Siapa saja traveler yang menginspirasi Anda? Pejalan klasik seperti Jack Kerouac atau Ernesto Guevara? Atau dari dalam negeri seperti Bondan Winarno, Gol A Gong, Sigit Susanto, atau pun Agustinus Wibowo? Mereka adalah sederetan pejalan yang menuliskan kisah tentang tempat-tempat dan juga tak alpa menyigi sisi kemanusiaan beriringan dengan eksotisme sebuah destinasi. Bila tipe pejalan yang demikian merupakan penyulut gejolak kelana Anda, maka sungguh patut menambahkan satu lagi nama avonturir yaitu Hajjah Assabariah yang selama ini luput dari daftar tersebut.

Sebelum saya mengulas lebih jauh, ijinkan saya berbasa-basi dengan mengutip sebuah frasa yang diucapkan oleh eyang G. K. Chesterton dalam The Riddle Of The Ivy; The whole object of travel is not to set foot on foreign land; it is at last to set foot on one’s own country as a foreign land.

Saya memaknai bahwa setiap destinasi pada dasarnya tak akan pernah selesai untuk dikulik jika pejalan selalu memperbaiki sisi telisik yang dimilikinya. Atau kalau dalam bahasa populer, bukan jumlah destinasi yang kita kunjungi melainkan yang terpenting adalah seberapa banyak pelajaran yang kita dapat. Sembari menegaskan bahwa keliling negeri sendiri pun tetap keren.

***

Hajjah Assabariah merupakan nama underrated—bila tak mau disebut “tak dikenal”—bagi pegiat perjalanan negeri ini. Tentu masih sedikit dari kita yang memasukkannya dalam daftar traveler idola. Google pun ternyata melempem untuk mencari lema Hajjah Assabariah dalam kolom pencariannya. (Duh, maaf saya memang korban kedigdayaan Google, nih, jadi saya terlanjur menilai popularitas seseorang berdasar seberapa banyak namanya cocok dengan hasil pencarian).

Saya baru tahu kisah perjalanan Nyonya Assabariah setelah membaca buku “Mutiara Nusantara” yang disumbangkan oleh Nody Arizona sebagai koleksi pustaka Hifatlobrain. Wanita ini melakoni trip jalan kaki seorang diri menjelajahi Indonesia dari Sabang sampai Merauke selama 16 tahun. Saya ulangi lagi; jalan kaki seorang diri! Dahsyat lagi karena saat memulai perjalanan panjang ini usia beliau menginjak 49 tahun dan memiliki empat buah hati yang ditinggalkan di rumah.

Mungkin ahli jiwa dari zaman apapun akan menyudutkannya dengan sebutan masokis. Melakoni perjalanan keliling Indonesia sejauh ribuan kilometer hanya untuk… sebuah kepuasan batiniah? Saya tak yakin betul ada orang yang benar-benar melakukannya. Barangkali yang bisa menyamai rekor Hajjah Assabariah hanyalah Forrest Gump yang bolak balik melintas Amerika dengan berlari. Iya, Anda sudah tahu arah tulisan ini adalah glorifikasi. Karena memang saya tak menemukan sisi lain yang tak pantas diglorifikasi.

Hajjah Assabariah

Sampul Mutiara Nusantara via old.hifatlobrain.net

Tak ayal bila banyak pihak termasuk Presiden Soeharto menyarankan kisah perjalanan Assabariah ditulis sebagai warisan generasi setelahnya. Dan beruntunglah saya sebagai generasi hari ini bisa membaca kisah epik yang nyaris terlupakan ini.

Adalah Yayasan Bhakti Sarinah Jakarta (YBS) yang akhirnya merangkul Assabariah dan menunjuk Sugiono MP sebagai perenda cerita. YBS menyetujui untuk menerbitkan seri catatan perjalanan ini dengan tajuk Mutiara Nusantara. Tuntas ditulis oleh Sugiono MP berdasar penuturan Hajjah Assabariah dan diterbitkan pada tahun 1989. Lawas sekali bukan!

Buku ini istimewa karena kisah yang ditulis Sugiono menggunakan kata ganti ‘Aku’ untuk merujuk pada Hajjah Assabariah. Bahasanya gemulai indah khas melayu klasik namun juga sekaligus baku. “Menuliskan pengalaman orang lain dengan gaya tuturan (aku) tidaklah mudah. Antara pelaku dan penulis terdapat jarak usia, pengalaman batin, dan visi yang disebabkan oleh bentukan latar kehidupan yang berbeda pula,” kata Sugiono dalam pengantarnya.

Kenyataannya Sugiono mampu melebur menjadi ‘Aku’ bagi Hajjah Assabariah. Sehingga cerita yang sampai pada pembaca pun terasa intim.

…Kini, pada malam hari bulan Juli, aku tegak di tengah Lapangan Merdeka (Medan, pen), siap melanglang Nusantara. Seorang diri. Berjalan kaki.

Itu niatku.

Itu tekadku

Itu yang kumau…” (hal 5)

Bekalnya berupa ransel gendong berisi buku catatan dan buku sejarah, topi, kaos oblong, dan sepatu olahraga. Lalu Hajjah Assabariah menapakkan kaki menyisir jalan yang dikelilingi hutan-hutan. Bertemu kawanan gajah mengamuk. Kehabisan bekal makan dan minum di pesisir barat Aceh. Beserta kisah menggetarkan lainnya.

Membacanya membuat saya merinding berkali-kali. Beliau memang pernah ikut dalam garda depan pejuang kemerdekaan. Sehingga getihnya telah memerah penuh api untuk urusan semangat juang. Perjalanan yang ajegile itu merupakan nazar yang beliau pendam semenjak umur belasan. Sebuah janji untuk berkeliling negeri dan melihat secara langsung eloknya ibu pertiwi.

Muatan tulisan lebih didominasi oleh paparan sejarah tentang tempat-tempat yang disambangi beliau. Kampung-kampung yang pernah menjadi basis pertahanan bersama teman-teman seperjuangan semasa perang. Berlatar profesi sebagai seorang pengajar, Hajjah Assabariah mampu menutur riwayat demi riwayat secara teratur. Bila dibuat prosentase, mungkin 45 persen berupa sejarah arkipelago, 35 persen nilai-nilai kebijaksanaan, dan 20 persen pengalaman jejalan.

Dari buku ini saya baru tau bahwa di Aceh terdapat kerajaan Islam yang telah berdiri sebelum Samudera Pasai. Kerajaan Peureulak berada di sisi selatan Aceh dengan nama daerah yang sama. Sekitar era 840-1292 Masehi Kesultanan Peureulak mulai berkembang. Sehingga dinobatkanlah sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara. Padahal seingat saya yang pertama adalah Samudera Pasai. Bahkan menurut ceritera, Kerajaan Peureulak telah mendirikan perguruan tinggi bernama Zawiyah Cotkala. Bila sas-sus sejarah ini valid, maka Zawiyah Cotkala barang pasti merupakan perguruan tinggi pertama di Asia Tenggara. Edan!

Sesungguhnya buku ini mendapat endorsement yang luar biasa dari pejabat tinggi negara pada masanya. Mulai Presiden Soeharto beserta Ibu Tien, hingga ketua DPRD Aceh era ’80-an. Juga disertai foto-foto tempat yang pernah dilalui beliau. Namun nampaknya buku ini tidak mendapat animo dari masyarakat saat itu. Selain sulit ditemukan bahkan melalui Google, buku yang semula direncanakan berseri (mulai Aceh dan seterusnya) tak lagi saya dapatkan informasi keberlanjutan serialnya. Mungkin memang penerbit tak melihat sisi suksesnya di pasaran. Atau malah barangkali Hajjah Assabariah telah berpulang ke sisi Tuhan setelah buku pertama terbit.

Bagi yang memiliki informasi detailnya, saya persilahkan berbagi di sini.

***

Perkenankan saya untuk kembali mengutil bait-bait tuah Hj. Assabariah:

“Sepi, tanpa saksi.

Sepi, tiada upacara hura-hura.

Sepi, aku sendiri, tanpa pamrih.

Tapi tekadku mengeras laksana baja.

Aku akan memulai. Di sini, di Lapangan Merdeka, kujadikan langkah awal.”

Siapa dari kita yang mampu semembumi ini? Melipir dari saksi-saksi perjalanan kita. Menyesaki setiap jengkal kalbu dengan gumambang tekad. Melarung waspada berlebihan dan segala hura pada jagad raya.

Bandingkan dengan ritus pejalan hari ini yang sesak akan ekshibisi dan snobisme multimedia sebelum keberangkatan. Atau justru terlalu sibuk menunggu ‘like-this-click’ dan komentar “Wah lagi di A ya, gue juga pengen banget kesitu, tempatnya bagus ya! (plus emoticon mupeng).” Dengan foto terumbu karang yang diunggah setelah dicolek sana-sini. Lalu merasa bangga jika telah mampu mengintervensi kebiasaan masyarakat adat yang mengakar sejak nenek moyang mereka.

Tentu perbandingan yang saya ajukan cukup berlebihan. Dan saya tahu ini mulai keluar dari fokus. Epos Hajjah Assabariah memang semakin sulit dicari tandingannya hari ini. Mengingat kondisi lingkungan yang tak lagi memungkinkan mendapat makanan dari alam setiap saat, waktu bertahun-tahun yang hilang di perjalanan serta pengaruh cyber-culture yang menghendaki kehidupan serba cepat dan orgasmik.

Namun setidaknya ada satu pelajaran yang bisa diambil. Bahwa yang membuat beliau mencapai tahap makrifatul traveling adalah karena niat dan tujuan beliau melebihi batas bernama “tempat.” Keindahan daratan dan lautan Indonesia hanyalah rambatan. Jauh dari itu ada sebuah dorongan luar biasa bernama upaya mencinta. Mencinta pada alam, mencinta pada manusia, mencinta pada Tuhan yang telah memberi begitu banyak kehidupan pada negerinya. Dan ritus perjalanan pun berubah menjadi sebuah pengalaman yang meditatif.

Sebagai penutup review, akan saya sitirkan sebuah motto yang melekat kuat di setiap botol scotch whisky Johnnie Walker; keep walking!

PS: Ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada Nody Arizona yang mau menyumbangkan koleksi berharga ini.


Artikel ini ditulis oleh Nurwahid Budiono dan sebelumnya dimuat di hifatlobrain.net.

Tinggalkan Komentar