Perawakannya kecil. Namun, nyali dan mimpinya untuk kemajuan Merabu bahkan jauh melebihi jumlah huruf namanya sendiri.
Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda dan Mauren Fitri
Malam itu (12/10/2023) Merabu gelap total. Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di selatan kampung sudah mati sejak bulan Mei 2023. Baterai-baterainya perlu perbaikan. Genset kampung yang biasanya menyala sejak petang sampai tengah malam, membisu karena belum ada yang sempat mengambil minyak ke kampung sebelah.
Kerlip bintang yang bertaburan di antara langit kelabu tidak sepenuhnya menolong. Satu-satunya sumber cahaya yang bisa diandalkan adalah senter. Di tengah padamnya listrik, tim TelusuRI terpaksa menahan diri untuk mengisi ulang daya baterai ponsel, kamera, dan laptop.
Rumah Asrani dan Ester yang kami tempati selama di kampung sedang kosong sedari pagi. Hari itu Pak Kopon, Belian (dukun adat) kampung yang juga paman Asrani, dikabarkan meninggal dunia setelah cukup lama dirawat di rumah sakit di Tanjung Redeb. Ester, yang masih menjabat kepala kampung, mengajak sejumlah warga melayat ke Inaran, Kecamatan Sambaliung, Berau. Jaraknya sekitar 195 kilometer dari Merabu atau 5—6 jam perjalanan. Ia titip pada kami untuk menjaga rumah.
Jika berpegangan aturan adat, seperti yang disampaikan Ransum, mendiang yang wafat di luar kampung memang pantang dimakamkan di kampung asalnya. Sehingga ia dimakamkan di tempat keluarganya yang lain, yaitu Inaran. Bulu kuduk sempat berdiri, begitu mengetahui rumah kosong di samping kediaman Asrani adalah milik Pak Kopon.
Sementara Asrani belum menampakkan batang hidungnya. Meski Ester memberi informasi suami dan anak sulungnya—yang baru diwisuda—akan pulang hari ini dari Samarinda, tetapi mereka tak kunjung datang. Situasi yang amat dimaklumi, mengingat jauhnya jarak ibu kota Provinsi Kalimantan Timur itu dengan Merabu. Hampir 400 kilometer atau paling cepat 10 jam naik mobil. Kami memutuskan tidur lebih awal, karena memang tidak ada pekerjaan yang bisa dilakukan dalam keadaan gelap.
Tiba-tiba selang setengah jam lewat tengah malam, terdengar suara pintu diketuk-ketuk. Saya dan Deta terkesiap. Sempat terdiam beberapa saat, berbekal senter kami memutuskan mengecek pintu depan. Tidak ada orang. Namun, dari samping rumah tampak sorot cahaya kekuningan dan terdengar deru mesin mobil.
“Oh, mungkin Pak Ra sudah datang,” ujar saya menyebut sapaan Asrani. Kami lekas menutup pintu depan dan berpindah ke belakang, yang terletak dekat dapur.
Di balik pintu, sosok yang ditunggu-tunggu sudah datang. Seorang lelaki berperawakan kecil, mengenakan kaus kerah dan celana kain sederhana, menjabat tangan kami erat. Genggamannya kuat. Kami juga menyapa Decky, yang tampak kusut karena menyetir tanpa diganti semenit pun dari Samarinda. Beberapa saat kemudian Ester juga datang.
Meski baru menempuh perjalanan jauh, raut muka yang terlihat di bawah peci manik bundar khas Dayak itu sepintas tidak menyiratkan letih. Sudah biasa, katanya. Ia pun mengajak kami duduk di sofa yang menghadap meja makan.
“Gimana? Apa yang mau diobrolkan ini?” tanyanya. Suaranya sedikit serak. Setiap menyelesaikan ujung satu kalimat, ia berdeham. Kondisi yang sebenarnya merupakan efek kelelahan dari perjalanan.
Pertanyaan itu sebenarnya basa-basi saja. Kami jelas baru akan mewawancarai lebih ideal besok malam, sepulang trekking ke Gua Bloyot. Namun, tanpa dikomando, Asrani malah mengajak kami ngobrol hampir satu jam. Anehnya, kantuk hebat yang sempat menyerang jadi tertahan. Seolah paham, ia pun sedikit membawa kami ke semesta kehidupannya, yang seluruh manis getirnya dicurahkan untuk Merabu. Tanah kelahiran dan tempat ia tumbuh besar menjadi seperti sekarang.
