Jauh sebelum republik ini berdiri, suku Moi telah memiliki konsep tata kelola kehidupan berbasis adat dan bernapas selaras dengan alam. Masyarakat lintas generasi di Malaumkarta Raya bersepakat menjadikan kampung-kampung mereka sebagai ruang aman terakhir untuk segala makhluk hidup di Tanah Malamoi.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda & Rifqy Faiza Rahman


Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Foto udara Kampung Malaumkarta yang berada di pesisir utara Distrik Makbon. Tampak latar perbukitan dan hutan lebat yang bisa tembus sampai Kampung Malagufuk, yang juga termasuk dalam kawasan adat suku Moi bernama Malaumkarta Raya/Deta Widyananda

Sebagai daerah yang berada di wilayah Semenanjung Doberai, atau dikenal juga dengan Semenanjung Kepala Burung Papua, Sorong menjadi pintu gerbang bumi cenderawasih dari sisi barat. Namanya kesohor karena menjadi titik awal menuju wisata bahari Kepulauan Raja Ampat yang mendunia.

Arus lalu lintas pariwisata, perdagangan, dan perkembangan teknologi membuat ibu kota baru Provinsi Papua Barat Daya (pemekaran dari Papua Barat) tersebut selalu tampak sibuk dan menggeliat. Keramaiannya menyamai Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Jejak historis sebagai “Kota Minyak”—terlihat dari peninggalan sumur minyak tua di Klamono oleh perusahaan minyak Belanda Nederlands Nieuw-Guinea Petroleum Maatschappij (NNGPM) pada 1936—kian menguatkan Sorong sebagai kawasan niaga yang sudah menjanjikan sejak masa lampau.

Kondisi tersebut secara kasatmata tampak baik-baik saja, tetapi di sisi lain menyimpan keresahan. Menurut Torianus Kalami (47), tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Pemuda Generasi Malaumkarta, modernisasi bisa mengancam eksistensi budaya, khususnya suku Moi yang merupakan komunitas adat terbesar di Kabupaten Sorong. Sasaran kekhawatiran itu terutama tertuju pada generasi muda. Tidak terakomodasinya kurikulum adat di dalam kebijakan pemerintah atau tingkat pendidikan dasar disinyalir jadi penyebab. Bahkan sekolah adat sudah lama vakum, sehingga para tetua tidak menurunkan pengetahuan adat kepada generasi penerus.

Namun, Kaka Tori—sapaan akrabnya—masih menyimpan harapan besar. Pengalaman kerja, jejaring sosial, hingga kiprahnya sebagai mantan anggota legislatif daerah, turut mendorong upaya pelestarian kebudayaan Moi. Salah satu bukti kerjanya adalah berhasil mengegolkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Sorong Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong. Payung hukum ini melegitimasi keberadaan suku Moi sebagai komunitas adat dan pemilik hak ulayat yang sah di Tanah Malamoi—sebutan wilayah Sorong. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Opyor Jhener Kalami dan Soraya Doo, representasi generasi muda suku Moi dengan kostum adat di Hutan Malagufuk. Ciri khas pakaian adat suku Moi, khususnya laki-laki, terletak pada kain merah yang digunakan seperti sarung untuk menutupi cawat/Deta Widyananda

Konsep konservasi alam berbasis adat

Malaumkarta Raya merupakan kawasan wilayah adat gabungan dari lima kampung di Distrik Makbon, yaitu Malaumkarta sebagai kampung induk, lalu empat kampung hasil pemekaran: Suatolo, Sawatuk, Mibi, dan Malagufuk. Nama kampung terakhir telah masyhur sebagai destinasi kegiatan pengamatan burung cenderawasih di Papua. Sebagian besar masyarakat di wilayah ini merupakan bagian dari subetnik Moi Kelim dan berprofesi sebagai nelayan. Selain Kelim, tujuh subetnik Moi lainnya adalah Legin, Abun, Karon, Klabra, Moraid, Sigin, dan Maya.

Malaumkarta memiliki riwayat sejarah yang cukup berliku dan erat dengan peristiwa Pembebasan Irian Barat 1962. Para prajurit Kodam Brawijaya membangunnya sebagai kampung pengungsian dari warga-warga dusun sekitar yang terpencar karena menghindari bahaya semasa pendudukan Belanda di Irian Barat. Termasuk Pulau Um, pulau kecil berpasir putih di seberang Malaumkarta. Kampung baru itu untuk sementara dinamakan Brawijaya.

Sampai akhirnya hasil pemungutan suara dalam Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 di Jakarta menentukan Irian Barat sah bergabung dengan Indonesia. Irian Barat kemudian berubah menjadi Papua Barat, yang lalu pada 2022 dimekarkan kembali jadi Papua Barat dan Papua Barat Daya. Para delegasi adat pun pulang ke kampung. Sepulangnya prajurit Kodam Brawijaya, masyarakat menyepakati pembentukan nama baru menjadi Malaumkarta. Mala dalam bahasa Moi berarti ‘gunung’—merujuk bukit tinggi berhutan lebat di selatan kampung, Um adalah pulau kecil seluas hampir 4 hektare itu, dan karta yang diambil dari ‘Jakarta’, lokasi tokoh adat yang mengikuti Pepera 1969.

Di balik sejarah panjang tersebut, Kaka Tori menegaskan masyarakat Moi umumnya masih mempertahankan adat yang diwariskan nenek moyang turun-temurun. Bahkan bukan hanya di Malaumkarta Raya, melainkan juga berlaku di kampung-kampung lain di wilayah Sorong Raya. Salah satu yang sangat prinsip adalah penetapan tata ruang atau wilayah adat. 

“Sebelum Indonesia (Kementerian Kehutanan) punya kebijakan atau zonasi kawasan konservasi, orang Moi sudah memilikinya lebih dulu,” tegas pria yang tidak pernah makan nasi seumur hidupnya itu. Kaka Tori menyebut sistem zonasi suku Moi sudah ada sejak zaman nenek moyang. Perlakuannya pun lebih ketat daripada konsep kawasan konservasi yang umumnya kita kenal, seperti cagar alam, suaka margasatwa, dan taman nasional.

Ia mengungkap suku Moi memiliki tiga wilayah adat sesuai cakupan dan peruntukannya, yaitu egek, kofok, dan soo. Jika menggunakan definisi kawasan konservasi ala negara, egek adalah zona pemanfaatan terbatas, sedangkan kofok adalah zona inti, dan soo merupakan zona inti khusus. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Opyor memandangi pohon merbau atau biasa dikenal dengan sebutan kayu besi, yang diperkirakan berusia ratusan tahun. Biasanya kayu merbau dimanfaatkan secara terbatas oleh masyarakat untuk kebutuhan membangun rumah. Dalam sistem adat suku Moi, pohon-pohon besar seperti ini biasanya digunakan sebagai penanda batas wilayah adat antarmarga atau antarkeluarga/Deta Widyananda

Egek, dalam bahasa Moi berarti larangan. Meskipun demikian, kawasan atau lahan yang ditetapkan sebagai zona egek—misal ladang berkebun, dusun sagu, hutan, dan kawasan perairan sungai atau laut—masih bisa dimanfaatkan seperlunya selama waktu tertentu sesuai kesepakatan adat. Bisa dibilang egek adalah zona terluar dan terbatas. 

Sementara dua zona lainnya memiliki tingkat kesakralan lebih tinggi dibanding egek. Wilayah kofok bisa dibilang sebagai tempat keramat. Di kofok, para sesepuh adat biasa menggunakannya untuk keperluan sekolah atau pendidikan adat, agar kaderisasi maupun regenerasi pemimpin adat terjaga. Adapun soo berhubungan dengan elemen religi atau spiritual, yang sifatnya sangat terlarang untuk sekadar dilewati atau bahkan diakses oleh siapa saja, termasuk ketua adat sekalipun. Wilayah soo juga berarti tempat untuk para arwah.

