Saya masih ingat pagi itu tanah Pulau Binongko lembap sehabis mendapatkan guyuran hujan semalam. Genangan air di jalanan cor semen berlubang jadi tanda bahwa semenjak dibuat tak ada pemeliharaan. Motor yang saya kendarai menjadi sedikit berlumpur.
Jalan-jalan di Pulau Binongko selalu bersambungan walau ibarat labirin. Kalau bingung, kita tinggal ambil arah pantai, susuri saja, nanti juga sampai. Maka tak butuh waktu lama bagi saya untuk menghafal lekuk-lekuk jalan di Binongko.
Itu hari kedua saya bersama teman-teman tinggal dan melihat aktivitas masyarakat di sana. Kami menikmati alunan tempa para pengrajin pandai besi yang sedang membuat parang dan pisau dapur, mengenal sejarah Binongko dari makam Wa Ode Goa, juga melepas tukik di Pantai Yoro. Pulau Binongko sedang bersolek. Akomodasi homestay sudah mulai dibenahi agar sesuai standar penginapan. Produk olahan seperti abon ikan di Desa Jaya Makmur juga tak luput dari perhatian dan dikemas jadi lebih menarik. Harapannya, itu akan menjadi buah tangan khas Pulau Binongko.
Binongko adalah pulau besar terjauh di Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko). Dari Wangi-wangi, ibu kota kepulauan itu, perlu waktu cukup lama untuk tiba di Binongko, yakni sekitar enam jam. Dalam hal wisata selam, namanya masih kalah tenar ketimbang Pulau Tomia.
Soal selam ini, ada dua hal yang menarik dari Binongko. Pertama, meskipun pulau itu bagian dari sebuah kepulauan yang namanya menggaung ke mana-mana sebagai tujuan wisata selam, tak banyak warga Binongko yang bisa menyelam dengan peralatan scuba diving. Kedua, di Binongko tidak ada dive center. Jika ingin menyelam, peralatan bisa disewa di Pulau Tomia. Tapi, perhitungan serta persiapan alat pun harus cermat. Jarak antara dua pulau tersebut lumayan jauh, terpaut dua jam perjalanan. Akan konyol sekali jika kita lupa membawa salah satu komponen. Namun, meskipun tidak seramai Tomia, titik-titik penyelaman di Binongko menarik. Di perairan pulau itu masih ramai penyu dan hiu.
Ketika pagi itu kami tiba di dermaga, Simba, nama kapal cepat yang akan kami tumpangi, sudah siap. Rencananya hari itu kami akan menyelam di tiga titik di sekitar Pulau Binongko.
Kami mengajak salah seorang anak pulau untuk ikut ke bawah laut bersama kami. Astina namanya. Gadis berkerudung itu baru saja menyelesaikan sekolahnya di Akademi Komunitas Kelautan dan Perikanan di Wangi-wangi. Sebagai anak muda pulau, minatnya untuk mengembangkan wisata di Pulau Binongko cukup besar. Dia bahkan ingin melanjutkan sekolah lagi agar bisa membangun pulaunya. Dia sempat merasakan pelatihan selam, namun hanya sebatas praktik di sekolah. Belum pernah dia merasakan langsung menyelam di perairan Binongko.
Karena dia belum punya sertifikat selam, yang kami lakukan adalah mengajaknya ikut program Discover Scuba Diving (DSD), yakni pengenalan dasar tentang penyelaman. Jadi, walau belum memiliki sertifikat selam, peserta DSD bisa merasakan aktivitas penyelaman dipandu langsung oleh instruktur. Kedalamannya tidak boleh lebih dari 12 meter.
Lokasi DSD bersama Astina di depan Pantai Yoro. Sebelum turun, dia diberikan pengarahan—sebuah kewajiban sebelum penyelaman. Sebagai instruktur, membawa peserta DSD rasanya seperti membawa anak—sekaligus rasa keingintahuan dan takutnya—ke taman bermain untuk kali pertama. Tugas pelatih adalah meyakinkan penyelam itu untuk tetap tenang dan selalu bertindak sesuai petunjuk. Untungnya, perairan sekitar Binongko yang tenang kali itu cukup membantu Astina untuk tetap relaks. Dia kelihatan berusaha betul menikmati penyelaman pertamanya di perairan terbuka itu. Lama-kelamaan, irama ayunan kakinya sudah tak lagi terburu-buru. Dia sudah mulai tenang.
Saya juga berusaha untuk tetap tenang. Dalam penyelaman, kita harus saling percaya kepada buddy—apalagi untuk DSD. Astina tidak akan berani menyelam jika saya ragu-ragu, demikian pula saya. Jika saya panik dan tidak siap mengatasi rasa grogi Astina di bawah laut, berantakanlah kegiatan menyelam itu.
Sekitar setengah jam di bawah laut, saya memberikan sinyal kepada Astina untuk naik ke permukaan. Kami naik dan saya melihat wajahnya berseri-seri. Sepertinya dia sudah tidak sabar hendak menceritakan pengalaman DSD kepada teman-temannya.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.