NUSANTARASATRAVELOG

Geliat Kuliner Wingko Pasar Ngasem

Pagi itu suasana ramai berlangsung lengang, berganti keriuhan aroma bumbu dapur dan rempah yang ditumis. Suasana Pasar Ngasem, Yogyakarta pada Jumat (10/10/2025), tidak jauh berbeda dari biasanya.

Sedari pagi pedagang sibuk melayani pembeli yang kebanyakan wisatawan lokal dan mancanegara datang untuk berbelanja. Mereka dengan ramah menawarkan dagangannya, mulai dari kuliner, oleh-oleh, dan pernak-pernik lainnya.

Di antara kesibukan itu, Andre, pemuda asal Lampung Tengah sibuk membolak-balikkan wingko yang telah dipanggang. Ia mengambil wingko yang telah masak dengan tanda gosong agak oranye, diganti dengan wingko baru yang belum dipanggang.

Wingko baru tersebut diletakkan di dalam kotak putih sampai terisi 105 biji. Andre biasa memasak 15 kotak setiap harinya. Namun, di hari-hari dengan keramaian pengunjung tertentu ia bisa memasak lebih.

Andre baru bekerja di tempat ini sejak lima bulan yang lalu, tetapi terlihat peluh yang menetes sebesar jagung di pelipisnya tak menyurutkan semangatnya bekerja. Dengan cekatan ia meletakkan satu per satu wingko baru dengan penjepit besi ke atas nampan panggangan.

Geliat Kuliner Wingko Pasar Ngasem
Andre memindahkan wingko ke nampan dari bambu yang ada di depannya/Rizqy Saiful Amar

Sejarah Wingko

Kendati dijual di Pasar Ngasem dan disebut makanan khas Semarang, ternyata wingko sendiri merupakan kudapan yang berasal dari Lamongan. Mulanya wingko dibuat oleh pengusaha rumahan Cina di kampung Babat, Lamongan, itulah mengapa disebutnya wingko babat. Namun, ketika anak keturunan mereka hijrah ke Semarang, resep wingko tersebut juga dibawa.

Semenjak itulah mereka melakukan ekspansi dan pemasaran wingko secara masif. Hingga saat ini wingko babat tersebut dikenal sebagai kudapan khas Semarang.

Randa, rekan Andre, menuturkan usaha wingko yang mereka kerjakan ini sudah berlangsung selama dua tahun. Seperti Andre, Randa hanya menjadi pekerja pemanggang wingko semenjak setahun yang lalu.

“Saya cuma kerja, Mas, ini masak wingko di pasar saja. Ini [kerja memanggang] dari tahun kemarin, Desember kemarin. Tapi kalau [usaha] wingkonya ini udah dua tahunan kurang lebih di Pasar Ngasem. Cuma yang punya itu jual bakpia udah lama. Hmm… dari 1996,” ujar Randa sembari menata kerapian wingko di atas dua nampan panas.

Usaha wingko tempat Andre dan Randa bekerja tersebut merupakan usaha perorangan. Sebelumnya bos mereka merupakan pengusaha oleh-oleh terutama bakpia di Pasar Ngasem.

Walaupun belum lama berada di sana, wingko tersebut sepertinya tetap laris manis. Saya melihat beberapa kali wisatawan mancanegara datang menanyakan wingko tersebut. Randa lantas mengarahkan mereka ke outlet utama milik bos mereka tak jauh dari lokasi pemanggangan.

Geliat Kuliner Wingko Pasar Ngasem
Adonan wingko mentah/Rizqy Saiful Amar

Tantangan yang Dihadapi 

Kepada saya Randa berkisah, selain memanggang wingko ia juga mendapat tugas mengirimkan pesanan wingko ke beberapa pemesan. Jadi, para peminat wingko tidak harus datang ke pasar. Pihaknya bersedia memberikan layanan pengiriman apabila para pelanggan membutuhkan wingko segera.

“Banyak yang pesan lewat WA, itu saya antar ke, misalnya, hotel. Atau ke rumah orang-orangnya. Kalau enggak biasanya COD di stasiun, sebelum pelanggan berangkat, buat oleh-oleh itu nanti janjian jam berapa ketemu di pintu keberangkatan gitu,” ucapnya.

Wingko yang dimasak Randa tidak dibuat di pasar ini. Ada tempat khusus produksi wingko dan bakpia milik bos mereka di Godean. Apabila adonan telah siap, selanjutnya akan ada orang yang mengantarkan wingko mentah itu ke Pasar Ngasem ini. Berikutnya Randa dan Andre yang bertugas memanggang wingko-wingko itu.

Kesulitan yang dirasakan Randa adalah ketika dirinya tengah bersiap akan memanggang. Kebijakan Pasar Ngasem mewajibkan para pedagang untuk menggunakan tungku arang sebagai alat memasak. Sehingga ia harus menghidupkan enam tungku arang yang ia miliki setiap pagi. Keenam tungku itulah yang nanti di atasnya diletakkan dua nampan berukuran setengah meter untuk memanggang wingko.

“Jadi kalau arangnya bagus dikasih abu begini awet, Mas. Tapi kalau arangnya jelek itu dikasih abu mati dia. Jadi memang selain kualitas wingko dari sana harus segar, arangnya juga iya. Dan arangnya sering juga rewel. Soalnya di pasar, kan, enggak boleh pakai kompor, enggak pakai gas, enggak boleh,” imbuh Randa.

Nampan besar dan tungku arang untuk memanggang wingko/Rizqy Saiful Amar

Memang demikianlah adanya, ketika saya mendekat terlihat Randa tengah menaburkan abu ke arang yang menyala merah. Dari jarak tak lebih dari tiga meter saja, kulit saya terasa tersengat oleh hawa panas tungku pemanggangan.

Semua pedagang kuliner di Pasar Ngasem diberikan kewajiban memasak menggunakan arang. Entah sebagai wujud mempertahankan lokalitas atau cara tradisional, tetapi bila kalian berjalan menyusuri lorong-lorongnya pastilah tercium bau sangit arang menyeruak.

Suka duka ia lewati selama menjadi pemanggang wingko. Hal itu terutama berkaitan dengan kepuasan pelanggan, sehingga ia harus teliti dengan kematangan wingko karena akan berpengaruh terhadap keawetan wingko.

Menurut Randa, wingko dapat disimpan hingga empat hari. Selama itu wingko harus segera dinikmati agar tidak basi. Dirinya tidak menampik jika ada wingko yang bisa dinikmati lebih dari batas waktu tersebut, tetapi ia menekankan batas aman konsumsi, yakni empat hari.

“Ya, disclaimer-nya empat hari. Sebenarnya [bisa] lebih, tapi biar aman saja itu empat hari. Jadi, kalau masak [wingko] sore terus buat [dimakan] pagi itu enggak apa-apa, Mas. Soalnya kalau yang dibungkus buat oleh-oleh itu, kan, sudah dibungkus kardus gitu, toh, [sehingga] wingko harus dingin. Nanti kalau panas dibungkus bisa rusak,” imbuhnya.

Geliat Kuliner Wingko Pasar Ngasem
Sebelum dimasukkan ke kotak, wingko matang harus didinginkan agar tahan lama saat dipasarkan/Rizqy Saiful Amar

Perlu Dukungan Pemerintah

Menurut Randa, wingko termasuk jajanan tradisional yang masih diminati, terutama di Jogja. Namun, ia menyayangkan bahan baku untuk jajanan tradisional yang menjadi bagian motor penggerak wisata Jogja ini kerap mengalami kelangkaan.

Ketersediaan kelapa tua terutama di wilayah sekitar Jogja tengah menurun, ditambah beberapa waktu lalu harga kelapa sempat melonjak. Padahal wingko tidak dapat dibuat dengan kelapa yang masih tergolong muda, karena akan membuat wingko menjadi mblenyek (lembek).

Ia berharap pemerintah dan pihak berwenang lainnya mau menyoroti permasalahan ini. Baginya wingko merupakan warisan budaya yang patut dilestarikan, sehingga perhatian terhadap petani yang menggarap bahan baku wingko ini bisa dinaikkan taraf hidupnya.

“Sebenarnya krisis seperti itu cuma dari atasan, loh, Mas masalahnya. Cuma kalau bahan-bahan sebenarnya ada, hanya dibikin limit saja. Jadi, masalahnya bukan disetop menurut saya di pemerintahannya itu. Harapan saya, ya, pemerintahannya lebih baik lagi [mendukung UMKM]. Enggak banyak dikorupsi. Iya, kan, Mas?” pungkas Randa.

Kisah Randa dan Andre membekas di hati saya. Bagaimana keikhlasan, ketekunan, dan tentunya kerja keras mereka menjadi pelajaran bagi saya. Berjalan di Pasar Ngasem berhasil membuat saya berkontemplasi dan meneguk sedikit air kesadaran hakiki.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Rizqy Saiful Amar

Amar seorang remaja kabupaten Magelang. Suka menjelajah daerah pinggiran dan gang-gang sempit. Suka memancing wader dan kontemplasi.

Rizqy Saiful Amar

Rizqy Saiful Amar

Amar seorang remaja kabupaten Magelang. Suka menjelajah daerah pinggiran dan gang-gang sempit. Suka memancing wader dan kontemplasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Yang Selalu Terkenang saat Membawa Pulang Soto Kadipiro