Kamu mungkin lebih mengenal Hannif Andy sebagai seorang narablog. Lewat blog, ia mewartakan potensi wisata, termasuk desa wisata, sebagai bentuk kontribusi bagi pariwisata Indonesia yang berkelanjutan.
Namun, upaya Hannif Andy untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan ternyata nggak cuma mewartakan potensi wisata. Bersama enam orang rekannya, ia mendirikan Desa Wisata Institute, sebuah organisasi pendampingan desa untuk mengawal perjuangan desa di Indonesia untuk mencapai kemandirian. Kegiatan organisasi itu melibatkan masyarakat lokal dan mengajak mereka untuk lebih aktif dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, pembangunan, hingga menerima manfaat dari proses pembangunan desa wisata.
“Jadi aku dan teman-teman Desa Wisata Institute lainnya punya mimpi supaya desa-desa lainnya bisa mandiri seperti Pentingsari, Nglanggeran, dsb. Kami ingin berbagi pengalaman dan menyediakan ruang belajar bersama. Yok podho-podho mbangun ndeso. Apa pun bentuknya, mulai dari industri kreatif, pertanian, dan yang lainnya. Tapi, memang arah kita ke desa wisata,” ungkap Hannif.
Desa Wisata Institute nggak hanya mendampingi desa yang sedang merintis jalan menjadi desa wisata, namun juga desa wisata sudah jadi yang sedang mengalami kendala.
“Salah satu yang kita rintis dari awal yaitu sebuah desa … di Jawa Timur. Saat ini masih dalam tahap pengembangan,” lanjutnya.
Cerita di balik ketertarikan Hannif Andy pada desa wisata
Tahun 2014, Hannif Andy pernah mendampingi masyarakat desa di Papua. Di sana ia memberikan pelatihan dan [membantu] pengembangan SDM dalam hal pelestarian lingkungan, pemetaan potensi dan industri kreatif, serta menumbuhkan kecintaan pada potensi tempat tinggal. Tujuannya adalah supaya nggak terjadi perubahan kepemilikan hak milik lahan yang marak terjadi di Indonesia.
Dari situ, Hannif mulai menyukai kegiatan pemberdayaan masyarakat desa, sampai-sampai ia akhirnya memilih desa wisata sebagai topik skripsi.
Menurutnya, dibandingkan pekerjaannya sebelumnya sebagai konsultan pariwisata—yang lebih banyak membuat arah kebijakan (blueprint) pemerintah daerah, pendampingan masyarakat lebih menantang.
“Tantangannya jelas adalah masyarakat sebagai aktor utamanya. Mereka kadang ingin mendapatkan hasil yang instan. Padahal, membangun desa wisata itu ada proses panjang,” jawab Hannif panjang lebar. “Kalau menyusun dokumen, ‘kan [kita] bisa meminta masukan ahli. Kalau ada koreksi dan masukan, ya tinggal kita tambahkan. Kalau membangun masyarakat, ya harus sabar. Di situlah seninya.”
Intinya, semua bergantung pada masyarakat lokal sebagai aktor kunci pembangunan. Desa Wisata Institute hanya menjadi fasilitator. Kalau masyarakat serius dan berkomitmen membangun desa, nggak mustahil prosesnya bisa cepat. Sebaliknya, kalau masyarakat loyo, nggak ada komitmen, akan butuh waktu yang lama.
Proses pengembangan desa wisata
Langkah pertama dalam pengembangan desa wisata adalah pendekatan. Lalu seperti apa pendekatan Hannif dan teman-teman Desa Wisata Institute ke masyarakat desa?
Pendekatan mereka adalah berbagi pengalaman. Hannif bercerita bahwa tujuh orang pendiri Desa Wisata Institute adalah para pengelola desa wisata yang sudah pernah melewati proses pengembangan desa wisata. Jadi, mereka nggak bicara tentang teori semata.
“Mereka bercerita tentang kondisi desa yang dulu dengan yang sekarang. Dari cerita itu, ada yang tertarik, ada yang nggak tertarik. Nah, yang tertarik ini yang kemudian kita dampingi,” jelas Hannif.
Agar masyarakat makin yakin, Desa Wisata Institute juga mengundang “orang luar” untuk menilai potensi desa tersebut. Hannif memberikan kegiatan memetik cengkeh sebagai contoh. Bagi masyarakat setempat yang sudah terbiasa dengen cengkeh, memetik rempah itu barangkali adalah aktivitas yang biasa-biasa saja. Mereka baru tahu bahwa kegiatan memetik cengkeh mengandung nilai jual ketika ada orang luar yang datang dan mencoba aktivitas itu.
Setelah pendekatan, Hannif Andi dan Desa Wisata Institute kemudian melakukan pemetaan potensi wisata, mendampingi proses penentuan pengurus desa wisata, membuat program kerja, lalu promosi.
Untuk sebuah rintisan desa wisata, ada empat aspek yang dipertajam. Pertama, aspek destinasi. Itu kalau desa tersebut punya objek wisata. Kalau nggak punya, kearifan lokalnyalah yang akan digali. Kedua, aspek kelembagaan. Jika belum ada, Hannif dan Desa Wisata Instite akan mendampingi membentuk lembaga tersebut. Kalau sudah ada, yang mereka lakukan adalah memperkuat SDM-nya. Ketiga, aspek industri.
“Di sini kita sudah mulai bicara tentang akomodasi dan pelayanan. Baik itu homestay maupun pemandu lokal. Kalau ketiga aspek itu sudah siap dan kuat, barulah kita coba memasarkan,” jelas Hannif Andy.
Dalam mengembangkan destinasi, Desa Wisata Institute juga memberikan gambaran pada masyarakat soal pariwisata berkelanjutan. Mayarakat harus tahu cara membangun pariwisata yang nggak cuma mementingkan aspek ekonomi semata. Menurut Hannif, di sana ada peran serta masyarakat sekaligus pelestarian lingkungan maupun budaya.
“Kita juga tidak menyarankan masyarakat membuat spot selfie yang marak [dan] menjamur di destinasi wisata,” ungkap Hannif. “Kita jelaskan baik buruknya seperti apa. Misalnya saja di salah satu desa di Jawa Timur yang kami dampingi; kita tidak menyarankan pembangunan fisik massal di sana. Kalaupun harus ada pembangunan fasilitas wisata, ya harus ramah lingkungan.”
Dalam hal pemasaran, Desa Wisata Institute mengarahkan desa-desa wisata untuk go digital. “Di sinilah peran anak muda dibutuhkan, karena mereka yang paling melek teknologi dan internet,” ujar Hannif.
Untuk desa wisata yang sudah terbentuk namun sedang mengalami kendala, langkah pendampingannya lain lagi. Biasanya, akan dipetakan dulu permasalahannya kemudian dicarikan penyelesaiannya. Misalnya, ketika ada desa wisata yang sudah kuat di kelembagaan tapi lemah di promosi, Desa Wisata Institute akan membantu di sisi promosinya.
Tantangan-tantangan Desa Wisata Institute
“Kalau menurut saya pribadi, kendala terberat itu, ‘kan sudah didampingi, sudah dibantu program, tapi nggak ada tanggung jawab atau konsistensi dari desanya,” ungkap Hannif Andy.
Maka, ketika ada desa wisata yang ingin didampingi secara khusus, Hannif dan rekan-rekannya di Desa Wisata Institute harus memastikan dulu bahwa desa itu bisa konsisten dan bertanggung jawab. Artinya, kembali lagi ke masyarakatnya.
“Kuncinya di sana,” lanjut Hannif. “Satu orang yang komitmen pun tak masalah. Kami senang kalau ada yang mau belajar bersama.”
Saya pun penasaran. Bagaimana kalau desa wisata yang didampingi nggak memperlihatkan hasil? Ternyata, Desa Wisata Institute nggak akan serta-merta meninggalkan desa wisata tersebut. Sambil mendampingi, mereka akan mencari siapa saja yang menjadi tokoh masyarakat dan penggeraknya. Tokoh dan penggerak itulah yang nantinya akan diajak berdiskusi menyelesaikan persoalan.
“Tetap kita kasih opsi untuk pengembangannya. Jadi nggak langsung ditinggal atau dilepas,” pungkas Hannif Andy.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Suka gendong ransel, suka motret, kadang nulis.