Nama Gili Ketapang mungkin sedikit asing jika dibandingkan dengan Gili Trawangan atau gili-gili lainnya. Ini karena Gili Ketapang bukanlah salah satu nama pulau yang ada di Bali maupun Lombok. Gili Ketapang merupakan pulau kecil di sebelah utara Kabupaten Probolinggo.
Gili Ketapang memiliki luas wilayah kurang lebih 68 hektar. Dengan jumlah penduduk berdasarkan data dari BPS Kabupaten Probolinggo tahun 2011, yaitu mencapai 8.402 jiwa. Terdiri dari 3.941 orang penduduk laki-laki dan 4.461 orang penduduk perempuan. Sehingga tidak mengherankan jika pulau ini mendapatkan label sebagai salah satu pulau terpadat di Indonesia selain Pulau Bungin, Sumbawa.
Mayoritas penduduk Gili Ketapang bermata pencaharian di sektor perikanan. Selain memiliki sumberdaya perikanan yang melimpah, Gili Ketapang dikenal karena wisata pantai dan bawah airnya. Tidak seperti pantai yang berada di kawasan utara Pulau Jawa, air laut di Gili Ketapang sangat jernih, berwarna biru dan berpasir putih. Kondisi ekosistem terumbu karang yang juga tidak boleh disepelekan. Begitu mudahnya pengunjung akan menjumpai anemon dan ikan-ikan badut.
Sebagai salah satu tempat wisata bahari yang belum termasuk pilihan favorit. Gili Ketapang sudah memperlihatkan pengaruhnya setelah kunjungan Menteri Kelautan dan Perikanan (2014-2019) di tahun 2018. Susi Pudjiastuti yang dikenal karena jargon “tenggelamkan”, sempat berenang bersama hiu tutul di sana. Mamalia laut raksasa yang setiap tahunnya selalu bermigrasi melewati perairan Probolinggo. Namun ada satu pesan nan menggelitik yang disampaikan beliau. Kurang lebih seperti ini, ”Kalau ke sini jangan hanya berwisata, juga harus jaga keindahan lautnya.” Kalimat itu beliau sampaikan setelah melihat betapa kotornya perairan Gili Ketapang oleh sampah-sampah yang mengapung.
Carut-Marut Persoalan Pulau Kecil
Pengelolaan pulau kecil memang tidaklah mudah, seperti halnya di Gili Ketapang. Persoalan umum yang ditemui di areal pulau kecil diantaranya adalah limbah lokal (sampah rumah tangga dan sampah plastik), ketersediaan listrik, aktivitas perikanan yang tidak memperhatikan keberlanjutan, lahan minim dan kekurangan air (water shortage).
Di Gili Ketapang sendiri, masyarakat lokal hanya dapat merasakan fasilitas listrik di malam hari. Karena keterbatasan listrik inilah tentunya beberapa kegiatan dapat terhambat. Belum lagi masalah air bersih yang masih menjadi permasalahan yang tidak ada titik terangnya. Alhasil banyak warga yang memanfaatkan laut sebagai kolam renang alami untuk sekadar membersihkan tubuh. Seperti halnya yang dilakukan anak-anak pesisir pantai. Melimpahnya air laut ini belum dimanfaatkan menjadi air bersih misalnya melalui metode osmosis terbalik. Karena lagi-lagi akibat keterbatasan ilmu, teknologi dan biaya.
Penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan pada akhirnya juga berpengaruh terhadap kesehatan terumbu karang. Banyak sekali dijumpai karang-karang yang berserakan di sepanjang jalan Gili Ketapang. Selain akibat penggunaan bom ikan, terumbu karang juga sengaja dirusak oleh penduduk lokal. Masyarakat memanfaatkan karang yang telah mati itu menjadi bahan bangunan. Jumlah kerusakan karang di Gili Ketapang tidak bisa dinomorduakan. Apabila semakin lama semakin berkurang jumlah terumbu karang disana, tentunya juga akan berdampak kepada sektor pariwisata.
Dan yang tidak luput dari perhatian ialah persoalan sampah yang menggunung. Tempat pembuangan sampah di kawasan pulau kecil sudah ada. Namun manajemen pengelolaannya yang masih buruk sehingga pada akhirnya sampah akan mengalir ke lautan. Bahkan hewan-hewan ternak seperti kambing terpaksa harus mencari makanan di antara sampah-sampah.
Siapa yang Menikmati Manisnya Keuntungan Wisata?
Pada tahun 2019, pendapatan negara dari sektor pariwisata sebesar Rp 280 triliun. Angka yang tergolong sangat besar. Namun apakah masyarakat merasakan kesejahteraan karena kepariwisataan ini? Jika dilihat, memang semakin hari semakin menjamurnya jasa travel, fotografi dan hospitality akibat lonjakan kepariwisataan.
Siapa sebenarnya yang menikmati? Lagi-lagi dari golongan elit berduit. Di Gili Ketapang, banyak bermunculan agen wisata yang menyediakan paket-paket liburan. Mulai dari keberangkatan hingga fasilitas snorkeling, namun kebanyakan yang menjadi pelaku wisata adalah bukanlah penduduk asli Gili Ketapang. Masyarakat lokal lebih banyak menyaksikan bahwa lingkungan tempat tinggal mereka semakin ramai kedatangan pengunjung. Aktivitas di bidang perikanan masih menjadi prioritas utama mereka. Seperti melakukan penangkapan ikan dan pengolahan ikan oleh istri-istri nelayan.
Upaya Penyelamatan Alam dan Ekonomi
Sumber Daya Alam yang terus dieksploitasi tanpa memikirkan keseimbangan dan konsep berkelanjutan. Akan berefek ganda baik terhadap lingkungan maupun ekonomi. Hal ini mengisyaratkan bahwa pentingnya pengelolaan wilayah untuk dikelola secara terpadu.
Mengingat begitu pentingnya peran terumbu karang bagi perikanan dan industri pariwisata. Pemerintah Kabupaten Probolinggo telah memasang 196 unit karang buatan pada tahun 2005 untuk rehabilitasi terumbu karang yang rusak. Dan meresmikan diri bahwa Gili ketapang mampu menjadi Pulau Wisata.
Dari segala persoalan khas pulau kecil, kebijakan yang akan diterapkan di Gili Ketapang perlu dikaji ulang. Mengingat begitu padatnya jumlah penduduk dan peningkatan kunjungan wisata. Kestabilan alam dan keberlanjutannya harus menjadi titik fokus. Karena kebijakan yang tepat akan mendatangkan manfaat terkhusus bagi masyarakat Gili Ketapang itu sendiri.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Melynda Dwi Puspita adalah sebutir pasir pantai asal Probolinggo, Jawa Timur.