Beberapa hal mungkin akan orang lakukan jika ia tengah merasa tak keruan hati atau pikirannya. Khusus Elizabeth Gilbert, ia rela menghabiskan uang yang dia miliki untuk hidup selama satu tahun di luar negeri.
Penulis sekaligus jurnalis tersebut melakukan perjalanan ke tiga negara, yakni Italia, India, dan Indonesia. Perceraian lalu konflik dengan teman kencannya menjadi pemicu Elizabeth memutuskan pergi sejenak dari kehidupannya di Amerika Serikat. Ia sungguh berharap trip itu membuatnya bisa menemukan apa yang sebenarnya ia inginkan. Sebuah harapan yang mulanya mendapat keraguan oleh sahabatnya, Delia.
Pengalaman Elizabeth di tiga negara tadi ia tuangkan dalam buku memoar berjudul Eat, Pray, Love: One Woman’s Search for Everything Across Italy, India, and Indonesia. Tahun 2006, buku itu rilis dan tak sedikit pembaca yang menyukainya. Sambutan luar biasa atas karyanya juga Elizabeth dapatkan di Amerika Serikat.
Sutradara Ryan Murphy kemudian menggarapnya menjadi sebuah film dengan judul Eat Pray Love di tahun 2010. Julia Roberts menjadi pemeran utama tokoh Elizabeth. Aktris Indonesia Christine Hakim juga bermain di film tersebut. Kala itu, proses syuting yang berlangsung di Bali sempat menyedot perhatian media serta masyarakat. Sampai-sampai ada rute wisata healing ala film Eat Pray Love.
Latar Belakang Perjalanan Elizabeth
Adegan pertemuan Elizabeth dengan dukun bernama Ketut Liyer membuka film ini. Laki-laki berumur satu abad itu meramal bahwa Elizabeth akan menikah dua kali, kehilangan uang yang banyak, dan bakal kembali ke Bali untuk mengajari Ketut Liyer bahasa Inggris. Di sini, petunjuk tentang Elizabeth yang akan melakukan perjalanan lain di masa depan muncul.
Namun, alih-alih terpikat oleh adegan awal ini, scene ketika Elizabeth menyampaikan maksudnya bahwa ia ingin pergi ke Italia, Indonesia, dan India pada Delia justru menarik perhatian. Di depan sahabatnya itu, Elizabeth berkata bahwa ia selalu bersama orang lain, sehingga dirinya sulit mengetahui apa yang sebenarnya ia inginkan.
“Sejak usia 15 tahun aku telah bersama laki-laki atau putus hubungan dengan pria. Aku belum pernah memberikan waktu pada diriku barang dua minggu untuk hanya berurusan dengan diri sendiri,” katanya.
Setelah adegan di atas selesai, penonton bisa menyimpulkan bahwa perubahan jadi topik penting dalam Eat Pray Love. Tak hanya sekadar tampak, perubahan di film ini semestinya dijabarkan dengan jelas serta dalam. Tujuannya agar penonton bisa memahami apa yang Elizabeth alami juga rasakan sebelum dan selama ia melakukan perjalanan ke tiga negara.
Perubahan Tokoh Utama yang Kurang Jelas dan Dalam
Di Eat Pray Love, Elizabeth memang berusaha mencari jawaban atas pertanyaan besar yang ia punya sebelum tiba di Italia, India, serta Indonesia. Sayangnya, film ini menjawab pertanyaan tersebut dengan buru-buru sehingga hasilnya terkadang terasa kurang jelas dan dalam.
Contohnya ada pada adegan Elizabeth menyantap pizza Neapolitan langsung di Kota Napoli bersama temannya, Sofi. Ide makan bareng itu sebenarnya datang dari Elizabeth. Ia berkata bahwa pizza bisa jadi kata yang pas untuk menggambarkan siapa dirinya.
“Hei, Sofi. Ini Liz. Ayo, kita ke Napoli. Kurasa kataku adalah pizza,” ujarnya lewat telepon.
