INTERVAL

Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin

Didorong rasa keingintahuan tentang rute gowes melintasi anak Danau Saguling dari Kota Baru Parahyangan, Padalarang di tahun 2017 silam, akhirnya saya bisa merasakan sensasi melintasi sebuah jembatan apung kayu sederhana bernama Jembatan Surapatin di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. 

Panjangnya hampir 500 meter dengan lebar sekitar 2,75 meter. Jembatan Surapatin, yang dibangun dan dikelola secara swadaya oleh warga lokal dan berbayar ini, menghubungkan kampung-kampung yang sebelumnya terisolasi di sisi barat dan sisi timur anak Danau Saguling. 

Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin
Sebuah perahu bermesin tempel penuh penumpang melintasi perairan Danau Saguling/Djoko Subinarto

Sensasi Goyang-goyang

Delapan tahun setelah kunjungan pertama ke Jembatan Surapatin, Kamis siang (1/5/2025), saya berkesempatan kembali menyambangi jembatan ini. Jika pada kunjungan pertama saya datang dari arah barat via Gunung Bentang, maka pada kunjungan kedua saya datang dari arah timur jembatan ini, yakni daerah Batujajar.

Tidak banyak perubahan yang saya lihat dari penampilan Jembatan Surapatin secara umum. Hanya saja, pada kunjungan kedua ini, saya menyaksikan konstruksi jembatan yang telah mengalami peningkatan. Balok kayu yang digunakan sebagai lantai jembatan kini terlihat lebih tebal, besar, dan kokoh dibanding sewaktu pertama kali berkunjung. Saat itu saya melihat balok kayu yang digunakan tipis, kecil, dan di beberapa bagian terlihat sudah rapuh serta disulam bambu.

Sensasi goyang-goyang dan bunyi gemeretak tatkala balok-balok kayu terlindas ban sepeda motor masih tetap saya rasakan. Sama seperti delapan tahun lampau kala pertama melintasi jembatan ini.

Mempersingkat Perjalanan

“This bridge will lead you home,” begitu sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris. Ungkapan tersebut tampaknya menjadi sebuah realitas bagi warga yang bermukim di sisi barat dan sisi timur Jembatan Surapatin.

Bagi mereka, keberadaan jembatan apung ini sangat berarti. Tidak hanya mampu membawa mereka melalui jalan pulang menuju rumah—baik itu dari pasar, sekolah maupun tempat kerja—dengan lebih cepat, tetapi juga lebih murah. 

Sebelum ada Jembatan Surapatin, warga mesti naik perahu atau naik-turun angkot yang memutar jalan puluhan kilometer. Akibatnya, bukan saja membutuhkan waktu relatif lama, melainkan juga menyedot biaya. Sekarang, cukup membayar Rp2.000 (berjalan kaki atau bersepeda) atau Rp5.000 (sepeda motor), mereka bisa sampai ke tujuan dengan lebih cepat melalui Jembatan Surapatin.

Inklusivitas dari Sensasi Goyang Jembatan Surapatin
Dua pesepeda melintasi Jembatan Surapatin, tampak struktur sederhana yang digunakan, tetapi memberi manfaat besar bagi penggunanya/Djoko Subinarto

Kolam dan Saung Terapung

Sambil melintas di atas Jembatan Surapatin, kita bisa melihat kolam jaring terapung yang berada di sisi kiri dan kanan jembatan. Beberapa saung makan apung lesehan berdiri pula persis di tepi jembatan.

Saung makan apung ini umumnya menawarkan kuliner khas Sunda, seperti nasi timbel, lalap, ayam bakar, dan ikan bakar. Harga paket nasi timbel lengkap dengan lalap, ayam bakar, dan ikan bakar bervariasi, sekitar Rp20.000–Rp35.000 per porsi. 

Selain kuliner, saung-saung makan ini juga menyediakan fasilitas karaoke. Maka, setelah kenyang menyantap nasi timbel, pengunjung saung makan bisa santai berkaraoke sejenak sembari menikmati semilir angin di atas anak Danau Waduk Saguling.

Bisa dikatakan, Jembatan Surapatin ini sebagai bentuk infrastructure of care. Berkat jembatan apung ini, para nenek dan kakek yang mukim di sekitar anak Danau Saguling kini bisa lebih mudah menjenguk cucu mereka. Para petani juga bisa lebih cepat menjual hasil bumi mereka.

Bayangkan pula ketika jembatan ini dilalui motor tua yang mengangkut sayur-mayur dari kebun-kebun warga lokal. Maka jembatan ini bukan sekadar penghubung, tapi juga jalan logistik mikr—salah satu aspek yang kerap luput dari kalkulasi pembangunan skala besar.

Dalam konteks ini, jika sebagian infrastruktur besar kerap dikritik karena tak inklusif, maka Jembatan Surapatin justru jadi antitesisnya. Pasalnya, ia dibangun untuk kebutuhan dan manfaat yang nyata banyak warga.

Adaptasi Ekologis

Selain itu, Jembatan Surapatin merupakan bentuk adaptasi ekologis dari warga lokal. Ketimbang membangun jembatan beton besar, jembatan apung sederhana menjadi solusi ringan, cepat, dan fleksibel.

Meski demikian, ada pula tantangan dalam soal perawatan dan pemantauan. Ketahanan konstruksi jembatan tentu saja perlu terus dipantau. Tanpa perawatan memadai, jembatan bisa menjadi bahaya laten bagi keselamatan warga. Apalagi di era perubahan iklim, ketika hujan intensitas tinggi, angin ekstrem, maupun badai semakin sering terjadi sehingga bisa saja mengancam struktur jembatan apung ini.

Pada titik inilah upaya perawatan dan pemantauan menjadi hal yang sangat krusial untuk terus diupayakan. Warga di sekitar jembatan dituntut untuk merawat dan memantau struktur jembatan apung ini demi keselamatan bersama. Dengan demikian, warga tak sekadar menjadi pengguna, tapi juga penjaga keselamatan.

Tetap Menjadi Kebutuhan Primer

Di tengah proyek-proyek pembangunan skala besar, jembatan apung sederhana macam Surapatin agaknya bisa memberi inspirasi, bahwa pembangunan yang mampu memberi manfaat bagi warga tak harus serba megah dan mewah. Pemerintah daerah dan pusat perlu melihat keberhasilan pembangunan tak melulu hanya diukur dari panjang kilometer jalan tol. Keberhasilan itu juga bisa hadir dalam wujud puluhan meter kayu yang terbentang menyusun jembatan apung sederhana, yang akhirnya menyambungkan kampung-kampung yang sebelumnya terisolasi.

Di tengah dunia yang kian terdigitalisasi kiwari, jembatan fisik—sesederhana apa pun bentuknya—rupanya tetap menjadi kebutuhan primer bagi banyak warga negeri ini. Di sinilah pentingnya kita memaknai pembangunan secara lebih inklusi, pembangunan yang mampu menjangkau mereka yang selama ini tak terjangkau.

Suka atau tidak, Jembatan Apung Surapatin telah mengajarkan kepada kita bahwa kemajuan dan pembangunan sosial tidak selalu dibangun dari marmer dan beton. Namun. ia bisa juga muncul dari belahan-belahan kayu dan semangat gotong royong warga, yang notabene merupakan simbol kekuatan kolektif yang menjembatani keterpencilan menuju keterhubungan yang sarat makna dan manfaat.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Avatar photo

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan