Interval

Hadiah Perjalanan: Cendera Mata Tak Selalu Harta Benda

Berapa banyak dari kita yang selalu membawa oleh-oleh sepulang bepergian? Jajanan lokal khas daerah setempat, suvenir budaya, atau cendera mata lainnya. Kadangkala belanja atas inisiatif sendiri, kadang pula karena titipan dari keluarga atau teman.

Natalia Oetama berbeda. Lewat Hadiah Perjalanan, ia menuturkan cerita-cerita perjalanan sebagai kenang-kenangan untuk siapa pun tanpa kenal batasan. Sebagai orang yang kenal cukup dekat penulis, saya agak menyesal karena terlambat menghadirkannya di tangan. Namun, semoga ia tidak kesal.

Seperti kebanyakan penulis, Natalia—panggilan akrabnya—menulis untuk menjadikannya abadi sesuai petuah Pramoedya Ananta Toer. Inilah jalannya. Sebuah perubahan keputusan hidup yang sangat drastis. Dalam istilah Natalia, ia mengaku “murtad” dari lulusan magister insinyur geotermal menjadi seorang pencerita sepanjang usia.

Atau, kalau saya coba memperhalus, barangkali ia mengalami proses “hijrah” ke jalan berbeda. Dalam arti yang baik, tentu saja. Jalan yang memungkinkannya menemukan cerita-cerita dan petualangan baru yang tak terduga. Hadiah Perjalanan ini adalah karya solo pertama perempuan kelahiran Padang itu, yang lahir dari rahim pemikiran-pemikirannya—yang kerap membuat saya takjub ketika kami sesekali berada dalam satu perjalanan.

Hadiah Perjalanan: Cendera Mata Tak Selalu Harta Benda
Kutipan menarik di bagian pembuka buku/Rifqy Faiza Rahman

Jiwa-jiwa yang penuh kehangatan

Terdapat total 28 “hadiah perjalanan” yang terbagi dalam empat bagian utama. Masing-masing berisi 6—8 cerita perjalanan yang ia himpun baik dari mana pun dan siapa pun. Melintas batas-batas provinsi hingga negara. Alih-alih memberikan panduan berwisata layaknya sebuah buku perjalanan arus utama, ia memilih mengesampingkan ego dengan berbagi sisi lain dari perjalanan. 

Secara tersirat, percaya atau tidak, cerita-cerita tersebut justru menjadi oleh-oleh paling mahal dan bernilai. Tak akan tergantikan dengan apa pun. Tak hanya indah, tetapi juga memenuhi relung jiwa dengan kesejukan dan ketenangan. Dalam pandangan Natalia, jiwa seperti entitas istimewa yang melebihi segala panca indra.

“… Cerita tentang pertemuan, perpisahan, pertemanan, makanan, pengalaman, falsafah, keluarga baru, tentang rumah. Jika pemandangan indah menyejukkan mata dan menenangkan kepala, maka cerita-cerita ini bagi saya mengenyangkan jiwa” (hlm. 8).

Saya sepakat bahwa memberi pengalaman untuk mengenyangkan jiwa adalah salah satu tujuan terbaik dalam perjalanan. Acapkali perjalanan memberikan sesuatu yang tak disangka-sangka, meskipun kita mungkin kadang-kadang terjebak pada ekspektasi atau prasangka.

“Menjeda Senja di Luang Prabang” barangkali jadi gambaran yang pas untuk menerjemahkan itu. Tampaknya kota yang terletak 425 km utara Vientiane, ibu kota Laos, mendapatkan ruang istimewa di hati Natalia. Ia sampai tiga kali berkunjung ke kota yang menjadi rumah banyak kuil Buddha itu. Tempat yang terlampau jauh ia gapai dari kampung halaman di dataran Minang, tetapi justru telah menjadikannya “rumah” sebagai tujuannya pulang.

Kesahajaan dan nuansa yang terkesan tidak terburu-buru, begitu ia menyebut, adalah salah satu kelebihan Luang Prabang yang memikat Natalia. Saya juga bisa merasakan luapan kebahagiaan yang ia resapi dari pemandangan senja nan memikat. Saya rasakan pula tatkala penyuka warna biru itu memasuki “ruang hening”, yang memberinya jeda untuk menghangatkan jiwa sekaligus berkontemplasi memaknai kehidupan. 

“Seperti mantra terkenal Laos, ‘bor pen yong’, yang dapat diartikan sebagai ‘no worries, no problem, it’s okay’, dan kata-kata penerimaan lainnya. Ini adalah falsafah hidup yang mengajamu untuk melepaskan segala pengharapan dan meluruhkan segala hal yang memberatkan hati dan kepala. Di sini, di Luang Prabang, sekali lagi ia berbisik, ‘Tak apa, beri jeda kepada tubuh, kepala, senja, dan juga kepada hidup—agar kita mampu meresapi maknanya, menerima’” (hlm. 52).

Catatan kritis 

Jika ada hal yang sedikit mengganggu dari buku ini, yaitu ukuran font yang bagi saya agak kekecilan. Kemudian peletakan posisi nomor halaman terlalu ke dalam, sehingga membuat saya harus membuka setiap lembarannya lebar-lebar. Selebihnya sangat baik. Meski harus mencerna setiap makna kalimat buah pemikirannya, alur ceritanya relatif ringan dibaca dan mengalir. Menambahkan ilustrasi atau foto sebagai deskripsi pendukung mungkin dapat dipertimbangkan di buku Natalia selanjutnya.

Dari sekian cerita yang ada di buku ini, saya merasa memiliki tanggung jawab dan perhatian khusus untuk tulisan “Impian yang Tak Perlu Digenapi”. Ada catatan kritis dan sedikit koreksi sekaligus apresiasi saya terhadap perjalanan penulis ke Pulau Sempu, Malang. 

“Ya, memang tak semua ingin harus kita dapatkan. Kenangan intim di bibir Segara Anakan lima tahun silam harus saya terima sebagai meterai akhir. Mimpi untuk menikmati malam penuh bintang dan orkestra pagi semesta di sana harus saya relakan. Karena, sejak 2017, telah dikeluarkan larangan untuk berwisata ke Sempu” (hlm. 110).

Sesuai keterangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur, sebenarnya Pulau Sempu sudah berstatus sebagai kawasan Cagar Alam sebelum era kemerdekaan Republik Indonesia. Penetapan tersebut berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Hindia Belanda (Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie) No. 69 dan No. 46 tanggal 15 Maret 1928 tentang Aanwijzing van het natuurmonument Poelau Sempoe seluas 877 hektar.

Surat edaran BBKSDA Jawa Timur nomor SE 02/K.2/B/DTEK.2/KSA/9/2017 yang keluar tanggal 25 September 2017, sejatinya lebih bersifat menegaskan kembali tentang pelarangan wisata alam ke Cagar Alam Pulau Sempu di peraturan sebelumnya. Tepatnya PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, yang merupakan turunan dari UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Segala ekosistem di Pulau Sempu hanya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan masyarakat, penyerapan atau penyimpanan karbon, serta pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk kepentingan budidaya.

Namun, saya mengapresiasi penulis dan teman seperjalanan yang masih mau memungut sampah sampai dua plastik di sekitar bibir danau Segara Anakan. Yang menarik adalah “keberanian” Natalia memberi kutipan dan menuangkannya di halaman judul: “Manusia, makhluk yang mampu merusak, juga mampu menjaga dan berbagi dengan sepenuh hati.” 

Semoga perjalanan tersebut juga telah menjadi pelajaran dan kontemplasi. Kelak jika ingin kembali ke Sempu, Natalia bisa berbuat lebih banyak untuk konservasi maupun penelitian. Saya pikir mereka beruntung dan harus mensyukuri tidak mendapat laporan pidana maupun denda. Hal ini sejatinya juga menguak penyakit klasik institusi pemerintahan di Indonesia dalam menjalankan kebijakan, yaitu lemahnya pengawasan dan tidak tegasnya penegakan hukum.

Hadiah Perjalanan: Cendera Mata Tak Selalu Harta Benda
Ilustrasi menarik di setiap transisi segmen bagian atau bab utama/Rifqy Faiza Rahman

Pelajaran penutup yang apik

Saya pikir langkah hebat dari buku ini adalah menempatkan “Akar Perjalanan” sebagai cerita penutup. Tidak hanya apik, tetapi amat menyentuh hati. Dalam film, mungkin kita mengenal istilah “sad ending” atau “happy ending”. Namun, di buku ini keduanya tidak berlaku. Kalau kata saya, penutup yang manis.

Natalia mengajak kita ikut menelusuri masa kecilnya. Saat-saat ia mengenal lema “perjalanan” atau “jalan-jalan”. Ia memberi singgasana tutur untuk sang Engkong, sosok laki-laki tua yang ia anggap berjasa membentuk semesta perjalanan Natalia hingga saat ini.

Di masa kecilnya, Natalia beruntung telah menerima ajaran berharga dari sang kakek tentang perjalanan. Memberi pemahaman tentang pentingnya untuk menghargai jeda saat berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Bahwa bukan destinasi atau tujuannya yang menjadi penting untuk dikejar, melainkan perjalanan itu sendiri. 

“Rupa-rupanya ini pelajaran berharga yang ditinggalkan Kakek, atau yang biasa saya sebut Engkong, untuk saya. Tentang cara berjalan, tentang menyediakan kelapangan hati untuk apa pun yang ditemukan di perjalanan” (hlm. 234).

Pelajaran hebat tersebut, jika saya boleh menyimpulkan, adalah hadiah pertama untuk Natalia yang kemudian di masa mendatang kian memaknai arti perjalanan. Dengan demikian, tepat bila ucapan terima kasih yang pertama ia tujukan adalah kepada Engkong.

“Tak perlu menghitung seberapa jauh tujuan kita, cukup nikmati hal-hal kecil yang ada di sepanjang jalan” (hlm. 235).

Hadiah perjalanan itu tidak selalu berupa harta benda. Kenangan, momen membekas, pelajaran hidup, lebih bermakna dan jauh lebih bernilai, mahal, bagi diri kita. Bahkan, seperti Natalie bilang, ia pun menjadi tergila-gila dan kecanduan untuk melakukan perjalanan lagi dan lagi, mencari buah-buah tangan dari arah maupun bentuk yang tak ia sangka-sangka.


Judul Buku: Hadiah Perjalanan
Penulis: Natalia Oetama
Editor: Anastha Eka
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: Pertama, 2022
Tebal Buku: 238 Halaman
ISBN: 978-602-06-6220-6
ISBN Digital: 978-602-06-6221-3


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rifqy Faiza Rahman

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Seorang penulis perjalanan, pemerhati ekowisata, dan Content Strategist di TelusuRI. Penikmat kopi. Gemar mendaki gunung demi gemintang, matahari terbit dan tenggelam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Macet di Gunung, Apa Solusinya?