Hairiyadi menatap lurus sempurna. Pandangannya mengarah pada jalan beton sempit yang membelah semak belukar dan persawahan yang masih menghijau. Rupanya, tempat yang ia kunjungi kali ini adalah salah satu situs penting kebudayaan Kalimantan Selatan masa Hindu-Budha, Candi Laras yang bertempat di Kecamatan Candi Laras, Kabupaten Tapin.
Hairiyadi bersama beberapa anggota komunitas Palalah menjelajah Candi Laras dan sekitarnya dalam upaya mencatat dan merekatkan kembali kepingan-kepingan puzzle sejarah yang sudah mulai pudar. Penjelajahan ke Candi Laras ini hanyalah secuil dari perjalanan-perjalanan yang telah ia tempuh ke berbagai penjuru Kalimantan Selatan.
Bagi Hairiyadi, sejarah bukan lagi sekedar pelajaran sekolah yang mengingatkan akan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di masa lampau. Sejarah adalah cara pandang masa kini menggunakan masa lalu dalam upaya menyadur pembelajaran dalam berbagai aspek kehidupan manusia.
Kegemaran akan sejarah dan masa lampau rupanya sudah mengalir semenjak ia kecil. Ia menyukai membaca, terutama tentang kisah-kisah yang pernah terjadi di masa lalu. Mitos, cerita, legenda, hingga fakta sejarah adalah santapan Hairiyadi semasa kecil yang tidak pernah dilewatkannya.
“Dalam perkembangan berikutnya, secara pribadi, (saya) lebih suka membaca cerita yang ada hubungannya dengan kejadian-kejadian di masa lalu yang berisikan fakta-fakta dan kejadian sesungguhnya,” tuturnya.
Untungnya, daerah tempat tinggalnya, di Kandangan, adalah tempat yang kaya akan kejadian sejarah, baik dari perpindahan penduduk Banjar Batang Banyu ke daratan yang lebih tinggi, zaman Kerajaan Banjar, hingga masa revolusi fisik.
Desa Tabihi, desa kelahiran Hairiyadi, juga sempat menjadi pemasok anggota tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan dalam upaya menggagalkan kelanggengan kuasa Pemerintah Belanda di Bumi Kalimantan Selatan. Selain dari aspek kesejarahan, desa ini juga turut mengembangkan aspek budaya Banjar seperti mamanda, bakuntau, kuda gepang, dan semacamnya. Dengan segenap kelebihan desanya itulah yang akhirnya mendukung tumbuh kembang Hairiyadi dalam mencintai ilmu humaniora.
“Saya juga akhirnya tertarik melihat tinggalan-tinggalan yang ada kaitannya dengan masa lalu.”
Bukti-bukti sejarah inilah yang akhirnya menjadi pertanyaan lanjutan yang berputar dalam pikirannya. Memikirkan “kenapa begini” dan “kenapa begitu” ialah sumber bahan bakar utama dalam mempelajari ilmu sejarah.
Hairiyadi pun mengakui bahwa semasa sekolah, nilai-nilai pelajaran yang paling menonjol adalah yang berhubungan dengan sejarah dan budaya lokal.
“Saya juga tertarik melihat tinggalan-tinggalan kebudayaan yang terkait dengan masa lampau.”
Selepas sekolah menengah atas, Hairiyadi kemudian melanjutkan perjalanan menimba ilmunya ke Banjarmasin. Mengenyam S1 Pendidikan Sejarah di Universitas Lambung Mangkurat. Sehabis berkuliah S1, dirinya mendapatkan kesempatan berbagi ilmu dengan menjadi dosen di universitas yang sama. Lalu, barulah ia melanjutkan pendidikan magisternya di jurusan Sejarah, Universitas Indonesia. Sekembalinya dari menuntut ilmu di Depok, ia kembali melanjutkan pengabdiannya sebagai dosen.
Selama menjadi tenaga pengajar di Universitas Lambung Mangkurat, ia mengampu beberapa mata kuliah: Pengantar Ilmu Sejarah, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Sejarah Agraria, Metodologi dan Historiografi Sejarah, Sejarah Perekonomian, Sejarah Lokal dan Sejarah Kebudayaan Praktek Pengalaman Lapangan, dan Bimbingan Awal Pra-Mengajar.
Ia juga menjadi ketua Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Banjarmasin yang bertugas mendata dan mendokumentasikan tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada di kota ini, juga merekomendasikan status cagar budaya untuk dikategorikan ke dalam cagar budaya tingkat kota. Beberapa yang sudah didata dan direkomendasikan adalah rumah adat banjar di Sungai Jingah dan Sungai Miai, beberapa makam antara lain makam-makam yang berperan dalam penyebaran Islam, dan benda-benda pusaka yang berkaitan dengan Kesultanan Banjar.
Meratus dan Kebudayaan
Semua orang mengenal Hairiyadi sebagai salah satu pegiat kebudayaan Pegunungan Meratus. Lantas kenapa ia kemudian memilih konsentrasi menggeluti kebudayaan di Meratus?
Awalnya ia terpikir untuk menggarap tesis dengan tema sejarah yang agak kontemporer. Selain karena lebih mudah, data yang tersedia juga banyak sehingga tidak merepotkan. Temannya kemudian mengingatkannya setelah diskusi yang cukup panjang. Saran yang ia terima waktu itu adalah mencari tema yang akan menjadi ciri khas Hairiyadi di masa depan. Akhirnya, Hairiyadi memilih sejarah kebudayaan di Pegunungan Meratus—terutama ritual—sebagai trademark dirinya.
“Budaya di Kalimantan Selatan ada yang merupakan khazanah kebudayaan dataran tinggi, ada juga kultur dataran rendah, dan ada juga kultur rawa dan sungai. Kalau sementara ini dilakukan pemetaan, rata-rata yang sudah banyak digarap itu ada di daerah dataran rendah. Sementara sungai dan rawa agak kurang, apalagi dataran tinggi—dalam hal ini Pegunungan Meratus,” paparnya.
Sulitnya medan yang ditempuh menjadi salah satu alasan penelitian di daerah Pegunungan Meratus kurang diminati banyak orang. “Padahal mereka yang ada di Meratus inilah bagian awal dari apa-apa yang ada di (masyarakat) kaki gunung ataupun yang di sungai.”
Hairiyadi teringat kata-kata dosennya dahulu. “Kita ini sebenarnya darurat sejarawan dan ahli purbakala,” kenangnya menirukan perkataan dosennya. Kurangnya tenaga ahli ini banyak mengakibatkan sejarah di Kalimantan Selatan masih tertutup kabut, terutama di masa sebelum abad ke-17. Yang banyak meneliti tentang sejarah Kalimantan justru orang-orang yang datang dari barat, yang notabenenya bukan berasal dari budaya Kalimantan. Pemahaman budaya dari kacamata orang barat sendiri seringkali melenceng pada pakem sebenarnya, karena barat datang dengan gagasannya sendiri mengenai bagaimana “timur” berbudaya.
“Ide atau gagasan dari suatu budaya hanya bisa didekati—yang mungkin agak lengkap—oleh orang-orang yang berasal dari budaya itu sendiri,” ia melanjutkan “tetapi ia nanti juga bisa subjektif [dalam memandang budaya tersebut]. Tapi kalau nanti ia juga mendapatkan pendidikan atau dengan kata lain metodologi, maka akan bisa membebaskan diri dari subjektifitas ini.”
Masih menurutnya, sekurang-kurangnya peneliti kalaupun berasal dari luar budaya tersebut, haruslah memiliki kedekatan dengan budaya yang akan diteliti sehingga gagasan yang ada dapat dipahami dengan baik. Bagaimana kalau sama sekali tidak ada kedekatan? Tetap bisa, namun tentulah dengan waktu yang lebih panjang.
“[Memahami] kebudayaan itu susah. Susahnya kenapa? Karena ia merupakan bagian dari sejarah juga pengaruh alam, dan ini hanya bisa dipahami oleh orang yang konsisten mengikuti [budaya] itu. Belum lagi adanya pamali atau pantangan tertentu. Orang yang berasal dari kebudayaan tersebut akan mampu mengorek informasi tertentu dari orang yang memang memiliki pengetahuan akan hal tersebut.”
Inilah yang akhirnya membawa Hairiyadi menyukai pengelanaan, atau dalam bahasa Banjarnya disebut balalah. Pengelanaan yang membawa pada pengetahuan nan netral dari unsur keberpihakkan. Meskipun kerap kali melewati bentang alam yang bagus dan bervariasi, Hairiyadi memang lebih berfokus pada kondisi sosiologi dan dinamika kehidupan suatu tempat. Pemandangan alam yang bagus hanyalah sebagai bonus dari apa yang ia dapat tiap balalah.
Hairiyadi juga menggembleng anak-anak muda lainnya di komunitas Palalah, yang diharapkannya suatu saat mampu melanjutkan apa yang telah ia mulai: kepedulian akan pengetahuan sejarah dan budaya lokal.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.