Bagi masyarakat Indonesia, tradisi adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Letak geografis memiliki andil dalam mewarnai tradisi yang ada, sebagai bentuk respons dari masyarakat terhadap keadaan sekeliling dan kepercayaan di hati mereka.
Pada masyarakat lereng gunung, misalnya, yang secara geografis berdampingan dengan alam dan segala sumber dayanya memiliki tradisi untuk menjaga wilayahnya. Salah satunya adalah iriban, gerakan merawat sumber mata air di lereng Gunung Ungaran. Melalui tradisi ini, kita akan diajak untuk berefleksi bagaimana para leluhur memiliki hubungan yang teramat dekat dengan alam. Selain itu juga ingin mewariskan spirit ini pada anak cucu mereka demi sebuah harmoni kehidupan yang lestari.

Ungaran, Gunung Penting di Jawa Tengah
Gunung Ungaran adalah salah satu gunung terpenting di Jawa Tengah. Terutama di tiga wilayah yang terdampak langsung dengan sumber daya dan segala aktivitasnya, yaitu Kota Semarang, Kabupaten Semarang, dan Kabupaten Kendal.
Sekalipun nama Gunung Ungaran tidak sepopuler Gunung Slamet, tetapi gunung ini patut menjadi perhatian. Pasalnya, hutan Gunung Ungaran termasuk dalam hutan lindung yang terancam keberadaanya. Ini tentu menjadi tanda bahaya bukan hanya bagi biota yang hidup di sana, melainkan juga semua organisme termasuk manusia. Kelangsungan hidup manusia terletak pada kelangsungan hutan dan senyawa di dalamnya.
Pemerintah Indonesia seyogianya memiliki payung hukum tertulis melalui peraturan perundang-undangan untuk kelestarian alam dan melindungi apa saja yang ada di sana. Namun, pada praktiknya undang-undang saja tidak cukup. Sebuah aksi nyata dari masyarakat memiliki andil besar dalam mewujudkan hutan yang lestari.

Peran Budaya Iriban untuk Konservasi Air
Iriban memiliki beberapa nama di daerah. Ada yang menyebutnya sebagai susuk wangan atau sadran banyu. Pada intinya sama, yaitu sebuah praktik berkelanjutan untuk merawat sumber mata air, atau dalam bahasa Jawa disebut ngrumat banyu. Tradisi ini mengakar dari para leluhur untuk menjaga alam. Ritual iriban biasanya dilakukan di dekat sumber air. Di beberapa tempat iriban umumnya dilakukan oleh laki-laki karena medan dan jarak tempuh ke hutan yang cukup jauh.
Namun, sayangnya tradisi iriban di beberapa daerah lereng gunung mati suri atau sekadar ritual belaka. Makna iriban sendiri memudar seiring waktu. Padahal iriban memiliki makna yang lebih besar dari sekadar membersihkan aliran sungai yang pampat. Pengaruh modernisasi dan tidak adanya transfer knowledge dari generasi tua kepada generasi muda, yang relevan dengan keadaan saat ini, turut mengambil peran akan memudarnya tradisi merawat air ini di beberapa tempat.
Mengapa tradisi iriban begitu penting? Mengapa sumber air harus dijaga dan dirawat? Apa hubungan hutan dan perawatan air? Pertanyaan-pertanyaan ini umumnya tidak terjawab secara harfiah oleh generasi muda, sedangkan generasi tua umumnya tidak mengejawantahkan dengan konteks masa kini dan kemerdekaan di atas tanah mereka.
Di lereng utara Gunung Ungaran, tepatnya Dusun Gempol, Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, masyarakat setempat mencoba memaknai kembali makna tradisi iriban lebih dalam. Mereka memiliki filosofi dalam satu kalimat berbahasa Jawa yang berbunyi: anane banyu amergo anane alas. Adanya air karena adanya hutan.

Masyarakat lereng gunung hidup berdampingan dengan hutan setiap harinya. Hutan memberikan mereka kehidupan dan penghidupan yang tiada henti. Air yang bersih, udara yang sehat, kayu bakar, hasil panen hutan seperti kopi dan rempah, sayur-mayur, dan ruang gerak untuk berdaya. Hutan adalah segalanya bagi masyarakat lereng gunung untuk tetap bertahan hidup.
Air yang mengalir tidak serta-merta datang sendiri. Ada kerja sama dari semua senyawa di hutan, termasuk akar pohon yang membantu menyimpan air di dalam tanah. Semakin banyak akar pohon, semakin banyak pula air tersimpan.
Berdasarkan pengamatan dari penduduk lokal, air yang mengalir di kampung sudah mengalami penurunan debit air. Saat hujan air juga berubah menjadi cokelat. Beberapa warga melakukan pertanian intensif, termasuk merebaknya tanaman kopi sebagai komoditas ekonomi yang tinggi, serta pembiaran dari aparat terhadap pelanggaran yang dilakukan oknum ataupun warga. Jika ditelusuri lebih jauh lagi, kondisi yang demikian juga karena deforestasi hutan dan segala aktivitas hutan yang mengancam kelangsungan hidup keanekaragaman hayati di dalamnya.
Tradisi iriban adalah salah satu bentuk dari kearifan lokal untuk menjaga tanah dan air mereka. Sebuah praktik berkelanjutan untuk mengingatkan kembali perjuangan para leluhur untuk memuliakan anak cucu di atas tanah mereka. Para pemangku adat Dusun Gempol sepakat untuk kembali melakukan tradisi ini dengan segala prosesinya seperti yang dilakukan para leluhur dulu. Bukan hanya sekadar bersih-bersih sungai dan selamatan. Mereka juga menyepakati untuk melakukan aksi lingkungan berupa penanaman pohon beringin di pinggir sungai dan mengejawantahkan keselarasan menjaga hutan untuk merawat mata air mereka.
Tradisi iriban dilakukan setiap Minggu Pon di bulan Desember. Pada malam sebelumnya beberapa dari mereka menyiapkan tempat sesaji, termasuk tempat untuk membawa ayam kampung yang nantinya akan disembelih di atas sumber air. Para warga membuatnya dari janur kelapa yang dianyam dan dirangkai. Aroma daun yang samar wangi berpadu dengan kehangatan masyarakat merayakan tradisi.

Perjalanan Prosesi Iriban dari Hutan ke Sumber Air
Kegiatan prosesi iriban ke hutan dimulai pukul 07.00 WIB. Semua lelaki menggunakan iket, membawa bekal masing-masing dan sebagian di antaranya membawa ayam kampung hidup. Mereka berjalan cepat agar sampai tepat waktu.
Jalur di hutan ini adalah tempat bagi masyarakat lokal mencari kayu bakar, memanen kopi dan rempah kemukus, serta mencari sayur pakis yang hanya tumbuh di hutan. Medannya cukup berat dan kompleks; ada bebatuan, jalur menanjak dan menurun yang cukup curam, permukaan tanah agak licin karena beberapa rembesan air membasahi tanah. Beberapa pohon beringin meliuk dalam pesonanya, wangi air dari segala penjuru datang dengan lembut.
Pada seperempat perjalanan kami melewati sungai yang jernih. Di depannya ada air terjun yang kecil, tetapi rupawan. Sungai ini didominasi oleh tumbuhan pakis, kemadu, dan tumbuhan khas hutan. Kawanan capung beterbangan. Kehadiran mereka adalah indikator bahwa sungai ini masih bersih.


Mbah Rori selaku ketua adat dan Pak Kadus sebagai pemangku wilayah sudah menunggu di sekitar aliran air untuk sebuah prosesi pertama iriban, yaitu menyembelih ayam kampung di atas aliran mata air sebagai simbol dari kehidupan bersama. Darah ayam mengalir ke sungai, menyebar di segala sisi lalu menghilang. Namun, zat reniknya tetap terbawa di sepanjang air mengalir, memberikan kehidupan lagi bagi para makhluk air. Ada tiga tungku darurat yang dibuat di tempat dan para bapak langsung bekerja dengan ekstra, membersihkan dan memasak ayam kampung yang baru disembelih.
Pada momen seperti ini, ada satu lalapan yang wajib untuk ada, yaitu daun cekode yang tumbuh liar di sekitar sungai. Mbah Harno, salah seorang pegiat kampung, mengambilkan daun tersebut. Kehadiran daun khas ini melengkapi menu makan siang di hutan. Kelompok bapak lainnya sibuk membersihkan aliran sungai yang terhambat.
Mbah Rori didampingi Pak Kadus dan Pak Budi menyalakan dupa di bawah pohon besar. Mereka melakukannya dengan penuh khidmat, seolah tidak terganggu dengan kehadiran para manusia. Aroma wangi dupa yang samar-samar turut menyejukkan pagi ini, mengingatkan bahwa apa yang dilakukan hari ini berdampak besar untuk kelangsungan masa depan.
Menanam Pohon Beringin dan Selamatan
Sebagai simbol dari merawat alam, empat pohon beringin ditanam di pinggir sungai. Iringan lagu Lir Ilir mengalun dari mulut dan hati. Sebenarnya, tanpa manusia pun alam akan pulih dengan sendirinya. Namun, tanggung jawab kita sebagai manusia adalah berikhtiar untuk merawat apa pun yang sudah alam berikan.
Sesi terakhir sebelum beranjak dari hutan adalah menggelar kenduri (selamatan). Hidangan utamanya adalah ayam ingkung, yaitu ayam kampung yang diolah sedemikian rupa dan disajikan untuk peserta iriban. Selamatan berasal dari kata “selamat” yang artinya keselamatan, kesejahteraan, juga sebagai doa dan harapan. Selamatan identik dengan sedekahan atau sodaqohan, yang merupakan simbol dari welas asih dengan berbagi kepada sesama.
Pak Kadus mengantar selamatan dengan baik. Ia mengucapkan terima kasih kepada semua masyarakat yang sudah berpartisipasi, dan mengingatkan untuk tetap menjaga hutan karena “anane banyu amergo anane alas”.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Di mana lokasi Gunung Ungaran dan wilayah mana saja yang terdampak langsung oleh sumber dayanya?