Ada apa dengan pizza? Kenapa Liz mengaitkan dirinya dengan pizza? Rasa penasaran pun sempat muncul. Namun, kata-kata Elizabeth di adegan makan pizza ini terasa tak menjawab apa-apa.
Ia justru sibuk menasihati Sofi yang khawatir berat badannya naik, karena menyantap makanan asal Italia tersebut. Percakapan keduanya pun seakan-akan ada secara tiba-tiba. Tidak ada pengalaman sebelum dan selama perjalanan yang bisa dibandingkan terkait pizza yang Elizabeth pilih menjadi katanya. Padahal, kata tersebut menggambarkan siapa dirinya.
Spiritualisme yang Kurang Detail
Perjalanan di India juga tak luput dari kesan terburu-buru. Trip di negara ini bertujuan untuk menjadi semacam perjalanan spiritual bagi Elizabeth.
Sang sutradara hanya menampilkan secara sekilas sisi spiritual Elizabeth sebelum memulai perjalanannya ke tiga negara. Scene yang kentara menunjukkan hal ini adalah ketika ia berdoa meminta petunjuk, sebab pernikahannya tengah di ujung tanduk. Ada pula perkataan Elizabeth yang mengaku pada Sofi bahwa meditasi—aktivitas yang ia ketahui dari teman kencannya yang seorang guru yoga—membantunya merasa tenang.
Di India, Elizabeth tinggal di sebuah ashram dan bertemu dengan Richard. Meski awalnya saling sindir, mereka kemudian menjadi dekat. Elizabeth menceritakan niatnya datang ke ashram agar merasa damai. Richard lalu banyak memberikan wejangan.
Namun, perjalanan Elizabeth menyelami sisi spiritualnya di India tak jauh dari aktivitas mendengarkan nasihat, saran, dan pemikiran Richard akan problem yang mereka alami. Tak banyak adegan yang menunjukkan proses Elizabeth menemukan jawaban dari pertanyaan yang ia punya lewat caranya sendiri. Baik sebelum dan selama perjalanan di India, penjabaran sisi spiritual Elizabeth kurang jelas. Karena itu, kesan terburu-buru pun tak terhindarkan.
Makna “Love” Masih Dangkal
Serupa dengan dua perjalanan sebelumnya, trip di Bali juga tak luput dari masalah. Elizabeth sempat menyinggung soal pernikahannya dengan sang mantan suami yang tak bertahan lama. Menurutnya hal itu terjadi karena mereka menikah terlalu muda, sehingga masing-masing belum dewasa.
Dari perkataan ini, perjalanan di Bali seharusnya dapat menunjukkan pengalaman yang membuat Elizabeth menjadi sosok yang berbeda. Di samping itu, Ryan Murphy mestinya mengeksplorasi lebih jauh kepribadian seperti apa yang Elizabeth inginkan dalam relasi romantis.
Namun, sang sutradara tidak mengolah hal tersebut lebih jauh. Bagian “love” di film ini tak hanya mudah ditebak, tetapi juga kurang memiliki makna yang dalam. Kisah di Pulau Dewata pun pada akhirnya terasa seperti film romantis ala Hollywood kebanyakan. Ketakutan Elizabeth akan cinta baru, yang dapat mengganggu keseimbangan dirinya, bisa terkikis jika ia lebih tahu apa yang ia inginkan dan butuhkan. Sayangnya, hal itu tidak tergarap maksimal di Eat Pray Love.
Judul Film: Eat Pray Love
Sutradara: Ryan Murphy
Produser: Dede Gardner
Produser Eksekutif: Jeremy Kleiner, Brad Pitt, Stan Wlodkowski
Produksi: Columbia Pictures, Plan B Entertainment
Tahun: 2010
Penulis Naskah: Ryan Murphy, Jennifer Salt, Elizabeth Gilbert
Pemain: Julia Roberts, Javier Bardem, James Franco, Viola Davis, Billy Crudup, Richard Jenkins
Sinematografi: Robert Richardson
Genre: Biografi, Drama, Roman
Durasi: 74 menit
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Penulis dan jurnalis lepas yang tigggal di Yogyakarta. Suka menonton film, membaca buku, memotret, dan berkebun.