Sepintas pembagian wilayah adat ala suku Moi tersebut tampak rumit. Namun, tata ruang seperti itu berimplikasi positif pada beberapa aspek penting. Mulai dari pengaturan lahan untuk permukiman penduduk, area berladang atau melaut sebagai sumber pencaharian masyarakat, hingga menjaga ruang hidup keanekaragaman hayati di alam. Setiap marga atau gelek memiliki dan menghormati porsi hak ulayatnya masing-masing.

Sebagai contoh, di kawasan hutan, masyarakat hanya boleh berburu babi hutan. Itu pun menurut Opyor Jhener Kalami (28), pemuda Malagufuk, perburuan babi hutan sudah mulai dibatasi untuk menjaga keseimbangan rantai makanan alam. Kaka Tori memberi contoh menarik yang menggambarkan praktik zonasi ini. 

Misalnya, ada orang dari marga Kalami sedang berburu babi hutan di wilayah adat miliknya. Kemudian ia berhasil menombak seekor babi hutan, tetapi satwa tersebut baru roboh dan mati di lahan adat milik marga Magablo. Maka, si pemburu tidak berhak membawanya pulang. 

“Pemburu itu harus melapor ke pemilik tanah, bahwa babi hutan buruannya jatuh di wilayahnya. Ia hanya boleh mencabut dan mengambil tombaknya setelah meminta izin,” terang Kaka Tori. “Nanti dia akan bilang, ‘Pace, sa kasih mati babi di ko punya tanah. Sa permisi ambil sa punya tombak, babi itu buat ko’. Jadi, begitulah cara orang Moi menghargai wilayah adat.”

  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
  • Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya

Jems Su (27), menunjukkan tiga cara nelayan Malaumkarta menangkap ikan secara ramah lingkungan: (1) memancing dengan kail; (2) menyelam dangkal dengan kacamata selam kayu atau snorkel, lalu menggunakan senapan ikan tradisional (harpun) untuk menembak ikan sasaran; dan (3) menombak di pesisir pantai.

Sementara ketentuan egek di laut tidak kalah ketat. Selama masa egek berlaku, nelayan dilarang menangkap lobster, lola (sejenis keong atau siput laut), dan teripang. Nelayan hanya boleh menangkap hasil laut di luar tiga komoditas tersebut. Lokasi penangkapan ikan pun tidak boleh dilakukan di area-area yang sudah ditetapkan sebagai zona egek. Lobster, lola, dan teripang baru boleh dipanen saat egek sudah dibuka oleh ketua adat dan tokoh masyarakat, yang lazimnya berlangsung pada puncak Festival Egek Malaumkarta Raya. 

Tradisi ini hampir mirip dengan pelaksanaan lubuk larangan atau hutan larangan di masyarakat desa pedalaman di sepanjang Sungai Subayang, kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, Kampar, Riau. Di sebagian wilayah Papua dan Maluku juga disebut dengan sasi. Tentu akan ada sanksi adat khusus bagi warga yang melanggar aturan egek

Oleh karena itu, metode penangkapan ikan di pesisir Malaumkarta Raya dilakukan secara tradisional. Perahu yang digunakan melaut pun berukuran kecil, dengan mesin tempel maksimal 15 PK atau bahkan hanya mendayung dengan sampan. Maka, sebaran lokasi tangkapan tidak akan sampai ke daerah tembok karang terluar kampung yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik. Dampak positifnya, ketersediaan ikan untuk makan atau dijual tetap melimpah karena tidak sampai terjadi overfishing.

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Kepala Kampung Malaumkarta Jefri Mobalen menjelaskan filosofi kehidupan suku Moi yang berbasis adat/Rifqy Faiza Rahman

Filosofi kehidupan dari pakaian adat

Jefri Mobalen (36), Kepala Kampung Malaumkarta, menjelaskan masyarakat di Malaumkarta Raya masih mempertahankan adat dan jati diri sebagai suku Moi Kelim di tengah kemajuan zaman. Sebab, menurutnya adat memberi dampak positif bagi kehidupan manusia dan menjaga kelestarian alam. Selain sistem zonasi wilayah adat, pakaian adat masih dipertahankan oleh seluruh marga di Malaumkarta Raya.

“Pakaian adat untuk laki-laki dan perempuan berbeda. Masing-masing punya filosofinya sendiri,” jelas pria yang gemar memakai topi pet (flat cap) berwarna merah itu. Busana adat suku Moi biasanya sangat erat saat prosesi pernikahan dan hubungan rumah tangga suami istri.

Kostum adat pria relatif simpel dengan warna senada dan mencolok, yaitu merah. Merah pada kain selendang yang berfungsi sebagai celana atau sarung dengan panjang selutut bisa bermakna keberanian atau larangan. Dengan kata lain, merah juga berarti menyimbolkan egek itu sendiri. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Ester Salamala (60), seorang mama dari suku Moi yang tinggal di Malaumkarta, difoto dengan pakaian adat serta noken dan tikar (koba-koba) di sisinya/Deta Widyananda

“Jika ada warga yang sedang berburu atau mencari makanan di hutan, lalu melihat kain merah terpasang di pohon, maka dia tidak boleh memasuki kawasan tersebut,” kata Jefri. Artinya, keluarga atau marga pemilik lahan adat tersebut melarang siapa pun memasuki tanahnya. Kain merah tersebut juga digunakan sebagai mahar atau mas kawin dengan jumlah tertentu saat pria Moi hendak melamar perempuan Moi.

Pakaian adat pada perempuan Moi lebih kompleks. Setiap bagiannya mengandung makna mendalam. Seorang perempuan Moi menggunakan kain sarung untuk membalut dan melindungi hampir sekujur tubuhnya. Artinya, lelaki (suami) harus menafkahi istrinya, dalam hal ini memberikan tempat tinggal atau rumah sebagai tempat berlindung. Koba-koba, sejenis tikar dari anyaman daun pandan hutan, disimpan dalam tas noken untuk alas tidur untuk suami-istri. Simbol ini bermakna komitmen menjalani rumah tangga bersama-sama, baik saat susah maupun senang.

Kemudian noken berfungsi sebagai tas atau wadah bagi istri untuk belanja atau menyimpan hasil panen saat berkebun. Tali noken biasanya dikaitkan di dahi. Terakhir, beberapa helai rumput, bunga, atau tanaman lain yang terpasang bak mahkota di kepala, merupakan simbol yang menandakan perempuan Moi baru pulang dari berkebun di hutan atau dusun sagu (istilah untuk menyebut tempat menokok dan meremas sagu). 

“Pakaian adat tersebut akan selalu disimpan rapi dan filosofinya melekat pada suami-istri seumur hidup,” tegas Jefri.

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Demianus Magablo (60)—depan, kanan—memimpin Tari A’leing atau alen, sebuah tarian adat khas suku Moi yang bernuansa rancak dan ceria. Ia didampingi Charel Magablo (25), keponakannya, dan diiringi mama-mama di belakang. Tarian yang juga menjadi atraksi pembuka Festival Egek ini biasa ditampilkan untuk menyambut tamu yang berkunjung ke Malaumkarta/Deta Widyananda

Festival Egek: media pelestari kebudayaan

Kaka Tori mengakui, perlu usaha lebih keras dan kolaborasi multipihak untuk melestarikan kebudayaan suku Moi, khususnya di Malaumkarta Raya. Terbitnya peraturan perundang-undangan yang mengakui keberadaan suku Moi pun merupakan hasil perjalanan panjang sejak ia dan Oktovianus Mobalen menginisiasi pendirian Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM).

Lembaga swadaya masyarakat tersebut telah berdiri lebih dari dua dekade. PGM dibentuk sebagai wadah komunikasi antarwarga Moi di lima kampung se-Malaumkarta Raya. Menurut Kaka Tori, PGM hadir untuk mengadvokasi masyarakat suku Moi di kawasan tersebut dalam hal pemetaan dan pengelolaan wilayah adat, konservasi, serta penyerapan aspirasi masyarakat kepada pemerintah maupun pihak-pihak pemangku kepentingan lainnya.

