Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko

“Aku melakukan perjalanan ini sendiri, tanpa teman yang mengiringi”
— Ibnu Bathuthah

Siapa yang tidak mengenali sosok pelancong legendaris muslim ini. Sosok yang sudah mengelilingi 44 negara selama masa hidupnya di abad pertengahan. Ia adalah seorang hakim muslim dari Thanjah, salah satu kota di Negeri Maroko yang bertekad melakukan sebuah perjalanan saat usianya menginjak 22 tahun. Usia yang masih terbilang sangat muda, tetapi memiliki tekad teramat kuat melakukan perjalanan pertama untuk menunaikan ibadah haji. Berkunjung ke Mekah dan berziarah ke makam Rasulullah Saw. Setiap perjalanannya telah dicatat dalam sebuah buku berjudul Rihlah Ibnu Bathuthah.

Sosok pelancong muslim itu, yang sudah banyak dikenal, nama aslinya adalah Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim Al-Lawati Ath-Thanji, atau Abu Abdullah Muhammad Ibnu Bathuthah, atau Ibnu Bathuthah. Ia merupakan seorang traveler dan ahli sejarah yang lahir di Thanjah pada 703 H (1304 M).

Dalam rihlah—perjalanan—nya, Ibnu Bathuthah banyak menemui para raja dan pangeran (wali kota atau gubernur), kemudian ia memuji dalam bait-bait syair. Ia bertekad meninggalkan orang-orang yang dicintainya bahkan kedua orang tuanya yang masih utuh. Baginya meninggalkan orang tua kala itu adalah beban berat yang sangat melelahkan.

Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko
Buku Rihlah Ibnu Bathuthah terbitan Pustaka Al-Kautsar/Riris Ismidiyati

Alasan Besar Ibnu Bathuthah Berkelana

Perjalanan yang dilakukan Ibnu Bathuthah tidak dilakukan dalam waktu singkat, bahkan melebihi durasi perjalanan para pelancong Barat, seperti Columbus. Dengan begitu, tekad kuat pasti diiringi dengan alasan besar, mengapa harus melakukan hal tersebut.

Visi utama Ibnu Bathuthah melakukan rihlah antara lain untuk mengelilingi bumi sembari mengambil pelajaran dari setiap ujian yang terjadi dalam sebuah perjalanan, mempelajari golongan dan bangsa-bangsa dari berbagai negeri, serta mempelajari bangsa Arab dan non-Arab.

Sebagai informasi, rihlah adalah proses perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain untuk sebuah safar (perjalanan). Dalam sebuah perjalanan Ibnu Bathuthah, ia banyak mendatangi berbagai negeri, wilayah pelosok, dan desa-desa yang dikunjungi, ditinggali, atau tempat-tempat yang sekadar dilewati olehnya.

Perjalanan Pertama Meninggalkan Kota

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Ibnu Juzayy—yang sudah diterjemahkan—menceritakan perjalanan Ibnu Bathuthah di era kekuasaan Amirul Mukminin Nashruddin, sang mujahid yang dermawan sehingga rakyat menjadi nyaman di karena kelembutan dan keadilannya. Pertama kalinya ia tiba di Tlemcen, sebuah kota di Aljazair bagian barat. Ia menetap selama tiga hari kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Milyanah yang terletak di pinggiran Afrika.

Perjalanan Ibnu Bathuthah tersebut membuat saya sebagai pembaca bukunya serasa ikut waswas. Dari setiap katanya saya bisa merasakan betapa penuh kejutan ketika Ibnu Bathuthah melakukan perjalanan pertama.

Suatu hari ketika Ibnu Bathuthah sampai di Kota Bijayah, sebuah wilayah yang terletak di pinggiran dua laut—Afrika dan Maghribi—seorang pedagang dari Tunisia yang ditemani oleh Ibnu Bathuthah, yaitu Muhammad bin Al-Hajar meninggal dunia dan meninggalkan harta tiga ribu dinar emas. Sang saudagar berwasiat agar warisannya dikirim kepada ahli warisnya di Tunisia. kabarnya terdengar oleh penguasa Bijayah saat itu, Ibnu Sayyid An-Nas Al-Hajib yang langsung merampas uang tersebut. Itulah peristiwa kezaliman pertama oleh penguasa yang disaksikan oleh Ibnu Bathuthah.

Kemudian ketika baru tiba di Kota Bijayah Ibnu Bathuthah mengalami demam. Seorang pedagang menyarankan agar beristirahat dan menetap sementara waktu. Namun, ia mengabaikan sarannya dan bersikeras melanjutkan perjalanan. Rekan pedagang menyarankan agar menjual barang-barang yang membebani perjalanan kepadanya, lalu ia akan dipinjamkan kuda oleh pedagang tersebut.

Dengan senang hati Ibnu Bathuthah menerima tawaran itu. Ini menjadi momen pertama seorang Ibnu Bathuthah menyaksikan ketulusan karena Allah, yang dilakukan seseorang dalam sebuah perjalanan.

Dari cerita-cerita Ibnu Bathuthah sejak dari perjalanan pertamanya, saya ikut merasakan ketegangan dan hanyut seakan-akan berada di situasi yang sama dengan Ibnu Bathuthah. Banyak hal yang sangat bisa dipelajari dengan membaca buku ini. Ibnu Bathutah menyaksikan sebuah kezaliman penguasa, lalu pada saat yang bersamaan juga menyaksikan kebaikan tak terduga datang dari seorang pedagang yang tulus membantu karena Allah Swt.

Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko
Peta yang menggambarkan perjalanan Ibnu Bathuthah keliling dunia via Facebook, diterjemahkan H. A. R. Gibb dari Medieval Sourcebook Ibn Battuta (1304-1368/69): Travels in Asia and Africa, 1325-1354/Historia Mediterrania

Perjalanan Mengunjungi Nusantara

Tatkala pertama kali mengunjungi Nusantara, Ibnu Bathuthah menemui sultan Jawa bernama Sultan Malik Azh-Zhahir dari Kerajaan Samudera Pasai. Pada zaman dahulu orang Arab menyebut Nusantara dengan sebutan Jawa. Dalam buku ini diceritakan bahwa seorang sultan adalah sosok yang disegani dan dihormati. Para penduduknya senang berjihad hingga memenangkan peperangan melawan orang kafir. Bahkan orang-orang kafir membayarkan pajaknya sebagai bentuk perdamaian.

Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama mempunyai peradaban dan hubungan yang baik dengan negara luar. Kedatangan Ibnu Bathuthah ke istana sultan disambut baik oleh wakil sultan yang bernama Umdatul Malik pada masa itu. Sesuai kebiasaan di istana, jika ada tamu yang datang dari jauh harus diterima menghadap sultan setelah tiga hari beristirahat.

Ibnu Bathuthah ditempatkan di bait adh-dhuyuf (wisma tamu) bersama para rombongannya untuk istirahat sebelum bertemu sultan. Memasuki hari ketiga, Ibnu Bathutah kemudian diperkenankan menemui sultan untuk makan siang bersama dan melakukan diskusi. Membahas berbagai masalah dalam negeri, seperti agama, ekonomi, kesejahteraan rakyat, sosial budaya, dan sebagainya yang berlangsung hampir tiga jam.

Tidak terlalu banyak diceritakan aktivitas apa saja yang dilakukan Ibnu Bathuthah selama di Nusantara, selain menemui sultan di kerajaan dan mengikuti diskusi. Ia melihat sosok seorang sultan yang rendah hati. Hal itu tampak ketika sultan berjalan dari istana menuju masjid berpakaian putih seperti rakyatnya yang lain, menunjukkan bahwa sultan sama-sama hamba Allah. Namun, begitu pulang ke istana barulah sultan tampil dengan pakaian kebesaran raja. Ibnu Bathuthah tinggal selama 15 hari di Aceh, lalu setelah itu melanjutkan perjalannya ke Cina.

Ibnu Bathuthah, Sang Pelancong Legendaris dari Maroko
Ilustrasi sosok Ibnu Bathuthah/Tangier Private Tours

Pelajaran Terpetik dari Rihlah Ibnu Bathuthah

Memoar perjalanan Ibnu Bathuthah menjadi karya yang sangat berharga sepanjang abad ke-14 karena banyak mencatat segi kehidupan sosial, budaya, dan politik berbagai negara Islam di dunia. Perjalanan Ibnu Bathuthah yang berkelana ke 44 negara Islam dan sekitarnya tidak lepas dari bantuan penguasa yang telah menyediakan sarana transportasi dan pelayanan terbaik bagi dirinya.

Karya dokumentasi perjalanan Ibnu Bathuthah juga sangat patut diapresiasi. Sebab dalam setiap perjalanannya tersirat banyak nilai-nilai yang bisa diadopsi dan hanya bisa ditemukan dalam rihlah Ibnu Bathuthah.

Ibnu Bathuthah sangat dikenal sebagai seorang qadi (hakim) muslim dalam agama ataupun ketatanegaraan yang sangat baik. Sejak kecil, orang tuanya menanamkan pendidikan mengenai cara menjadi muslim yang taat dalam beragama sekaligus bagaimana menjadi seorang hakim. Maka tidak heran kalau ia “seperti terlahir” menjadi seorang qadi di beberapa negara, salah satunya India.

Nama Ibnu Bathuthah sangat harum sebagai seorang pelancong sekaligus ahli fikih dan sejarah. Setiap berkunjung ke suatu kota, ia memiliki kebiasaan melakukan ziarah ke makam para ulama sembari mencatat karya-karya dari ulama yang sudah meninggal tersebut untuk catatan pribadi Ibnu Bathuthah.

Terkadang pada saat kunjungan pertama kali ia juga mengunjungi masjid-masjid, lalu menemui imamnya. Setelah itu bertemu para qdi dan amir (pemimpin) yang berada di daerah tersebut. Tujuannya agar silaturahmi dengan para penguasa selalu berjalan. Kadang-kadang ia tidak hanya memuji para sultan, tetapi juga mencelanya jika akhlak mereka memang tidak terpuji. Semua ini tergantung dari penilaian subjektif dari Ibnu Bathuthah. 

Banyak sekali nilai yang bisa diambil dari memoar perjalanan seorang pelancong muslim di abad pertengahan ini. Namun, yang tidak kalah menarik dari buku Rihlah Ibnu Bathuthah: Memoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan adalah kita bisa belajar bahasa. Kita bisa mengetahui setidaknya 1-3 kosakata bahasa asing. Contohnya dalam bahasa Turki, seperti yakhsyi (bagus) dan khasy yakhsyi misin quthu yasin, yang berarti Anda sehat, Anda baik, diberkahi kedatanganmu.

Perjalanan Ibnu Bathuthah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi para pembacanya. Tidak boleh tidak, karena belajar dari buku ini bisa mengambil banyak nilai mengenai sejarah, sosial budaya, dan politik dari wilayah Arab maupun non-Arab pada masanya.


Judul Buku: Rihlah Ibnu Bathuthah, Memoar Perjalanan Keliling Dunia di Abad Pertengahan
Penulis: Muhammad bin Abdullah bin Bathuthah
Penerbit: Pustaka Al-Kautsar, Jakarta
Tebal Buku: 610 Halaman
ISBN: 978-979-592-5835

Foto sampul:
Ilustrasi Perjalanan Pertama Ibnu Bathuthah via Pixabay/Dorotho


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar