Masyarakat Gelek Kalami dan Magablo di Malagufuk memilih ekowisata sebagai jalan hidup untuk keseimbangan ekonomi dan ekologis. Bertekad menjadi benteng terakhir hutan adat Moi di Papua Barat Daya, baik untuk manusia maupun segala keanekaragaman hayati di dalamnya.

Teks: Rifqy Faiza Rahman
Foto: Deta Widyananda, Rifqy Faiza Rahman, dan Mauren Fitri


Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Fasilitas menginap tamu yang berkunjung untuk birdwatching di Malagufuk. Terdapat pondok tamu untuk briefing dan tempat makan (paling kiri), lalu homestay dan glamping/Rifqy Faiza Rahman

Ada satu kawasan gabungan yang mencakup lima kampung adat suku Moi Kelim di Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya. Namanya Malaumkarta Raya. Terdiri dari Malaumkarta sebagai kampung induk, diikuti tiga kampung lain yang juga terletak di pantai utara Distrik Makbon, yaitu Suatolo, Sawatuk, dan Mibi. 

Kemudian satu kampung lagi bernama Malagufuk. Kampung ini mulanya berstatus kampung persiapan, sehingga usianya paling muda se-Malaumkarta Raya. Berbeda dengan empat kampung lain yang berada di pesisir, Malagufuk “tersembunyi” di dalam hutan lebat. Jalan poros Sorong–Tambrauw–Manokwari memisahkan kawasan hutan itu dengan kawasan pesisir. 

Dari pinggir jalan, permukiman kecil Malagufuk belum bisa langsung terlihat mata. Di atas dataran lapang lapang seluas 2–3 kali lapangan futsal, “sambutan” bagi para tamu yang hendak berkunjung ke kampung hanya ada dua papan informasi—yang memuat nama kampung dan keanggotaan Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKI)—serta sebuah salib kayu bercat putih berkalungkan pita kain berwarna ungu yang berdiri tegak di atas tanah. Kemudian terdapat bangunan seperti rumah—atau mungkin mirip kantor kelurahan—di sebelah timur, yang lebih sering tertutup rapat kecuali ada keperluan. Ada satu-dua sepeda motor yang tersimpan di dalamnya, milik warga Malagufuk.

Di latar belakang, kerimbunan belantara tropis penuh pohon besar menjulang seperti mengundang siapa pun untuk masuk. Jembatan kayu tampak kukuh di mulut hutan, bersanding gemericik kali kecil dengan air sebening kaca. Dari sanalah, lorong alam Hutan Klasow akan mengantar langkah kaki menuju sebuah tempat di mana manusia berharmoni dengan alam. Tempat cenderawasih-cenderawasih menari dan bernyanyi dengan nyaman.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Gerbang masuk menuju Kampung Malagufuk. Pintu hutan berada di bagian kanan foto ini/Rifqy Faiza Rahman

Ketenangan di pedalaman Hutan Klasow

Perlu usaha ekstra untuk mencapai Kampung Malagufuk. Sebenarnya hanya perlu 3,5 kilometer saja dengan jalan kaki dari pintu hutan ke permukiman terpencil yang dihuni kurang dari 20 kepala keluarga tersebut. Rinciannya, 3,3 kilometer meniti jembatan kayu selebar dua meter, sisanya menapak jalan tanah berselimut rumput ke rumah keluarga sekaligus kantor Kepala Kampung Amos Kalami.

Kata Torianus Kalami (47), tokoh Moi dan ketua Perkumpulan Generasi Malaumkarta (PGM), pada 2021 Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat jembatan berbahan kayu besi (pohon merbau) itu sebagai salah satu jembatan kayu terpanjang di Indonesia. Pengerjaan jembatan mencapai 17 bulan, didukung penuh oleh Pemerintah Kabupaten Sorong, yang saat itu dipimpin Bupati Johny Kamuru. 

Alih-alih membuka akses atas nama pariwisata dan memanjakan kendaraan bermotor, pembangunan jembatan kayu justru memenuhi kaidah ekowisata berkelanjutan karena ramah lingkungan. “Papan-papan kayunya saja tidak berasal dari Malagufuk, tapi dari hutan di tempat lain,” kata pria yang akrab dipanggil Kaka Tori itu.

Jembatan panjang tersebut dibuat sekitar semeter lebih tinggi dari permukaan tanah yang lembek. Saat hujan deras, tanah akan becek dan berlumpur, bahkan tergenang di beberapa titik. Nuansa alami dan penuh petualangan terasa kental. Begitu memulai langkah kaki pertama, serasa terisap ke dimensi yang berbeda. Senyap, tiada kebisingan selain kicau burung dan suara-suara serangga hutan. Teriknya jalan beraspal Sorong–Manokwari lenyap seketika tatkala berjalan semakin jauh, semakin dalam memasuki rimbunnya belantara yang disebut Hutan Klasow oleh warga Malagufuk. Kami juga melewati satu-dua aliran kali (sungai kecil) berair jernih yang bisa digunakan untuk sekadar membasuh muka. 

Butuh waktu tempuh hampir satu jam untuk tiba di kampung. Kaki-kaki orang lokal tentu jauh lebih lincah dan kuat, meski harus mendorong troli merah berisi barang bawaan tamu berkilo-kilo beratnya. Sebab, mereka terbiasa berjalan tanpa alas kaki di hutan, sehingga telapak kaki seperti lengket begitu saja tanpa khawatir terpeleset.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Mauren, ketua tim ekspedisi, menyusuri jembatan kayu terpanjang menuju Kampung Malagufuk/Deta Widyananda

Sesekali saya mengecek lokasi terkini lewat aplikasi Google Maps di ponsel. Sinyal hilang timbul, tentu saja. Dari satelit, jembatan kayu ini tidak terlacak sebagai akses jalan. Tertutup hutan lebat seolah-olah tak tertembus. 

“Nanti di kampung sinyal bagus, kaka. Ada tower di kampung,” celetuk Gustap, pemuda Malagufuk yang juga bekerja sebagai pemandu dan porter. Ia dan Lamber, kerabatnya, ikut pulang menumpang mobil kami dari jalan poros Sorong-Makbon di Klawuyuk, setelah mengantar tamu ke bandara. Belakangan saya tahu menara sinyal itu bantuan dari program BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Letak pemancar Base Transceiver Station (BTS) bertenaga surya itu berada di ujung timur kampung, dekat pondok tamu. 

Jembatan kayu itu akhirnya menemui ujung seiring terbukanya vegetasi hutan. Sebuah gapura lebar yang terbuat dari batang-batang pohon menyambut. Di sebelah kanan tertulis “Eco Village Malagufuk” dan ukiran kriya berbentuk burung cenderawasih kuning-kecil. Di sebelah kiri, terpampang informasi potensi burung cenderawasih di habitat aslinya serta larangan perburuan liar dan perusakan hutan. Pada bagian atas, deretan kata berbahasa Moi menempel pada sebuah papan kayu bertuliskan Bok Feden Paw Malagufuk: Selamat Datang di Kampung Malagufuk. 

Informasi visual tersebut merupakan bentuk penegasan kepada siapa pun yang datang. Dalam satu dekade terakhir, ekowisata birdwatching atau pemantauan burung dipilih sebagai jalan hidup untuk meningkatkan taraf ekonomi masyarakat marga (gelek) Kalami dan Magablo di Malagufuk. Tidak hanya berbasis masyarakat, tetapi juga berkelanjutan. 

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Dari bukan siapa-siapa, kini mendunia

Berkah Tuhan karena kegigihan menjaga hutan dan menjaga rumah cenderawasih. Kiranya demikian ungkapan yang tepat melihat perkembangan ekowisata berkelanjutan di Malagufuk beberapa tahun terakhir. Kampung termuda di kawasan Malaumkarta Raya, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong itu jadi tujuan para pengamat burung (birder) dari seluruh dunia. 

Charles Roring adalah salah satu nama yang sangat berperan dalam pengembangan ekowisata birdwatching di Malagufuk kurang dari sedekade lalu. Pemandu spesialis pengamatan burung berdarah Manado yang tumbuh besar di Manokwari itu mereplikasi kesuksesan serupa di Kampung Kwau, Pegunungan Arfak sebelumnya. Padahal, konsep pariwisata atau ekowisata belum pernah ada dalam kamus kehidupan masyarakat Malagufuk

“Dulu Malagufuk belum ada rumah-rumah panggung seperti sekarang, apalagi penginapan. Beberapa keluarga itu kumpul dalam satu-dua tenda terpal di pinggir hutan, yang sekarang dibangun jadi dapur umum untuk mama-mama menyiapkan makanan tamu,” kenang Charles. Saat itu, jembatan kayu belum dibangun seperti sekarang. Hanya titian kayu sederhana yang membentang di atas tanah. Saat hujan deras, langkah kaki akan berat karena terbenam lumpur.

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Charles Roring hendak mengamati burung dengan spotting scope atau teropong bidik milik tamu asing yang ia pandu ke Malagufuk/Mauren Fitri

Titik balik Malagufuk mulai terjadi pada pengujung 2014, ketika ia membawa tamu dari Eropa dan mulai mengenalkan Malagufuk kepada dunia. Amos Kalami, yang sedari awal sudah menjadi kepala kampung, seperti diungkap Charles, kaget ketika mengetahui lambat laun kampung kecilnya mulai ramai turis dengan peralatan fotografi lengkap dan lensa-lensa berukuran besar. 

Popularitas Malagufuk mencapai puncak setelah Charles mendampingi tamu dari Prancis. Ia adalah jurnalis foto dari Agence France-Presse (AFP), kantor berita internasional yang bermarkas di Paris. Jurnalis tersebut ingin meliput potensi ekowisata dan bahaya deforestasi akibat rencana ekspansi perusahaan kelapa sawit yang mengancam keanekaragaman hayati endemis di hutan Malagufuk.

Foto-foto dan hasil liputan AFP pun menyebar ke seluruh dunia. Di sisi lain, Charles juga cukup rutin menulis tentang tur ekowisata birdwatching di Papua melalui blog pribadinya wildlifepapua.com, yang dikunjungi ribuan orang per bulannya. Sampai-sampai ia punya tamu-tamu langganan pegiat birdwatching yang tertarik pergi ke Papua untuk melihat cenderawasih, karena membaca blog Charles dan paket wisata yang ia tawarkan. Sorotan dunia melalui informasi jurnalistik tersebut membuat orang-orang—terutama pemerintah setempat dan masyarakat Moi—lambat laun menyadari pentingnya menjaga Hutan Klasow sebagai habitat cenderawasih dan satwa-satwa endemis Papua tersebut.

Sebagai tanggung jawab moral, secara bertahap Charles membina dan mendampingi masyarakat Malagufuk tentang cara mengelola ekowisata berkelanjutan. Khususnya kepada anak-anak muda. Ia mengajari cara memandu, melayani tamu, dan melakukan pemetaan lokasi-lokasi burung maupun satwa endemis lain di hutan. 

Saat ini manajemen ekowisata di Malagufuk dipercayakan ke Opyor Jhener Kalami alias Opi (28), putra kedua pasangan Amos Kalami dan Batseba Mobilala. Opi, dibantu orang muda Malagufuk yang sebenarnya masih memiliki hubungan keluarga, mengelola pelayanan kepada tamu yang datang dan pergi, mengatur reservasi, memandu, sampai dengan promosi di media sosial. Tidak terhitung berapa kali mereka bolak-balik Sorong–Malagufuk (55 km) untuk menjemput dan mengantar tamu domestik maupun asing. Perputaran uang dari penjualan paket tur pengamatan burung bisa mencapai ratusan juta rupiah per tahunnya.

Kiri: Antre menunggu giliran pengamatan burung cenderawasih raja di anjungan pandang sederhana. Tampak pemandu muda Gustap (dua dari kiri), ditemani Brampi (paling belakang) ikut mengobrol dengan kami saat menunggu rombongan tamu dari Cina yang sedang memotret di atas. Kanan: Opi membantu mengarahkan Deta membidik gambar cenderawasih raja/Rifqy Faiza Rahman

“Soal keahlian bahasa Inggris itu bisa sambil jalan pelan-pelan. Yang penting selalu saya tekankan untuk jangan silau dengan uang yang banyak dari hasil memandu tamu,” tegas Charles. Ia juga mengarahkan Opi dan teman-teman membatasi jumlah kunjungan tamu per harinya, agar ada jeda bagi mereka dan alam untuk beristirahat.

Pernyataan itu mengingatkan bahwa pengembangan ekowisata berkelanjutan membutuhkan kolaborasi banyak pihak. Terbangunnya pondok tamu, homestay, glamping, dan fasilitas lain yang memoles citra Malagufuk sebagai eco-village juga hasil dari kolaborasi lembaga perbankan, organisasi nirlaba, pemerintah, dan banyak lagi. Semua pemangku kepentingan harus bersinergi agar terjadi keseimbangan kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan di Malagufuk.

Kini, di Papua, Malagufuk diperhitungkan sebagai destinasi utama birdwatching selain Raja Ampat, Pegunungan Arfak, dan Jayapura. Sebab, hanya di pulau besar di timur Indonesia inilah (dan sedikit di Halmahera) burung surga itu bisa terlihat dengan mudah di hutan. Biasanya, para tamu akan sekalian berkunjung setelah menyelam atau melihat burung di Raja Ampat. 

Terutama saat musim kawin cenderawasih sepanjang Juni–Oktober. Ratusan hingga ribuan fotografer datang berbondong-bondong. Mereka rela berjalan menempuh berkilo-kilometer di jalur berlumpur, memanggul kamera dan lensa sapu jagad demi momen mahal seumur hidup. Bahkan jika gagal mendapatkan momen itu dalam satu hari, mereka akan menginap beberapa hari lagi di Malagufuk sampai misinya berhasil. 

Saat ini kurang lebih ada sekitar lima spesies cenderawasih yang terlihat di Malagufuk: cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor), cenderawasih kuning-besar (Paradisaea apoda), cenderawasih raja (Cicinnurus regius), cenderawasih mati-kawat (Seleucidis melanoleucus), dan toowa cemerlang (Ptiloris magnificus). Selain cenderawasih, beberapa burung endemis lainnya yang kerap ditemui antara lain taun-taun atau julang papua (Rhyticeros plicatus), aneka cekakak atau dikenal dengan sebutan kingfisher, dan kasuari.

Sebagai informasi, biasanya Opi dan kawan-kawan akan mengajak tamu melihat cenderawasih dalam dua sesi, yaitu pagi dan sore. Tidak hanya cenderawasih. Terkadang tamu juga meminta ditemani trekking malam untuk melihat satwa-satwa nokturnal, seperti kanguru tanah, kanguru pohon, burung hantu, sampai dengan ekidna atau nokdiak (biasa disebut landak semut atau babi duri). Tamu-tamu ini rela merogoh kocek dalam-dalam demi pengalaman berharga tersebut.

  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
  • Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”

Sejumlah satwa yang menghuni Hutan Klasow Malagufuk. Secara berurutan, terdapat cenderawasih kuning-kecil, cenderawasih raja, toowa cemerlang, ekidna, dan katak jantan Platymantis paepkei sp.

Ekowisata untuk menjaga masa depan anak cucu

Charles menjelaskan, ekowisata dengan minat khusus seperti pengamatan burung merupakan ceruk ekonomi potensial, tetapi belum digarap secara serius di Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 1.700 spesies burung (nyaris 17% persen burung di dunia) yang memikat para penggemar burung.

Menurut data Grand View Research, nilai jasa industri ekowisata pengamatan burung global diperkirakan mencapai USD 62,73 miliar pada 2023 lalu. Mulai tahun ini sampai 2030 diproyeksikan nilainya tumbuh sebesar 6,2%. Kawasan Amerika Utara—di dalamnya terdapat Kanada, Amerika Serikat, dan Meksiko—menyumbang pangsa sebesar 27,79% dari total pendapatan global tersebut. 

Tampaknya, ada peningkatan terhadap kesadaran lingkungan, konservasi, dan perlindungan keanekaragaman hayati di hutan, sehingga mendorong orang ingin melakukan perjalanan ekowisata untuk mendapatkan pengalaman baru. Sumbangsih dari perjalanan tersebut dapat mempromosikan upaya pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik dan mengapresiasi ekosistem yang terbangun antara manusia dan alam.

“Bayangkan di Amerika saja bisa segitu [pendapatan ekowisata]. Padahal, [keanekaragaman burung endemis] Indonesia lebih kaya, khususnya Papua,” ujar Charles. Namun, ia mengingatkan tantangan klasik yang masuk daftar teratas dalam menghambat peluang tersebut. Ia menilai, “Di Indonesia ini [terutama Papua], birokrasi pengelolaan kawasan konservasi dan pengakuan hutan adat terlalu berbelit-belit. Banyak aturan tumpang tindih.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi mendorong gerobak atau troli penuh muatan barang milik tamu di jembatan kayu. Selain memandu, umumnya pemuda Malagufuk juga bisa bekerja merangkap sebagai porter/Rifqy Faiza Rahman

Di banyak tempat, seperti jamak diketahui, kapitalisme berkedok investasi atas nama pembangunan kerap mencerabut hak ulayat, peran, dan keberdayaan masyarakat hukum adat. Tak terkecuali kelapa sawit. Puluhan ribu hektare tanah adat Moi di Kabupaten Sorong telah beralih fungsi menjadi lahan konsesi perkebunan sawit. 

Berita terhangat tentu saja ketika masyarakat suku Moi Sigin melawan rencana PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat Moi Sigin di Distrik Segun, Kabupaten Sorong. Suku Moi melakukan aksi demo di Jakarta bersama suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan, yang menyuarakan keresahan serupa atas upaya perebutan tanah adat oleh perusahaan sawit. Sebelumnya PT SAS telah memegang konsesi seluas 40 ribu hektare (ha) di Distrik Segun, Klawak, dan Klamono. Namun, Bupati Sorong Johny Kamuru mencabut izin perizinan PT SAS pada 2021, yang diperkuat pencabutan izin pelepasan kawasan dan izin usaha oleh pemerintah pusat pada 2022. PT SAS menggugat balik pemerintah ke PTUN Jakarta karena tidak terima dengan keputusan tersebut.

Selain PT SAS, ada tiga perusahaan kelapa sawit lainnya yang dicabut izinnya oleh Johny Kamuru pada tahun yang sama. PT Cipta Papua Plantation di Distrik Mariat dan Sayosa dengan lahan seluas 15.671 ha, PT Papua Lestari Abadi di Distrik Segun dengan luas lahan 15.631 ha, dan PT Inti Kebun Lestari di Distrik Salawati, Klamono, dan Segun dengan luas lahan 34.400 ha.

Masifnya ekspansi sawit di Sorong terdengar sampai telinga Opi. Ia tidak ingin Malagufuk bernasib sama. Opi menyebut, tidak sedikit di antara spesies burung cenderawasih yang ada di Malagufuk saat ini, sebelumnya berasal dari wilayah adat kampung lain di Sorong yang—sayangnya—hutannya sudah hilang akibat sawit.

“Jadi, itu yang saya takut sebenarnya, kalau misalnya ada kelapa sawit masuk,” ungkap Opi khawatir. Sebab, Hutan Klasow telah menjadi rumah aman bagi cenderawasih. Dan cenderawasih adalah salah satu burung yang membawa dampak peningkatan ekonomi kampungnya lewat ekowisata. “Jangan sampai anak cucu kami tidak melihat cenderawasih lagi, tetapi nanti mereka [hanya] melihat ‘cenderasawit’.”

Ekowisata Malagufuk: Menjaga Rumah Cenderawasih, Bukan “Cenderasawit”
Opi dengan kostum adat suku Moi. Generasi muda sepertinya mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga hutan agar ekowisata Malagufuk bisa berkelanjutan/Deta Widyananda

Opi menegaskan, masyarakat Malagufuk akan mati-matian menjaga Hutan Klasow (nama lain hutan Malagufuk). Ia tidak ingin Malagufuk tersentuh industri ekstraktif—seperti sawit atau tambang—sejengkal tanah pun. Jika ada yang nekat masuk hutan berburu burung atau merambah lahan ilegal untuk kepentingan bisnis, itu sama saja memicu genderang perang.

Masyarakat Malagufuk telah lama mewarisi kemampuan nenek moyang dalam memanfaatkan sumber daya hutan seperlunya, lalu memakai hasil hutan tersebut secukupnya. Mulai dari mencari bahan makanan dan minuman, meramu obat-obatan tradisional, sampai dengan menggunakan kayu untuk membangun rumah, gereja, dan gedung sekolah.

Bagi orang Moi, hutan adalah tam sini, yang berarti hutan itu ibu atau mama. Mama sang pemberi segala sumber kehidupan, yang harus dihormati dan diwariskan pengetahuannya secara turun-temurun sampai generasi-generasi selanjutnya. Seorang anak memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga hutan, sebagaimana yang dilakukan orang tuanya.

Selanjutnya, bagaimana nasib Malagufuk di masa depan tergantung pada komitmen dan konsistensi bersama para gelek Kalami-Magablo dalam menjamin keberlanjutan itu. Yang jelas, orang Moi punya rumus hidup seperti kata Opi, “Ko jaga alam, alam akan jaga ko nanti.”


Foto sampul:
Toowa cemerlang, spesies burung pengicau yang termasuk dalam keluarga cenderawasih/Deta Widyananda

Pada Agustus–September 2024, tim TelusuRI mengunjungi Sorong dan Sorong Selatan di Papua Barat Daya, serta Jayapura di Papua, dalam ekspedisi Arah Singgah: Suara-suara dari Timur Indonesia. Laporan perjalanannya dapat Anda ikuti di telusuri.id/arahsinggah.

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar