan kayu panjang di tengah hutan tropis. Penerapan egek tetap berlaku sekalipun aktivitas ekowisata birdwatching cenderawasih kian menggeliat. Opyor Jhener Kalami, pemuda dan koordinator ekowisata Malagufuk, bersama masyarakat telah menentukan jalur-jalur trekking yang tidak mengganggu zona egek

Sedikit berbeda dengan suku Moi, komunitas adat di Distrik Konda memiliki konsep mendasar dalam menjaga harmonisasi manusia dan alam. Baik itu subsuku Gemna (sebagian besar di Kampung Manelek), Afsya (Kampung Bariat), Nakna (Kampung Nakna), serta Yaben yang merupakan penduduk mayoritas Kampung Konda dan Wamargege. Dalam proses pemetaan wilayah adat oleh lembaga Konservasi Indonesia pada 2022, masyarakat yang menjadi bagian suku besar Tehit memiliki dua tipe pendekatan “tempat penting” untuk mengatur tata ruang adat, yaitu tempat penting sebagai identitas dan sumber penghidupan.

Tempat penting sebagai identitas (jati diri) mencakup tempat asal mula, benteng perang, kuburan leluhur, tempat keramat, tempat sejarah, lokasi rumah adat (meliputi rumah pembayaran harta pernikahan, rumah inisiasi adat untuk pemuda), hingga sekolah adat. Lalu cakupan tempat penting sebagai sumber penghidupan antara lain dusun sagu, area hutan untuk berburu dan meramu, tempat memancing ikan, hingga sumber air. 

Ketika di Bariat, Adrianus melihat dua contoh tempat penting yang bisa diakses pendatang atau orang umum seperti kami. Pertama, hutan “Mrasa” yang dekat dengan makam ibunda Yulian Kareth (ketua adat Bariat). Kedua, dusun sagu atau hutan sagu, yang kala itu kami juga diajak menyaksikan proses pengolahan sagu di lahan milik keluarga Nikson Kemeray.

Baik Kaka Tori maupun Adrianus sependapat, bahwa segala tradisi yang mereka lakukan sekarang merupakan warisan kebudayaan leluhur yang penuh nilai dan filosofi mendalam. Kedua suku besar itu memiliki kesamaan, yaitu menganggap hutan serupa halnya dengan ibu atau mama. Sebuah prinsip kehidupan yang umumnya juga dipegang erat oleh orang-orang Papua, melekat sedari lahir sampai tutup usia. Bentuk penegasan diri, yang rela dipertahankan mati-matian dari ancaman kebijakan maupun investasi yang mengatasnamakan pemerataan pembangunan.

Kiri: Masyarakat suku Moi dengan kostum adat yang biasa dipakai saat menampilkan tarian adat dalam Festival Egek di Malaumkarta, Sorong. Kanan: Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya dengan busana adat di salah satu tempat keramat di dalam hutan Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Melawan agresi sawit dan kebijakan pangan pemerintah yang salah kaprah

Dalam sebuah obrolan malam di teras rumah Adrianus Kemeray, kami sempat bercerita sekilas pengalaman perjalanan darat Sorong–Teminabuan. Kami cerita juga soal fakta lokasi perkebunan kelapa sawit yang letaknya tersembunyi di dalam hutan, jauh dari pinggir jalan raya. Rumpun pohon sawit itu baru akan terlihat ketika melintasi jalan yang menanjak di atas perbukitan.

Mendengar itu, Daniel Meres menimpali, seperti meminta kami mengingat-ingat detail pemandangan atau sesuatu yang mungkin terlewatkan selama perjalanan. Pria yang tinggal persis di seberang rumah Adrianus tersebut bilang, “Coba anak lihat di sepanjang jalan dari Sorong ke Teminabuan. Mulai dari Aimas sampai Klamono. Banyak pondok-pondok kayu di pinggir jalan, toh? Itu adalah rumah buat 2–4 keluarga. Dulu itu hutan, sekarang habis karena sawit masuk.” Di Bariat, orang-orang tua memanggil kami ‘anak’, karena tidak terlalu hafal nama kami.

Kami pun terkesiap. Tak menyangka. Belum sempat menanggapi, Daniel kembali bersuara lantang, “Kalau sampai sawit masuk [Distrik] Konda, kita mau makan apa? Mau bikin rumah pakai apa? Bagaimana anak cucu kita nanti?”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Salah satu ruas jalan antara Aimas-Klamono yang dulunya hutan lebat. Ada sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di sekitar sini dengan lokasi perkebunan agak tersembunyi/Rifqy Faiza Rahman

Di titik inilah kami semakin memahami pandangan hidup dan kedekatan orang-orang Papua terhadap hutan. Termasuk Kampung Bariat. Bisa dibilang, Tuhan telah menyediakan sumber daya alam yang melimpah dan dimanfaatkan secara gratis. Salah satunya adalah sagu, yang menjadi pangan pokok masyarakat, memiliki nilai ekonomi, bahkan berdampak positif mengurangi perubahan iklim lewat penyerapan karbon.

Saat di Bariat, kami diajak melihat salah satu tempat penting atau keramat di dalam hutan. Lokasinya berada di area makam ibunda Yulian Kareth, tokoh adat Bariat. Persis di sebelahnya ada pohon tua yang diberi nama “Mrasa”. Kami ingat sempat melihat sebuah pohon merbau (kayu besi) di yang tumbuh di dekat Mrasa. Dalam pandangan saya, ukuran batang tegaknya terbilang besar, sampai-sampai tidak akan mampu dipeluk satu orang. 

Tapi, lagi-lagi Daniel membuat kami terdiam dan merenung. “Kalau kayu besi yang di dekat Mrasa itu [ukurannya] masih kecil. Ada lagi yang jauh lebih besar, tapi sudah tumbang dulu sekali,” jelasnya. Saya tak sanggup membayangkan. 

Ia menambahkan, “Bayangkan sawit [akan] tebang habis hutan kita, berapa lama mau menanam kayu besi itu? [Pasti] lama sekali. Dari [masih] anak, sampai punya anak, sampai punya anak lagi saja itu masih tumbuh kecil.” Bibirnya mengulas senyum. Warga lain yang ikut nongkrong malam itu tertawa kecil. Ia sekilas tampak berseloroh, tapi sesungguhnya getir. 

  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
  • Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan

Di tempat terpisah, Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen menekankan pentingnya legalitas kuat dari pemerintah pusat atas kepemilikan hutan adat. Pengakuan negara akan melegitimasi upaya-upaya kehidupan masyarakat berbasis adat, yang telah nyata mampu menjaga warisan hutan dan seisinya berabad-abad.

Sebagai orang yang duduk di struktural pemerintahan, Jefri mafhum kalau pembangunan pun juga sama pentingnya. Terutama pengembangan infrastruktur, yang fungsinya memudahkan mobilitas masyarakat menjangkau kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan pasar tradisional. Namun, ia mewanti-wanti para pemangku kebijakan agar tetap memerhatikan kelestarian hutan dan keberadaan masyarakat adat. Ada kekhawatiran jika mereka tersisihkan dari rencana pengembangan modal industri ekstraktif, seperti usaha pertambangan atau perkebunan kelapa sawit.

“Kami sebagai masyarakat adat harus melestarikan hutan adat dan menjaga [dari] ancaman investasi. Karena ketika ancaman investasi itu masuk, maka kita tidak lagi dikenal sebagai pemilik hak wilayah adat. Investasi pasti masuk dengan berbagai cara untuk merusak hutan adat [kami],” tutur Jefri. 

Ia pun terang-terangan mengakui, potensi investasi ekstraktif yang ingin merebut tanah ulayat tersebut akan selalu ada sampai kapan pun. Sekalipun payung hukum tertinggi dari negara sudah dalam genggaman. Tidak ada yang pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, lebih-lebih stabilitas politik yang masih jauh dari angan, yang selalu menjadi lahan basah para elite di kalangan pemerintahan maupun pengusaha.

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Cenderawasih kuning-kecil bertengger di pepohonan Hutan Klasow, Malagufuk, Sorong. Cenderawasih yang nyaman singgah di hutan memberi manfaat ekonomi melalui ekowisata. Alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan atau pertambangan yang merusak membuat alam kehilangan keseimbangan dan masyarakat adat kehilangan tempat tinggal/Deta Widyananda

Tengok saja kabar paling hangat yang terjadi sejak tahun lalu di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Dua proyek strategis nasional dengan skala gila-gilaan sedang berlangsung di kabupaten terluas di Indonesia tersebut. Pertama, membangun perkebunan tebu untuk swasembada gula dan pabrik bioetanol, yang diinisiasi Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) pada 19 April 2024. Kedua, proyek cetak sawah sebagai lumbung pangan baru, yang diinisiasi Prabowo Subianto—saat itu Menteri Pertahanan dan menjadi presiden terpilih—pada tahun yang sama. 

Kedua proyek tersebut ditargetkan akan menempati lahan seluas 2,29 juta hektare yang disiapkan Pemerintah Provinsi Papua Selatan dan Pemerintah Kabupaten Merauke. Itu sama dengan separuh dari total daratan Merauke, atau 70 kali lipat luas Jakarta. Mencaplok belasan distrik terdampak, mengganggu ruang hidup puluhan ribu penduduk, serta melenyapkan jutaan hektare tanah ulayat suku Marind-Anim—komunitas adat terbesar Merauke. Jokowi dan Prabowo seperti tidak pernah belajar pada proyek serupa zaman Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang gagal. Alih-alih diperbaiki, justru hampir 1,3 juta hektare bekas lahan MIFEE terbengkalai dan sebagian dimanfaatkan puluhan korporasi ekstraktif yang semula termasuk dalam konsorsium penggarap proyek.

Akibatnya, Merauke mengalami laju deforestasi terbesar di Tanah Papua. Auriga Nusantara mencatat, selama 2011–2019 sekitar 123.000 hektare hutan—baik itu hutan alam maupun nonhutan alam—lenyap seiring izin pelepasan kawasan hutan (PKH) meluncur ke sejumlah perusahaan atau mendukung program pemerintah. Di periode yang sama, total laju deforestasi di Sorong dan Sorong Selatan hanya seperempat Merauke. Namun, tidak menutup kemungkinan dua kabupaten bertetangga di Papua Barat Daya itu mengalami nasib serupa. 

Masa depan hutan primer Indonesia, khususnya Papua, terancam suram menyusul pernyataan kontroversial Presiden Prabowo Subianto akhir tahun lalu. Di depan peserta Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Bappenas (30/12/2024), Prabowo mengatakan perlunya menambah lahan kelapa sawit di Indonesia. Ia menganggap sawit merupakan komoditas strategis dan aset negara yang tidak akan menyebabkan deforestasi. Dari sudut pandangnya, sawit dianggap setara dengan pohon-pohon tropis karena memiliki daun dan menyerap karbondioksida.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni ikut memperparah situasi. Dalam pernyataannya pada 3 Januari 2025 lalu, pihaknya bermaksud membuka 20 juta hektare hutan di seluruh provinsi di Indonesia untuk mendukung program lumbung pangan Kementerian Pertanian dan ESDM. Angka tersebut setara hampir dua kali luas Pulau Jawa, atau lebih dari separuh luas hutan Papua. 

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Hasil pembukaan hutan besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit di Nimbokrang, Jayapura. Situasi serupa yang jamak terjadi di beberapa distrik di Sorong maupun Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pesan untuk negara: Papua bukan tanah kosong

Langkah-langkah sembrono pemerintah tersebut layak dikritik keras dan harus dilawan, karena seolah beranggapan kehilangan satu pohon tak akan berarti apa-apa. Padahal, deforestasi tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menggusur ruang hidup masyarakat adat yang tinggal di kawasan hutan. Sebab, mengutip kata Daniel, kita tidak akan pernah bisa memulihkan hutan dan seisinya—apalagi ekosistem dan rantai makanannya—seperti sediakala. 

Di sisi lain, pernyataan pemerintah juga sangat bertentangan dengan komitmen Indonesia sebagai anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Sidang pleno terakhir The 2024 United Nations Biodiversity Conference of the Parties (COP16) pada 1 November lalu, menuntut setiap negara mengakui peran masyarakat adat dan komunitas lokal dalam konservasi keanekaragaman hayati dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.

Dalam rilis resminya, seperti dikutip Tempo (3/1/2025), peneliti The Indonesian Institute Christina Clarissa Intania mengingatkan negara harus hadir dan menghormati keberadaan serta hak-hak masyarakat adat. Salah satu caranya dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang mandek di meja kerja DPR RI selama 14 tahun. Jika tidak segera disahkan, Christina menyebut akan banyak kelangsungan hidup masyarakat adat yang terancam karena tak kunjung mendapat pengakuan.

Berdasarkan data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) pada 9 Agustus 2022, sebanyak 1.119 peta wilayah adat dengan cakupan lahan seluas 20,7 juta hektare telah terdaftar. Namun, dari jumlah itu baru 3,1 juta hektar yang memperoleh pengakuan pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

Di tingkat nasional, lebih sedikit lagi. Di Papua saja, penetapan hutan adat pertama oleh pemerintah pusat baru terjadi di dua daerah, yaitu Kabupaten Jayapura (enam wilayah hutan adat dengan total 24.582,9 hektare) dan Kabupaten Teluk Bintuni (satu wilayah hutan adat seluas 16.299 hektare). Keputusan itu diserahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) VI pada 24 Oktober 2022 di Stadion Barnabas Youwe, Jayapura.

Tentu saja para tokoh masyarakat adat dan sejumlah lembaga terkait di Sorong maupun Sorong Selatan ingin mengikuti jejak Jayapura dan Teluk Bintuni. Di Bariat, Adrianus sudah menyatakan sikap, bahwa masyarakat Afsya tidak akan memberikan peluang sekecil apa pun kepada perusahaan kelapa sawit untuk masuk ke wilayahnya. 

“Kami minta supaya pemerintah jangan menjadikan hutan kami sebagai salah satu objek [eksploitasi] apa pun untuk [menguntungkan] kehidupan mereka. Terutama kepada rekan-rekan kami orang Papua, yang jadi bupati, yang jadi camat, yang jadi apa pun, [juga] dinas-dinas terkait,” tegas suami Dorcila Gemnasi itu, “kalau orang Papua sudah sengaja menjual tempat (hutan) kami, berarti dia lupa diri sebagai anak adat.”

Jalan Panjang Pengakuan Hutan Adat di Sorong dan Sorong Selatan
Adrianus Kemeray memanggul pelepah sagu di hutan adat Kampung Bariat/Deta Widyananda

Sampai sekarang, masyarakat subsuku Afsya di Bariat bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat masih memperjuangkan kampung dan hutan adat 3.307,717 ha agar mendapat pengakuan negara. Embusan napas perjuangan yang turut ditempuh oleh kampung-kampung lain di Papua Barat Daya. Lembaga-lembaga nirlaba, seperti EcoNusa dan Greenpeace juga berperan memberi pendampingan pemetaan hingga advokasi untuk menjembatani aspirasi masyarakat dengan pemerintah.

Selain urusan administrasi dan advokasi, gerakan sosial pun juga bagian dari upaya melawan keserakahan. Bagaimanapun bentuknya. Seperti halnya suku Awyu di Boven Digoel, Papua Selatan, yang memasang banyak salib merah dari kayu di hutan-hutan adat mereka yang terancam serbuan kelapa sawit. Atau, gerilya Mama Yasinta Moiwend dan masyarakat adat Marind-Anim terdampak food estate di Merauke, datang langsung ke Jakarta dengan berlumur lumpur putih (poo) di sekujur tubuh sebagai bentuk duka.

Di tengah upaya perebutan ruang hidup masyarakat adat oleh negara maupun swasta, pengakuan wilayah hutan adat semestinya jadi keniscayaan. Segala perjuangan maupun perlawanan untuk itu harus jadi berarti. Papua memang sangat jauh dari Jakarta, dari ibu kota negara. Tapi, itu bukan berarti jauh dari pantauan. ‘Papua bukan tanah kosong’ itu bukan omong kosong. 

Seperti halnya adat yang melekat pada sendi-sendi kehidupan masyarakat, perjuangan untuk melestarikan alam dan kebudayaan adalah perjalanan yang tidak akan pernah selesai. Tidak akan mudah, tetapi belum tentu mustahil. (*)


Foto sampul:
Yulian Kareth, ketua adat subsuku Afsya Kampung Bariat, Sorong Selatan/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar