“Jakarta panas, polusi semua!” Seorang teman mengomel dengan wajah masam. Entah berbekal berita atau pengalaman pertama menginjakkan kaki di ibu kota, kesannya terhadap Jakarta jelas kelabu. Tajuk bahwa Jakarta merupakan ibu kota dengan roda pembangunan bergulir dan ragam isu lingkungan tentu membuat teman saya yang biasa hidup di kota yang tenang tersebut rewel. Namun pada siang hari di bulan Juni tersebut, saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke titik hijau Jakarta. Bertolak ke arah barat, tempat jantung biodiversitas berdenyut lembut bersama dengan deru kendaraan.
Tidak ada pencakar langit, tidak ada gedung-gedung beton menjulang. Jika tidak melihat lambang provinsi DKI Jakarta di papan penanda, rasanya sulit dipercaya bahwa kita tengah berada di ibukota. Pohon-pohon lebat memenuhi tempat tersebut, mengusir terik mentari Jakarta yang berambisi membakar kulit. Tempat tersebut adalah Hutan Kota Srengseng. Hutan Kota Srengseng menjadi salah satu denyut nadi biodiversitas dan pelestarian lingkungan di Jakarta.
Saya mengunjungi Hutan Kota Srengseng di Jakarta Barat bersama beberapa rekan dari organisasi lingkungan. Awalnya, kami hanya terpanggil untuk melihat ‘penghuni’ baru di tempat tersebut. Namun, saat memasuki wilayah Hutan Kota Srengseng, komentar seperti, “Kok bisa ada hutan asri seperti ini di Jakarta? Dikira hanya ada di wilayah Jakarta Utara saja!” terus melayang. Pohon dengan berbagai ukuran, bentuk, hingga spesies tumbuh subur di tanah seluas 15,3 hektar ini. Beberapa nama pohon dipajang pada papan penanda. Kami menemukan pohon mahoni, jati, hingga akasia. Terkadang, berbagai jenis burung dan reptil, seperti biawak, melesat pesat di depan kami.
Hutan kota yang diresmikan oleh pemerintah DKI Jakarta pada tahun 1995 juga memenangkan hati warga Jakarta, terutama Jakarta Barat, sehingga dipilih menjadi tempat jalan-jalan santai. Jalan setapak dari bebatuan yang mengular di kawasan hutan menghadirkan fasilitas jalan santai dan jogging yang nyaman. Jalan tersebut juga dilengkapi dengan jalur khusus difabel, sehingga menjadi sebuah tempat yang inklusif. Beberapa pengunjung menggantung hammock di antara pohon-pohon besar, bersantai sembari mendengarkan musik.
Hutan Kota Srengseng juga menyediakan tanah lapang berumput yang cocok untuk piknik, tersebar di beberapa titik. Sebuah danau membentang di jantung Hutan Kota Srengseng, diapit pepohonan lebat. Danau tersebut seringkali dipakai oleh para pengunjung atau warga untuk memancing. Warna gelap, kehijauannya menjadi media yang baik untuk kecantikan berkas cahaya matahari senja. Udara segar, suasana teduh, dan pemandangan menghijau menjadikan Hutan Kota Srengseng tempat yang baik untuk melarikan diri sejenak di hari yang sibuk.
Hutan Kota Srengseng menyediakan ruang lapang untuk konservasi. Sarana pembibitan pohon, dihadirkan dalam jajaran polybag dengan batang mungil yang mencuat dari dalamnya dan rumah kaca penuh tunas, tersedia di kawasan hutan ini. Polybag dan pot berisi tanaman berwarna-warni juga menarik mata pengunjung yang tengah mampir ke bagian konservasi Hutan Kota Srengseng. Tak hanya pohon dan flora menarik mata, Hutan Kota Srengseng juga melindungi spesies fauna. Salah satunya adalah lebah trigona atau lebah klanceng.
Lebah trigona atau klanceng menjadi alasan utama saya dan teman-teman berkunjung ke Hutan Kota Srengseng. Lebah yang lebih sering disebut ‘lebah tanpa sengat’ ini menarik kami dengan julukannya, namun mempesona kami dengan fakta faktanya. Lebah trigona di Hutan Kota Srengseng dihadirkan dari Sumatera dan Sulawesi, dengan tiga spesies yakni trigona itama, trigona thoracica, dan trigona biroi. Mereka diberi tempat tinggal dalam belasan rumah kayu kecil dengan sekat-sekat yang cocok untuk menyimpan makanan. Lebah berukuran mungil itu mendapatkan makanan mereka dari beragam flora yang tumbuh di Hutan Kota Srengseng. Mereka memiliki kemampuan terbang puluhan kilometer, namun tak akan lupa jalan pulang. Lebah trigona menghasilkan madu dengan rasa yang lezat dan propolis yang punya sejuta manfaat, terutama untuk kecantikan. Ranger Hutan Kota Srengseng yang menemani kami berkata bahwa madu lebah trigona memiliki rasa yang lebih manis dan ‘bersih’ daripada madu lebah biasa.
Kawasan konservasi lebah trigona di Hutan Kota Srengseng terbuka lebar untuk para pengunjung. Kita bisa mengunjungi lebah yang populasinya terancam karena perubahan iklim dan deforestasi tersebut. Bahkan, saat musim panen, para pengunjung diperbolehkan untuk mencicipi madu langsung dari sarang lebah trigona.
Berbekal sedotan kecil, kita bisa menyesap cairan manis dari relung-relung kecil tempat lebah menempatkan madu produksinya. Saya berkesempatan untuk mencicipi langsung lebah madu trigona saat itu. Tidak usah khawatir, lebah trigona tidak punya sengat yang menyakitkan dan berwatak cukup ‘ramah’ sehingga tidak akan mengganggu kita saat mengambil madunya. Mata otomatis membelalak setelah lidah mengecap manisnya lebah madu trigona, sekaligus didorong rasa senang karena pengalaman baru yang ‘beda’ dan asyik.
Kegiatan interaktif tersebut ditujukan sebagai sarana edukasi sekaligus pengingat bagi para pengunjung untuk peduli terhadap konservasi dan biodiversitas. Tanpa biodiversitas, kita tidak bisa menikmati hal-hal yang tersaji di meja, melekat ke tubuh, hingga tertangkap oleh mata.
Jakarta tidak hanya tentang polusi udara dan pembangunan luar biasa. Jakarta punya banyak wajah yang dapat kita telusuri, salah satunya adalah wajah kepedulian terhadap konservasi. Hutan Kota Srengseng, dengan udara segar dan kanopi teduhnya, berbisik pada kita bahwa harapan masih ada. Harapan akan kelestarian sumber daya alam dan biodiversitas terus berdenyut, usaha untuk menghargai sahaja alam raya masih ada, bahkan di ibukota Jakarta yang berada.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Dyah adalah seorang mahasiswi semester akhir di Yogyakarta. Kadang mengerjakan skripsi, kadang menulis, kadang memikirkan ide aksi lingkungan, kadang jalan-jalan, kadang bermimpi.