Sejatinya pangan merupakan kebutuhan paling dasar bagi berlangsungnya kehidupan manusia. Bahkan segala bentuk materi yang kita miliki, nyatanya tak pernah mampu membuat kita beralih dari kebutuhan tersebut. Maka tak heran bila setiap hari manusia selalu sibuk dengan beragam kegiatan, guna mengupayakan adanya ketersediaan pangan di setiap harinya.
Namun, seiring hadirnya kapitalisme modern dan digitalisasi yang kian masif hari ini, justru memudahkan kita untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Tidak butuh waktu maupun tenaga yang berlebihan. Semua telah tersedia secara praktis di layar gawai: pemesanan digital dan layanan antar makanan melalui kurir.
Tak ada yang salah dengan fenomena tersebut. Akan tetapi, hadirnya kemudahan tersebut malah memutus kita dari akar dan makanan. Bahkan kita sendiri tidak tahu kandungan maupun bahan yang terdapat pada makanan tersebut. Semua tampak ada begitu saja di atas meja makan kita.
Diskusi Pangan bersama Rekam Pangan
Prolog tersebut merupakan secuil catatan dari diskusi yang diusung oleh Bumbu Magz bersama Rekam Pangan. Diskusi ini berlangsung pada 3 Juni 2023 di Amphiteater BRIwork UGM dan menghadirkan beberapa narasumber kompeten di bidangnya. Narasumber yang hadir antara lain Ersya Ruswandono (chef-owner Eyang Tun Cuisine), Gusti Shabia (pengelola Rekam Pangan), hingga Rizkie Nurindiani (founder Bumbu Majalah Kuliner).
Dalam diskusi tersebut Gusti Shabia menawarkan sebuah pertanyaan menarik sebagai acuan hadirnya diskusi tersebut. Pertanyaan tersebut telah tersemat di laman digital Rekam Pangan yang berbunyi:
“Bagaimana kita mengingat sebuah makanan? Ada yang mengingat bentuknya. Ada yang mengingat baunya. Tapi ada yang mengingat hingga ke rasanya, sehingga jika ada satu makanan yang bentuk dan baunya sama dengan makanan kesukaan kita, tapi rasanya tak sama, kita mungkin bersedia untuk mencari wujudnya yang paling asli. Lantas kita pun mengeluarkan usaha untuk melintasi jarak tertentu untuk merengkuh suatu otentisitas makanan atau mereka-reka resepnya agar makanan itu bisa tercipta di dapur rumah kita.”
Berangkat dari pertanyaan tersebut, diskusi ini berupaya menjembatani pembacaan kritis mengenai cara masyarakat hari ini memberlakukan ketersediaan pangan. Meskipun kritis, tetapi beberapa pembicara dan partisipan di dalamnya berupaya membungkusnya seramah dan semudah mungkin agar dapat diterima. Bahkan dalam diskusi tersebut beberapa partisipan lebih banyak curhat, yaitu perihal memorinya terhadap warisan kuliner keluarganya dan pengalamannya mengonsumsi pangan.
Sebagaimana pernyataan Ersya Ruswandono, inisiatifnya mendirikan usaha Eyang Tun Cuisine tidak lepas dari memorinya terhadap keluarganya sendiri. Berdasarkan kesaksiannya, dahulu semasa kecil ia kerap menyaksikan neneknya membuat pastel untuk acara besar maupun sebagai kudapan sehari-hari. Akan tetapi, seiring bertambahnya usia ia merasa cukup berjarak dengan memori tersebut. Maka ia berupaya mencatat deretan resep warisan keluarganya yang kemudian ia gunakan untuk membangun sebuah bisnis kecil-kecilan.
Selain berupaya menguliti narasi-narasi keseharian, Gito sebagai partisipan turut menawarkan pembacaan menarik perihal permasalahan yang ia hadapi terhadap pangan. Menurutnya, ia merasa cukup asing dengan dapur dan bahan-bahan di dalamnya. Seiring kemudahan dan praktisnya mendapatkan makanan membuat ia tidak sempat mengkritisi dari mana dan bagaimana makanan tersebut dibuat.
Pembacaan dari Gito tersebut memicu hadirnya beragam pertanyaan dan pembacaan lain yang tak kalah menarik. Salah satunya adalah pertanyaan dari partisipan daring yang belum sempat saya ketahui identitasnya. Partisipan tersebut mengajukan pembacaan seputar pengaruh makanan luar terhadap warisan kuliner kita.
Pembacaan tersebut lekas mendapat tanggapan yang cukup brilian oleh Gusti Shabia, bahwa terdapat permasalahan yang lebih serius di balik hilangnya pengetahuan kita terhadap kuliner di masa lalu. Bahwa makin minimnya ketersediaan tanaman akibat alih fungsi lahan menjadi proyek industri, membuat kita makin susah mencari sumber bahan untuk mengolah pangan. Resep maupun kuliner akan terus berkembang seiring berubahnya arus kebudayaan kita. Namun, ketersediaan tanaman sebagai bahan baku untuk mengolah pangan rasanya jauh lebih mengkhawatirkan.
Refleksi Pangan ke Depan
Saya sendiri, sebagai salah satu partisipan, memperoleh banyak bekal yang cukup untuk membaca kondisi pangan kita hari ini. Dari diskusi tersebut saya menjadi jauh lebih reflektif untuk mengapresiasi makanan. Bukan sekadar penyedia kebutuhan perut, melainkan makanan sebagai sumber dari pengetahuan itu sendiri.
Akan tetapi, saya cukup menyayangkan minimnya kehadiran partisipan pada diskusi tersebut. Selama berlangsungnya diskusi, hanya terdapat enam peserta yang hadir secara fisik. Meskipun demikian, minimnya partisipan secara luring justru membuat kita merasa sangat intim selama membicarakan pengalamannya masing-masing.
Setelah sesi diskusi berlangsung, seorang moderator membawakan satu sajian jajanan pasar yang dapat dinikmati secara gratis oleh para partisipan. Jajanan tersebut membuat masing-masing dari kita semakin intim. Bahkan pembicaraan kami bukan hanya perihal makanan, melainkan lebih pada pengalaman di luar itu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.