Selain payung hukum, pencapaian lain yang berhasil diwujudkan oleh kolaborasi PGM bersama pemerintah—kabupaten dan provinsi—maupun lembaga nonprofit lain seperti Yayasan EcoNusa adalah penyelenggaraan Festival Egek. Sebuah festival kebudayaan dengan acara kunci membuka egek dan panen raya hasil hutan maupun laut yang sebelumnya dilarang selama egek

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Salah satu adegan dalam tari alen. Para penari membentuk lingkaran dan bergandengan tangan, lalu berputar sembari mengentak-entakkan kaki ke tanah/Rifqy Faiza Rahman

Festival yang digelar satu tahun sekali itu biasanya dibuka dengan pementasan Tari A’leing atau alen. Sebuah tarian khas suku Moi untuk menyambut tamu undangan dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat sipil, pemerintahan, kepolisian, militer, maupun lembaga-lembaga nonpemerintah. Selanjutnya, acara dibuka dengan ritual fie, yaitu upacara adat dengan sejumlah persembahan atau sesaji, untuk memohon izin kepada leluhur dan meminta keselamatan selama memanen hasil laut.  

Saat puncak festival inilah masyarakat diperbolehkan mengambil hasil laut secukupnya. Terutama tiga spesies yang dilarang selama masa egek, yaitu lobster, lola, dan teripang. Itu pun masih ada satu peraturan mengikat yang harus ditaati. Apabila menemukan lobster yang masih bertelur, maka masyarakat harus melepaskannya lagi ke laut. 

Hasil tangkapan tersebut kemudian diperjualbelikan selama festival. Jefri menerangkan, keuntungan ekonomi selama Festival Egek nantinya akan dimanfaatkan untuk keperluan masyarakat dan kampung. “Biasanya juga diprioritaskan untuk kepentingan agama, seperti renovasi gereja atau pembangunan rumah gembala jemaat,” ujar salah satu pembina PGM itu.

Usai kemeriahan festival, para tetua adat kembali memberlakukan egek. Setidaknya berlangsung selama setahun sampai bertemu festival berikutnya. Kearifan lokal ini juga memberi kesempatan kepada alam untuk memulihkan diri, sehingga ekosistem laut tetap terjaga. Meskipun terkadang egek dibuka sewaktu-waktu jika ada kebutuhan mendesak sesuai kesepakatan tokoh adat dan masyarakat Malaumkarta Raya. 

Hidup Berbudaya ala Suku Moi di Malaumkarta Raya
Tim ekspedisi Arah Singgah foto bersama Torinanus Kalami (dua dari kiri) dan Yuliance Yunita Bosom Ulim (tengah) setelah pertemuan dan diskusi seputar kebudayaan Moi di sebuah hotel pinggiran Kota Sorong/Dokumentasi TelusuRI

Bagi Kaka Tori, tujuan dari Festival Egek sejatinya lebih dari sekadar memenuhi kalender budaya dinas pariwisata daerah. Pria yang sedang menempuh studi Magister Antropologi Universitas Cenderawasih Jayapura itu tidak ingin Festival Egek hanya berfungsi sebagai kegiatan seremonial semata.

“Saya ingin Festival Egek menjadi ‘kamus hidup’, yang bisa menjadi tempat belajar bagi siapa pun untuk mengenal dan memahami filosofi kebudayaan suku Moi,” terangnya. Artinya, tidak hanya untuk anak-anak Moi atau orang muda Papua, tetapi juga orang-orang di luar Papua juga boleh ikut memastikan tradisi suku Moi tetap abadi sepanjang masa.

Sebab, orang Moi percaya bahwa alam memiliki peran penting sebagai sumber penghidupan mereka. Alam akan memberi apa pun yang manusia butuhkan, selama manusia menjaga alam. (*)


Foto sampul:
Perempuan Moi dengan kostum adat di Hutan Klasow, Kampung Malagufuk, Sorong/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar