Jalan aspal yang mulus itu mulai mengepul diterpa matahari siang. Kumpulan bukit-gunung itu dibelah sedemikian rupa untuk mempermudah perpindahan manusia. Jalannya minim lubang menganga yang menjadi trademark jalan di negeri kita, tapi sebagai wajah Indonesia, mustahil Bali digambarkan sedemikian rupa. Siapa nanti yang mau ke Indonesia kalau wajahnya saja buruk rupa?

Taman Bebek Hita/Arah Singgah

Rimbunan pohon kelapa dan pantai dengan laut yang membiru memberitahu kami bahwa daerah pesisir sudah dekat. Angin kencang menerpa muka kami yang sama-sama memacu motor dengan kecepatan tinggi, tidak berselang lama, kami sudah sampai di suatu bangunan yang bertuliskan “Pondok Bebek Hita.”

“Syukron, apa kabar?” sapa seorang pria dengan rambut yang masih lebat tetapi di beberapa bagian sudah mulai memutih. Kami menyalami beliau satu-satu dan kemudian dipersilahkan duduk di sebuah meja yang cukup luas untuk ditempati lima orang.  Pertemuan ini merupakan pertemuan kami yang pertama dengan lelaki ini, kecuali Syukron, yang sudah mengenal lelaki ini bertahun-tahun yang lalu. 

“Tadi pagi, Bli habis sembahyang di gunung itu tuh,” telunjuknya mengarah ke arah gunung yang berselimut awan, tepat di belakang Pondok Bebek Hita. Awalnya memang kami ingin pagi-pagi sekali menuju tempat ini, Amed, tetapi dari panggilan telepon waktu itu, lelaki ini sedang sibuk dengan suatu upacara yang dihadirinya.

Beliau memperkenalkan diri sebagai Komang Bajing. Nama aslinya adalah I Nyoman Ulian Arta Putra. Pendiri Pondok Bebek Hita, yang terkenal akan kelezatan bebek krispi dan ayam gulingnya. Dengan senyum yang tekembang, beliau meminta kami untuk menyebutkan nama satu per satu.

“Saya Irsyad, Bli, salam kenal. Saya dari Kalimantan.”

Asal kami yang berbeda, membuat Komang mengernyitkan dahi, dia mengira kami dari asal yang sama.

“Keren ya, asalnya beda-beda,” ucapnya sambil tertawa.

Amed adalah tempat yang tepat untuk mencari keheningan dengan suasana homogenitas yang masih tinggi. Amed diberkahi dengan laut dan gunung yang tidak berjauhan, sehingga dua entitas alam berbeda tersebut dapat dinikmati dari Amed. Amed yang sempat ramai harus pasrah dirundung beberapa kali bencana, yang paling parah yang pernah terjadi tentunya adalah pandemi COVID-19. 

“Sekarang ada lah satu, dua yang datang gitu. Dibanding dua tahun lalu jauh lah,” katanya. Bule-bule berseliweran di depan mata saya. Ada yang sedang berlari. Ada yang jalan bergerombol. Ada juga yang sedang masuk ke rumah makan ini ketika pembicaraan kami berlangsung. Amed sudah kembali beriak untuk pariwisata, meski belum maksimal.

“Bagaimana kalian berdua bisa saling mengenal?” Pertanyaan itu terlontar dari mulut saya ketika Syukron dan Bli Komang berbicara satu sama lain mengenai masa lalu. “Jadi saya melihat ‘mini Indonesia’ dari anak-anak muda yang tampilannya sederhana, nggak petantang-petenteng, tapi punya dedikasi yang kuat; baik itu keilmuan, tentang cara pandang tentang sosio-kultural. Inilah yang merekatkan kami,” sambil mengenang awal pertemuan dengan Syukron. Bli Komang adalah orang yang suka berdiskusi, tema kebhinekaan adalah salah satu topik perbincangan kami kali ini.

Mengobrol santai dengan Bli Komang/Arah Singgah

“Nasionalisme yang berlebihan nantinya jadi chauvinisme.” Narasi nasionalisme menurut Bli Komang adalah bagaimana para anak muda berkumpul melakukan sesuatu yang berguna untuk merekatkan, meskipun itu dimulai hanya dengan obrolan ringan. Dengan latar belakangnya sebagai pejalan senior, Bli Komang seringkali dikunjungi oleh anak-anak luar daerah untuk temu sapa dan diskusi, kemudian berbagi ide.

“Apapun agamamu, kau boleh beragama apapun. Yakini apa kau yakini, tapi ingat, kau ini anak Indonesia, kamu punya jati diri yang kuat bahwa dalam tataran dunia global, pergaulan asing, kita yang kalah.” Menurut Bli Komang, kita tumbuh sebagai generasi inferior yang selalu mengagung-agungkan masyarakat luar dengan budaya asing yang dirasa lebih hebat. Rasa inferior itu kemudian menutup celah SDM-SDM berkualitas dari negeri sendiri, dan akhirnya mengurung potensi Indonesia menjadi negara besar.

Makna Perjalanan dan Kurangnya Pengemasan Budaya

Kebanyakannya dari kita, menurut Bli Komang, masih memaknai perjalanan sebagai penasbihan diri karena telah mengunjungi tempat-tempat tertentu yang bagi beberapa orang mungkin sulit dijangkau. “Apa sih yang kita petik dari wilayah ini?” serunya dengan suara lantang.

Bli Komang kemudian merumuskan apa yang ingin ia petik dari berjalan jauh: mempelajari dan belajar dari suatu tempat adalah yang terpenting dari sebuah komponen yang bernama perjalanan. Melihat perbedaan untuk dipelajari dan melihat kesamaan untuk disyukuri. Cara pejalan yang seperti ini mungkin belum ditempuh oleh banyak orang. Bli Komang pun melanjutkan ceritanya. 

Perjalanan Bli Komang ke luar daerah (Bali) pertama kali pada 1997, naik motor butut menuju ke Pulau Lombok. Perjalanan ini pula yang pertama kali membuka matanya bahwa Indonesia punya beragam budaya dan alam yang indah.

Dirinya yang juga aktif sebagai anggota dari Rotary Club, sebuah kumpulan pengusaha yang mempunyai misi kemanusiaan di berbagai bidang seperti lingkungan, pendidikan, kepemimpinan, dan sebagainya. Dengan mengikuti klub tersebut, Bli Komang menjadi tahu alur kegiatan bantuan untuk negara-negara berkembang.

Bli Komang muda di Australia/Bli Komang

Saat pergi ke Australia, ia tinggal di sana selama beberapa saat. Selama di Australia, Bli Komang mengajar anak-anak SD, ia pun menjadi paham bagaimana alur berpikir warga Australia. Pengalaman inilah yang membentuk cara pandang Bli Komang melihat Indonesia dari negeri seberang. 

“Apa yang Australia punya, man made-nya, geografisnya, kalau dibanding-bandingkan dengan yang kita punya, jauh kaya kita,” katanya. Indonesia punya segalanya, tapi kita belum bisa mengemasnya dengan tampilan yang memukau. Kita terlalu nyaman dengan apa yang kita punya menyebabkan kita tidak mengembangkan diri lebih jauh.

“Kalau ritme kita begini-begini saja, kita akan selalu menjadi bangsa buruh. Kita jual mentah-mentah semua ke luar dan tidak menjadi produktif,” gerutunya.

Bli Komang membandingkan pencapaian negara Asia Tenggara lainnya dengan Indonesia pada 15 tahun yang lalu. Dari berbagai sektor, ketika kita masih berandai-andai, negara-negara yang lain sudah mewujudkannya. Salah satu contohnya adalah Bli Komang takut untuk naik kereta di negeri sendiri pada waktu itu, memilih untuk naik kereta di negara lain yang jauh lebih manusiawi dan tidak berbahaya. Dia bergidik ngeri ketika melihat kegilaan perkeretaapian di Indonesia waktu itu masih amburadul. Belum lagi, Bli Komang menyorot soal mental buang sampah di tempat yang masih mengakar hingga kini.

Meresapi perjalanan/Bli Komang

“Kalau kita mau membangun sebuah peradaban harus simultan dan linier. Pemerintah, pendidikan, dan keluarga.”

Ketika Indonesia Raya dikumandangkan, Bli Komang mengaku selalu merinding mendengar marwah lagu kebangsaan tersebut. “Kalau saya dilahirkan kembali, saya akan memilih Bali dan Indonesia sebagai negara saya.” 

Kecintaannya pada negara ini tidak perlu diragukan. Dia ingin memajukan bangsa ini dari kemampuan yang ia bisa. Kemudian dengan berapi-api Bli Komang menerangkan bagaimana Korea berhasil mengemas dan melabeli produk negerinya di seluruh elemen untuk mengkampanyekan budaya Korea. Indonesia bisa belajar banyak dari Korea Selatan untuk mengadopsi pemasaran mereka di dunia internasional.

“Makin ke sini, Bli makin optimis. Kita perlu waktu mungkin sekitar 15 tahun. Dari anak-anak mudalah yang nanti akan jadi trigger.”

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id. 


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar