Perjalanan kali ini saya pulang ke kampung halaman di Boyolali. Lebih tepatnya di Desa Sumbung, Cepogo, Boyolali. Di lereng timur Gunung Merapi. Kepulangan saya kali ini karena teman sesama penggiat fotografi mengadakan festival di Hari Anak Nasional.
Saya tiba-tiba jadi teringat lagu tahun 1990-an. Ada yang tahu penggalan lirik lagu “yo prokonco dolanan neng njobo, padhang wulan padhange kaya rina..” ini? Generasi era 80-an dan 90-an pasti masih ingat, termasuk judulnya. Lagu ini biasa dinyanyikan waktu sekolah, tidak jarang juga dinyanyikan ibu-ibu. Judul lagunya Padhang Bulan, lirik lagu ini menggunakan bahasa Jawa. Orang Jawa menyebutnya lagu lawasan. Orang tua saya sendiri masih sering menyanyikannya. Saya juga bisa menyanyikan, biasa mendengar orang tua menyanyikan lambat laun bisa menirukan.
Sanggar Anagata Merapi, Mula Bocah Dolanan Ada
Setibanya di Boyolali saya mendapat kabar bahwa festival di Desa Sumbung, bernama Festival Bocah Dolanan. Awalnya bingung, “Bocah Dolanan ini, apaan lagi?”
Tanpa pikir panjang, kami langsung berangkat menuju lokasi festival.
Kami kira acaranya berada di tengah Kota Boyolali, ternyata di lereng Gunung Merapi. Berbekal lokasi yang dibagikan oleh penyelenggara secara digital, kami tiba di sana.
Sanggar Anagata Merapi, Desa Sumbung, Kecamatan Cepogo, Boyolali menjadi lokasi terselenggarakannya Festival Bocah Dolanan. Awalnya saya bingung dengan lokasi ini. Saya kira tempat tersebut merupakan sanggar seni, ternyata rumah pribadi yang dimodifikasi untuk sanggar dan perpustakaan desa. Pemilik rumah dan sang istri-lah penyelenggara Festival Bocah Dolanan ini.
Adalah Sarsito atau Mas Toji panggilan akrabnya, pemilik Sanggar Anagata Merapi. Mas Toji, rekan saya juga sesama penggiat fotografi. Sudah lama tidak bertemu Mas Toji sempat bercanda, “Tak kirain kamu itu pak bupati, Bro!” Langsung saya jawab “Pensiunan bupati, Mas.”
Bocah Dolanan Berawal dari Tari Padhang Bulan dan Cublak-Cublak Suweng
Tanpa pikir panjang, saya langsung menuju ke keramaian anak-anak di halaman. Melihat situasi sanggar yang terpikirkan pertama di benak saya adalah betapa luar bisa hebat kegiatan ini, rumah dijadikan sanggar, bikin acara pula. Tengah asyik berbincang, tiba-tiba terdengar alunan musik Padhang Bulan.
“Udah mau mulai ini, Mas?”
“Tidak ada pembukaan, apa penutupan. Ya ini apa adanya saja, cuma buat senang-senang.” Jawabnya.
“Kan ‘Bocah Dolanan’, mana ini kok sepi lagi?”
Ternyata mereka baru persiapan di halaman depan, yang juga jadi lokasi pertunjukan.
“Ini bukan pertunjukan, namanya saja Bocah Dolanan. Jadi ya begini Bro, cuma mainan bareng, alat-alat pun seadanya,” lanjut Mas Toji.
Apa yang ia katakan benar adanya. Acara Bocah Dolanan sejatinya aktivitas anak-anak bermain bersama teman sebaya. Ya sudah, saya di halaman saja, nonton sekalian mengabadikan foto mereka. Awalnya karena saya penasaran mereka mainan apa, sedikit mendekat ke mereka siapa tahu boleh ikut.
Mereka malah langsung riuh. Bukan karena kedatangan saya, tapi karena mereka terkejut sosok saya. “Masnya ini loh, kaget aku!” Padahal saya hanya diam di belakang mereka tanpa bergerak.
Keriuhan semakin menjadi, ketika lagu Padhang Bulan terdengar. Langsung, salah satu dari mereka tiba-tiba berteriak, “Ayo teman-teman, mainan di sini!” Disahut teriakan dua anak lainya, “Ayo!” Ternyata, mereka mau menari bersama diiringi lagu Padhang Bulan dan Cublak-Cublak Suweng.
“Wah menarik ini, ternyata kalian itu mau menari to?” Benar, tanpa aba-aba mereka langsung menari. Memang masih terlihat kaku, tapi patut diapresiasi tinggi. Karena era modern saat ini, anak-anak bermain dan menari bersama sangat langka. Meskipun banyak yang tanpa pelatihan khusus, tetapi beberapa diantara mereka ada yang mempelajari di sanggar lain.
Properti yang mereka pakai pun sangat sederhana, seperti mainan jaran kepang, topeng wayang, egrang bambu, egrang tempurung kelapa, dan tali karet untuk lompat tali. Ada juga penari dengan membawa tambir bambu dan tangga bambu, untuk pertunjukan.
Menariknya lagi bagi saya, di sini tidak ada yang menggunakan teknologi seperti handphone. Baik anak-anak maupun orang tua mereka yang menonton. Tidak jarang juga di antara mereka saling menertawakan satu sama lain.
Ada yang tidak bisa, ditertawakan dahulu baru dibantu. Tetapi mereka tidak ada yang marah, malah saling mendukung. “Loh kok, malah ditertawakan, dibantu dong!” Ternyata mereka menjawab “Lha aku, juga belum bisa kok, Mas!” Alhasil, kami pun tertawa lepas.
Pagelaran Bocah Dolanan di Sanggar Anagata Merapi digelar hanya satu hari, tepatnya Jumat, 22 Juli 2022 yang lalu pukul 13.00 hingga 17.00 WIB. Selama pagelaran, ada empat kategori permainan. Pentas tari, drum band, permainan anak tradisional, dan mendongeng bersama Kak Mujadi. Semua peserta merupakan warga Desa Sumbung Cepogo Boyolali, hanya Kak Mujadi yang berasal dari luar desa.
Saat saya datang, hiburan yang berlangsung adalah anak-anak yang asyik bermain bersama. Mereka seakan tak terganggu kedatangan orang luar desa, malah sudah dianggap saudara jauh. Tidak jauh dari saya mengabadikan mereka, ternyata terpasang baliho acara. Karena terlalu asyik mengabadaikan mereka, saya akhirnya tersadarkan akan sesuatu.
Ternyata ada baliho besar, terpampang “Festival Bocah Dolanan, Dalam Rangka Hari Anak Nasional 2022”.
Saya terus membidik mereka melalui kamera, tidak semua anak-anak mau difoto. Sekira 30 menit setelah saya membaca baliho, halaman semakin riuh karena pengisi acara mulai berdatangan. Karena bukan pagelaran besar dan hanya untuk senang-senang, jadi urutan pentas tidak kaku.
Ada empat orang fotografer yang memotret mereka, salah satunya Mas Toji yang masuk ketika pertengahan pentas.
Pentas pertama anak-anak bermain dakon, egrang bambu dan egrang tempurung kelapa. Saya sempat bercanda dengan istri Mas Toji, untuk menyiapkan mainan kelereng. Tapi karena halaman tidak memenuhi syarat, alhasil permainan ini tidak jadi digelar.
Selesai mereka bermain egrang dan dakon bergantian, tibalah pentas berikutnya, pentas tari gugur gunung. Disela-sela pentas, muncul kejadian tak terlupakan oleh saya. Salah satu rekan fotografer meminta mengulang salah satu adegan, ketika anak penari perempuan berdiri di atas tangga.
“Bro, bisa diulang nggak ya yang tadi adiknya (penari perempuan), naik tangga. Bagus posenya, alami.”
Permintaan tersebut langsung diiyakan oleh Mas Toji.
Pengambilan gambar seperti yang diinginkan pun sukses. Ketiga penari pun tidak keberatan, dan senang menunjukan ke kami. Semua pengisi pentas terdiri dari anak-anak, umur 7-10 tahun.
Pentas selanjutnya tarian adik manis, saya menyebutnya. Karena, tarian dibawakan oleh seorang penari cilik berparas manis, sang ibu memandunya dalam setiap gerakan. Anak-anak lain menyaksikan dengan duduk melingkari sang penari. Harmoni, seni dan budaya, itu pesan yang disampaikan dalam tarian ini.
Pentas selanjutnya drum band, remaja Desa Sumbung yang membawakannya. Awalnya saya kira mau persiapan wayangan, ternyata juga tampil mengisi acara.
Semua pengisi acara patut diapresiasi. Bukan cuma karena berani tampil, mereka anak muda yang masih mampu dan mau mewarisi budaya dan adat istiadat desa setempat.
Seperti pepatah, “Ada kota-ada desa, tidak ada desa-kota mati, dan tidak ada kota-desa masih bisa hidup.”
Selama saya di Sanggar Anagata Merapi, keramahan warga desa dan keriuhan anak-anak bermain memberikan arti berbeda. Gotong royong, rukun, mewarisi adat istiadat dan budaya terlihat jelas di keseharian mereka. Hal ini jarang saya temui di daerah lain khususnya di kota besar.
Senja semakin menggelayuti, hawa dingin semakin menjadi. Tapi warga masih tetap antusias menemani anak mereka mendengarkan dongeng dari Kak Mujadi. Mungkin Kak Mujadi dan Kak Seto, memiliki karakter yang sama yakni senang dengan anak-anak. Anak-anak begitu antusias mendengarkan, tetapi beberapa di antaranya masih bingung dengan beberapa yel-yel dari Kak Mujadi.
Hari Anak Nasional, Harapan yang Terwujud
Harapan besar untuk warga Desa Sumbung dan Sanggar Anagata Merapi, Festival Bocah Dolanan rutin digelar setiap tahunnya. Bukan hanya untuk memperingati Hari Anak Nasional saja, tetapi mendidik anak sedari kecil agar tidak ketergantungan terhadap gawai. Supaya mereka dapat tumbuh dan berkembang seperti lumrahnya anak seusia mereka.
Hari Anak Nasional memang sudah berlalu, tapi bagi saya memperingatinya tidak cukup hanya satu tahun sekali. Masih banyak anak diluar sana yang membutuhkan, dan mereka tidak mungkin memperingati Hari Anak. Tinggal bagaimana aksi kita untuk membantu mereka, kedepannya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.