Gas Air Mata di Bundaran HI

Selepas sif pagi jam 1 siang, saya langsung menstarter Supra kesayangan. Arloji di pergelangan menunjukkan pukul 14.00 saat saya tiba di depan gedung KPU untuk memarkirkan motor. Saya mantap turun ke jalan tanpa aliansi seperti mahasiswa atau serikat buruh.

Sekitar dua puluh menit berjalan sampailah saya di Bundaran HI. Patung di tengah itu seolah-olah menyapa saya dari kejauhan dan berkata, “Hai! Sini bergabung!” Akhirnya saya memang bergabung. Bukan, bukan dengan patung itu, tapi dengan para demonstran. Kami berjalan dari depan kantor polisi di Thamrin yang penuh instrumen antihuru-hara. Dalam hati saya bergumam, “Semoga saja ini hanya pameran mobil.”

Massa dekat Halte Sarinah/Muhammad Husen S.

Sudah pukul 14.30. Rasanya mungkin telat untuk aksi. Namun, rupanya pada jam-jam inilah situasi mulai memanas. Tak lama setelah saya melewati sebuah halte, muncul kericuhan. Batu-batu dilemparkan ke arah halte TransJakarta. Oknum [pemancing] kericuhan memang nyata adanya. Saya refleks berkata, “Hai! Hai! Di situ nggak ada DPR-nya!” Kawan saya lebih gamblang. Ia memanjat pembatas jalur TransJakarta, berdiri tegap di sana sambil mengangkat kedua tangan, dan berkata, “Hai! Hai! Energi kita bukan buat di sini!”

Saat itu, saya baru sadar bahwa di rombongan saya hanya sedikit yang memakai jaket almamater. (Serikat buruh—tadi saya tiba berbarengan dengan massa serikat buruh—memakai kemeja hitam.)

Di halte selanjutnya, saya melihat keanehan: oknum-oknum mengantar bensin dalam jeriken untuk memuluskan acara BBQ-an halte TransJakarta. Karena udara langsung dipenuhi oleh asap hitam yang mengepul, saya tak sempat mendokumentasikannya. Tapi tak saya indahkan asap itu. Saya tetap berjalan lurus hingga ke depan barikade polisi. Semakin ke depan, saya semakin mengerti bahwa tak ada lagi aksi damai. Demonstran maupun polisi, rakyat dan aparat, berbalas serangan, berbenturan, dibenturkan… entahlah.

Halte TransJakarta HI sedang terbakar tampak di kejauhan/Muhammad Husen S.

Kemudian saya sedikit melipir ke kanan, ke barisan gedung. Saya istirahat di seberang gedung dengan bendera Jepang berkibar di bagian depannya. Apa yang terjadi? Ada yang bilang, “Hoi! Turunin bendera Jepangnya!” Makin tak masuk akal lagi ini orang-orang. Lalu gedung tempat saya bersandar tiba-tiba tertimpuk batu lemparan oknum entah dari mana. Saya naik pitam dan teriak, “Hoi! Hoi! Ngotak!” Awak pers pun ternyata tak luput disasar oknum-oknum itu. Akhirnya saya haya bisa jalan mundur sambil menjepit Gudang Garam di jari kanan.

Sambil diam di pinggir menghisap asap nikotin, saya mulai merasakan efek gas air mata. Perih? Jangan ditanya. Gas air mata terus saja ditembakkan meskipun saya lihat jumlah demonstran di garda depan sudah berkurang. Suara-suara ledakan itu bikin saya nostalgia masa-masa perang sarung selepas Subuh di bulan Ramadan.

Demonstran menghadapi barikade polisi di sekitar Halte Sarinah/Muhammad Husen S.

Lalu saya kembali jalan kaki. Santai—rasanya saya sudah lelah selepas bekerja tadi pagi—meskipun asap gas air mata masih di mana-mana. Barikade polisi masih berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat saya kini. Saat berjalan santai itu saya melihat sekitar.

Ada pedagang starling (Starbucks keliling) dengan sepedanya meliuk-liuk di keramaian itu, yang nggowes untuk mencari rezeki, bukan demi konten Instagram Story. Saya juga melihat dua orang berjaket ojol—abang-abang driver ojol, barangkali—yang bolak-balik menjemput demonstran-demonstran yang tumbang di antara lalu-lalang ambulans.

Aparat memukul mundur massa kembali ke bundaran. Sejenak semua terasa kembali tenang. Gencatan senjata. Lalu Halte TransJakarta HI terbakar. Saya melihat kebakaran itu dari kejauhan. Aksi ini tak lagi damai, tapi saya masih saja betah memerhatikan. Sementara itu, “Hot Wheels” depan kantor polisi di Thamrin sudah mulai dipanaskan. Komunikasi aparat lewat HT tampaknya udah lebih intens ketimbang saat saya datang tadi. Tapi tak ada dentuman gas air mata lagi.

Akhirnya kembali terjadi gencatan senjata ketika panggilan salat dikumandangkan.


Saya berangkat berdelapan. Tiga orang menunggu di HI, sementara lima lainnya, termasuk saya, bergerak ke depan. Satu di antara kami berlima terpisah. Tak ada kabar darinya sampai pukul 18.00.

Halte Sarinah pascakebakaran/Muhammad Husen S.

Kami pun kembali menyisir Thamrin, berharap menemukan teman kami itu di sana. Saat berjalan menelusuri Thamrin iu saya melihat tiga halte terbakar hanya menyisakan kerangka. Sisa-sisa halte itu pun diambil oleh beberapa orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Saya berjalan sampai ke depan barisan polisi yang sedang istirahat. Mereka duduk sama rata dengan para demonstran, sebagian lagi beribadah menghadap kiblat yang sama dengan para demonstran. Harmonis.

Namun teman kami belum tampak batang hidungnya. Saya dan kawan yang ikut mencari lalu kembali ke HI dengan tangan kosong. Kemudian kami mengambil motor di depan KPU sembari berharap ada info soal teman kami itu. Kami mundur sampai Stasiun Manggarai, menjernihkan pikiran, mencuci muka dengan pasta gigi, dan menghisap Gudang Garam tanpa tekanan.

Lalu ada kabar gembira: teman kami terkonfirmasi berada di Tugu Tani. Kami jemput dia.

1 comment

Dari Mereka yang Turun ke Jalan - TelusuRI 14/Oktober/2020 - 4:43 pm

[…] Jakarta mengabarkan bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Saat terjadi pembakaran halte di daerah Bundaran HI, asap hitam mengepul, suasana Jakarta begitu kelam hari itu. Ekonomi seakan lumpuh. Yang ada hanya […]

Reply

Tinggalkan Komentar