Memilih dipenjara
Sesuai harapan, malam berikutnya listrik kampung kembali hidup. Di bawah temaram lampu, di atas kursi ban bekas yang terpajang di sudut pagar teras rumah, Asrani (48) duduk sembari mengenang titik-titik terendah yang menimpa masyarakat Kampung Merabu.
Jelang akhir kepemimpinannya sebagai kepala kampung—Asrani memimpin Merabu dua periode, mulai 1998 sampai dengan 2011—ia mendapat kado pahit. Sebuah perusahaan sarang burung walet, yang dilindungi aparat, menyeretnya ke penjara.
Asrani dituduh mencuri hasil sarang walet di kawasan Gua Ranggasan, yang merupakan lahan konsesi perusahaan. Ia juga dianggap menyulut ide untuk menggerakkan ratusan masyarakat dari tiga kampung—Merabu, Mapulu, Panaan—melawan eksistensi perusahaan swasta dari luar kampung tersebut. Bahkan fasilitas mes perusahaan di Kampung Merabu sempat dirusak dan dihancurkan warga yang terpancing emosi.
Khawatir situasi memanas dan berpotensi menimbulkan korban berjatuhan, Asrani pasang badan. Ia memaksa polisi menahan dirinya, kepala kampung Mapulu, dan Asriansyah, sekretaris desa Panaan, lalu meminta warga lainnya dibebaskan. Ester, istri Asrani, dan Decky Aprillius, anak sulung Asrani yang waktu itu masih kelas 6 SD, sempat ketakutan dan menangis melihat sang tulang punggung keluarga ditangkap polisi.
Pada Januari 2011, Asrani dan koleganya mendekam hampir empat bulan di penjara. Sekitar 1,5 bulan di Polres Berau dan dua bulan di rumah tahanan negara (Rutan) Tanjung Redeb, Berau. Belakangan ia baru tahu, jika pemidanaan terhadap mereka hanyalah akal-akalan pemerintah supaya tensi konflik agak mereda. Menurut Asrani, sebenarnya pemerintah bisa berpihak pada warga kampung—ia kenal dekat dengan Bupati Berau saat itu, tetapi di sisi lain “terpaksa” berkompromi karena tekanan perusahaan.
Konflik antara perusahaan dan masyarakat terjadi karena ketidakadilan bagi hasil sarang burung walet di liang-liang gua karst Sangkulirang-Mangkalihat. Asrani dan warga kampung, yang ekonominya telah puluhan tahun bergantung pada sarang walet, menilai perusahaan terlalu serakah dan mencaplok ceruk-ceruk penghidupan masyarakat.
Perselisihan itu belum berakhir ketika Asrani dan Kepala Kampung Mapulu menghirup udara bebas. Pada sebuah rapat yang diinisiasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau, tujuan mencari jalan tengah antara perusahaan dan masyarakat kampung tidak menemui titik terang.
“Saya ini tukang porak-poranda kalau lagi rapat sama pejabat-pejabat pemerintah,” ungkap Asrani (48) mempraktikkan menggebrak meja dengan kedua tangannya. Ketika hasil negosiasi dianggap terlalu berat sebelah ke pihak perusahaan, Asrani pun muntab. “Saya ambil bangku-bangku itu, kulempar dan kuhamburkan!”
Seorang diri, Asrani bak pendekar yang sedang mengobrak-abrik perguruan silat. Meja-meja dibanting dan dibalik. Nyaris semua pejabat yang hadir kena semprot. Mulai Bupati Berau, Kapolres Berau, sampai Kapolda Kalimantan Timur tidak luput dari kemarahan Asrani. Bahkan kapolres dan orang-orang perwakilan perusahaan hampir saja dikejar dan hendak dipukul Asrani.
“Saya kalau sudah merasa benar, ya, pasti begitu,” tegasnya. Ia mengaku, yang dilakukan semata membela masyarakat kampung agar tidak makin dibodohi kapitalisme.
Di matanya, ia yakin kebenaran akan selalu menang walaupun menghadapi banyak tantangan. Pahitnya pengalaman di balik jeruji besi tidak membuatnya surut tekad dan nyali, yang sampai sekarang masih menyala-nyala.
“Biarpun mantan narapidana, saya bangga,” ujarnya tegas, “karena berbuat baik [dengan] memperjuangkan orang-orang yang tertindas.”
Rekam jejak Asrani yang vokal dan berani menjadikannya buah bibir di kalangan masyarakat dan pemerintahan, terutama seantero Kalimantan Timur. Beberapa orang menyebutnya sebagai pahlawan, karena menyelamatkan nasib ratusan warga kampung. Kini kondisi di Merabu relatif kondusif. Perusahaan sarang burung walet tersebut tidak lagi cawe-cawe hutan desa Merabu, dan memilih beroperasi di kampung lain.
Asrani memang seperti mbabat alas, membuat pondasi dasar sebelum kampung dibangun lebih berkembang dan kukuh secara berkelanjutan. Memperbaiki jalan kampung, menjadi yang terdepan jika berhadapan dengan oknum-oknum pengincar hutan untuk keperluan industri.
Termasuk membuka pintu untuk jaringan besar dari luar kampung, di antaranya The Nature Conservancy (TNC), organisasi nirlaba global bidang sosial dan lingkungan asal Amerika Serikat, yang di Indonesia kemudian berafiliasi dengan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN). TNC tersebut mulanya masuk Merabu melalui peneliti dan fasilitator lokal yang meriset lukisan tangan prasejarah di gua-gua karst, sampai dengan mengkaji sudut pandang etnografis suku Dayak Lebo, khususnya yang hidup di sekitar kawasan karst Sangkulirang-Mangkalihat.
Dengan jalan yang sudah terbuka, lewat tangan Franly Aprilano Oley hingga Agustinus sebagai kepala kampung periode selanjutnya, Merabu kian melesat. Namanya mengundang peneliti, lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga media untuk berkunjung dan mengenal lebih dekat.
Memetik hasil kaderisasi kepala kampung
Usia Franly 23 tahun ketika menjabat kepala kampung pada 2012. Termuda kedua setelah Asrani, yang saat menjadi kepala kampung masih berusia 21 tahun. Franly bukanlah pemuda asli Merabu. Asalnya dari Modoinding, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Atas ajakan kawannya, Franly datang merantau dari Tanjung Redeb dan bekerja sebagai tukang saat membangun gedung sekolah dasar (SD) di Merabu pada 2009—2011.
Ketika pekerjaan selesai, ia memilih tidak ikut kawan-kawannya kembali ke Tanjung Redeb. Ia menetap karena sudah dekat dengan orang-orang kampung. Sampai akhirnya ia terpikat dengan Mariana, seorang gadis Merabu, lalu menikah tak lama setelah bertunangan di tahun itu.
Tak dinyana setahun setelah menikah, Asrani yang jabatannya habis dan bertugas sebagai panitia pemilihan, malah berinisiatif mencalonkannya sebagai kepala kampung baru. Franly sempat menolak karena merasa tidak mampu. Namun, mengingat Asrani banyak membantunya selama di kampung—termasuk mengurus pernikahan—ia pun luluh. Suara pun nyaris bulat, Franly terpilih sebagai Kepala Kampung Merabu untuk masa jabatan sampai tahun 2017. Agustinus, yang berusia tiga tahun lebih tua, didapuk sebagai sekretaris kampung.
“Saya memang sengaja mendorong Franly maju. Anggap saja kaderisasi,” tutur Asrani. “Dia memang masih muda, tapi semangatnya tinggi dan pekerja keras.”
Di bawah kepemimpinan Franly (2012—2017), Merabu mulai melakukan tata kelola pemerintahan dan merumuskan beberapa konsep program untuk memajukan kampung. Ada beberapa capaian penting yang berhasil diraih. Melalui pendampingan TNC dan kerja sama beberapa tokoh masyarakat, Franly melegalkan sebuah lembaga warga bernama Kerima Puri, yang bertugas mengelola hutan dan sumber daya alam Merabu.
Kerima Puri adalah cikal bakal Lembaga Pengelolaan Hutan Desa (LPHD) dan selanjutnya di era Agustinus bertransformasi menjadi Badan Usaha Milik Kampung (BUMKam). Asrani dilibatkan di dalamnya sebagai ketua pertama Kerima Puri. Dalam bahasa Lebo, rima adalah hutan dan puri bermakna cantik atau indah. Adapun partikel ke, secara harfiah berarti “menuju”, simbol tujuan besar yang ingin dicapai. Menurut catatan TNC, nama tersebut merupakan usulan dari Marjayanti, seorang perempuan asli Merabu.
Lembaga tersebut yang kemudian mampu mendorong lahirnya Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK.28/Menhut-II/2014 tanggal 9 Januari 2014 tentang Penetapan Areal Kerja Hutan Desa Merabu, dengan luas 8.245 hektare. Sekitar 37,5 persen dari total luas Kampung Merabu yang mencapai 22.000 hektare. Di dalamnya mencakup kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas di (HPT) di Kampung Merabu.
Berbekal SK itu, selanjutnya Franly bersama Kerima Puri kemudian juga memetakan potensi sumber daya alam Merabu. Memberi tanda-tanda lokasi Gua Bloyot dan beberapa gua prasejarah lainnya, Danau Nyadeng, Puncak Ketepu, hingga titik-titik yang diperbolehkan untuk permukiman, ladang, dan membangun fasilitas kampung. Dari segala sumber daya yang ada, Merabu mulai mengembangkan ekowisata. Turis asing yang datang pun juga tidak bisa dibilang sedikit.
Prestasi Franly berlanjut di era Agustinus (2018—2021). Pada masa kepemimpinannya, agar tata kelola makin baik, adik kandung Asrani itu menyatukan seluruh unit usaha kampung di bawah naungan BUMKam. Satu pintu untuk seluruh kegiatan usaha, di antaranya ekowisata, pengelolaan hutan desa, dan operasional PLTS komunal sebagai energi terbarukan di Kampung Merabu.
PLTS didapatkan Merabu pada 2015 dari pihak ketiga, yaitu Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA Indonesia) bekerja sama dengan Bappeda Kabupaten Berau dan PT Akuo Energy Indonesia, dengan nilai investasi mencapai 20 miliar rupiah. PLTS yang berdaya sedikitnya 300.000 VA itu dikelola oleh PT Sinang Puri Energi, unit usaha BUMKam, dan terintegrasi dengan genset kampung sebagai cadangan energi. Franly Aprilano Oley, kepala kampung periode 2012—2017, diberi tanggung jawab penuh sebagai ketua perusahaan. Bekerja bersama Aco sebagai operator dan Ester selaku petugas administrasi.
Agustinus pulalah yang mencetuskan slogan “Kampung Merabu ASIK”: Aman, Sejahtera, Indah, dan Kreatif. Slogan tersebut menjadi “mantra” yang membersamai semangat maju masyarakat merabu. Ekowisata juga makin menonjol. Sejumlah organisasi nirlaba yang bergerak di bidang ekowisata, seperti Indecon, turut hadir memberikan pelatihan-pelatihan dasar seputar ekowisata. Masyarakat diajak menggali lebih dalam segala potensi yang dimiliki Merabu, sebagai suku pemburu dan peramu.
Sayang, keduanya sudah tidak lagi ada di Merabu. Franly memutuskan pergi dan bekerja ke Bali, sedangkan Agustinus sudah meninggal dunia pada 2021 karena COVID-19. Istri Agustinus, Yervina, sekarang aktif sebagai guru dan bendahara BUMKam. Dialah yang mengurus segala paket ekowisata di Kampung Merabu saat ini.
Meskipun begitu, setidaknya Asrani telah membuktikan ke semua orang. Untuk memastikan pembangunan Kampung Merabu tetap berkelanjutan sekaligus berpihak pada masyarakat, kuncinya terletak pada sosok. Ia mempersilakan orang-orang muda visioner dan berdedikasi tinggi untuk memimpin sebuah kampung yang memiliki persoalan kompleks.
Gagasan kebudayaan yang akan diperjuangkan
Di keseharian, Asrani adalah seorang bapak biasa pada umumnya. Ia membantu menyapu dan mengepel rumah, sementara Ester menyiapkan sarapan di dapur dan membantu Cornelius alias Dudung—anak keempat—bersiap ke sekolah. Ia juga biasa mandi di sungai, menjala ikan pagi dan sore, juga berkebun sampai kulit legam. Sesekali sowan ke rumah Pak Ransum, tetua adat, menyerap ilmu-ilmu tradisi darinya.
Terkadang, Asrani tidak sempat melakukan rutinitas tersebut. Sebabnya ia sering pergi ke luar kota bahkan lintas pulau. Pengalamannya mengembangkan Merabu, atau kerasnya keberpihakan pada kesejahteraan kampung, membuatnya sering diundang berbicara di forum-forum mana pun. Ia menempuh perjalanan bertemu orang-orang baru yang terkesan dengan kisah hidupnya.
Di antara segenap pengalaman hidup Asrani, ia sepenuhnya menyadari satu hal krusial yang sangat fundamental untuk memajukan Merabu: pendidikan. Pendidikan akan memperluas ruang pola pikir dan kesempatan berdaya lebih besar. Kelak anak-anak muda akan menggunakan kreativitasnya untuk menciptakan kemandirian kampung dan tidak terlalu bergantung pada siapa pun.
“Saya adalah putra asli Merabu. Saya salah satu orang yang dulu mengawali pendidikan di kampung ini,” ungkap Asrani.
Dahulu belum ada SD di Merabu, sehingga ia harus pergi ke Merapun, kampung tetangga, untuk bersekolah. Selanjutnya menyelesaikan jenjang SMP di Muara Lesan dan SMA di Tanjung Redeb. Untuk mencukupi kebutuhan hidup dan biaya SPP, Asrani menyambi bekerja apa pun di luar jam sekolah. Ia bahkan nyaris kuliah di ibu kota Kabupaten Berau itu, sebelum akhirnya orang tuanya menyusul dan memintanya pulang kampung. Disuruh maju jadi calon kepala kampung.
Tidak tuntasnya pengalaman belajar Asrani hingga jenjang perguruan tinggi, “diselesaikan” oleh Decky, yang baru lulus S-1 Kehutanan Universitas Mulawarman. Anak keduanya baru masuk S-1 Hukum di kampus yang sama, sedangkan anak ketiga seusia SMP dan tinggal di Tanjung Redeb. Setidaknya, Asrani sudah cukup tenang memiliki pewaris yang memiliki latar belakang pendidikan lebih baik darinya, yang suatu saat akan muncul Franly atau Agustinus baru dan menjadi pemimpin kampung masa depan.
Tantangan selanjutnya adalah menularkan semangat yang sama ke anak-anak lainnya. Meskipun kemauan sekolahnya tinggi, ia tidak memungkiri masih ada orang tua yang apatis pada pentingnya pendidikan. Terutama pendidikan-pendidikan kebudayaan Dayak Lebo, yang menjadi identitas adat Kampung Merabu.
“Kita akan upayakan ke depan, kita dorong anak-anak sekolah [di kampung] ini mau mempelajari dan memelihara budaya,” paparnya. Mimpi yang berat, sejujurnya, mengingat literasi kebudayaan anak-anak sedang rawan tergerus kemajuan zaman. Sebagai orang tua, Asrani ingin agar budaya jangan sampai hilang, karena itulah identitas Dayak Lebo Merabu. Ia berusaha mencari cara lain merawat adat di luar Festival Tuaq Manuk yang hanya ada satu tahun sekali.
Asrani juga mengaku menyiapkan ide-ide besar untuk membuat Merabu menjadi lebih dikenal orang. Mulai dari yang ringan sampai ekstrem, seperti rencana membangun gazebo atau pondok kayu di puncak karst yang berada di belakang Ketepu dan lokasinya jauh lebih tinggi. Di bayangan otaknya juga sudah tergambar hal-hal teknis, misalnya mengangkut tandon air ke atas puncak batu itu. Sebuah wacana yang kalau dipikir masak-masak, terasa gagasannya out of the box—jika tidak ingin dianggap gila.
Rencana tersebut jelas tidak termuat dalam baliho visi-misinya sebagai calon kepala kampung baru tahun ini. Satu-satunya alat peraga kampanye itu tampak mencolok di pinggir lapangan kampung.
Ketika TelusuRI berkunjung sekitar pertengahan Oktober lalu, Merabu memang sedang bersiap menyelenggarakan pemilihan kepala kampung (pilkakam). Masa jabatan Ester akan habis. Setelah 12 tahun, Asrani kembali maju menjadi calon kepala kampung. Bersaing dengan tiga orang lainnya.
Dalam perjalanan ke Tanjung Redeb untuk menghadiri acara deklarasi damai antarcalon kepala kampung se-Kabupaten Berau—kami ikut menumpang mobilnya—Asrani tampak tenang. Seolah-olah yakin akan menang pilkakam.
Beberapa hari kemudian berita yang tidak terlalu mengejutkan datang. Asrani resmi terpilih lagi menjadi kepala kampung. Meneruskan estafet istrinya. Ransum menaruh harapan besar padanya. Saatnya kita tagih mimpi-mimpi besarnya. (*)
Foto sampul:
Asrani (depan) mempraktikkan cara orang Dayak Lebo menjala ikan dari atas perahu sembari bersenandung. Sungai Lesan yang mengalir di depan rumahnya itu penuh ikan air tawar yang biasa dikonsumsi sehari-hari/Deta Widyananda
Pada September—Oktober 2023, tim TelusuRI mengunjungi Sumatra Utara, Riau, dan Kalimantan Timur dalam ekspedisi Arah Singgah: Meramu Harmoni Kehidupan Manusia dan Alam. Laporan perjalanannya dapat diikuti di telusuri.id/arahsinggah.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Jika tidak dituliskan, bahkan cerita-cerita perjalanan paling dramatis sekali pun akhirnya akan hilang ditelan zaman.