Forest Digest didirikan oleh para alumni Institut Pertanian Bogor dengan tujuan mengkampanyekan pengelolaan hutan yang lestari. Sejak didirikan, Forest Digest mengeluarkan media cetak yang menyasar para alumni Fakultas Kehutanan IPB dan pemerintahan karena sarat akan penelitian ilmiah yang sekiranya bisa membantu dalam penentuan kebijakan.

Dengan terbatasnya capaian distribusi untuk produk media cetak, mendorong Forest Digest memutuskan untuk membuat website di 2018 agar dapat diakses dari seluruh penjuru Indonesia. Khawatir akan tenggelamnya website mereka di tengah banjir informasi di masa sekarang, dibuat lah media sosial, agar konten mengenai lingkungan di website mereka bisa merambah generasi muda. 

Kang Bagja, pemimpin redaksi Forest Digest. Foto: Kang Bagja

Pemimpin redaksi Forest Digest, Kang Bagja bercerita banyak sekali selama kiprahnya mengelola media yang berfokus pada lingkungan. Sebagai alumni dan pemimpin redaksi Forest Digest, beliau menceritakan ragam permasalahan lingkungan saat ini hingga gaya hidup yang perlu digubah untuk menanggulangi krisis iklim dan pencemaran lingkungan di Indonesia.

Mengangkat isu dan masalah lingkungan

Kondisi lingkungan global berada di titik yang mengkhawatirkan. Isu di media sosial saat ini sedang marak krisis iklim, termasuk soal pemanasan suhu bumi yang diakibatkan oleh produksi emisi karbon yang berlebihan pada setiap aktivitas manusia.

Pada kenyataannya manusia tidak bisa menanggung kenaikan suhu bumi jika lebih dari 2 derajat celcius. Bahkan di tengah pandemi seperti saat ini, walaupun kegiatan ekonomi melambat, tingkat kenaikan suhu bumi ternyata tidak menurun. Hal ini diakibatkan energi yang dibutuhkan untuk aktivitas daring lebih besar dibandingkan aktivitas offline, sehingga emisi yang dikeluarkan pun lebih banyak. 

Kemudian bagaimana dengan Indonesia? Kang Bagja menjelaskan “akibat pengelolaan hutan tak lestari, sekitar 34 juta hektar hutan tidak lagi menjadi hutan akibat degradasi dan banyaknya pembakaran liar.”

Sayangnya kebijakan ekonomi di Indonesia masih menjadi fokus utama dan paling besar jika dibandingkan dengan kebijakan yang menunjang kelestarian lingkungan. Forest Digest berharap ke depannya hutan-hutan di Indonesia bisa dilindungi oleh masyarakat adat. Hal ini dikarenakan warga lokal lah yang tahu betul keadaan hutan-hutan mereka, sehingga jika terjadi kerusakan pada hutan-hutan mereka, maka imbasnya pun akan dirasakan oleh mereka sendiri.

Namun di tengah banjir informasi di media sosial dan media digital, isu lingkungan dan HAM menjadi isu-isu yang mudah timbul-tenggelam. Hal ini diakui betul oleh Forest Digest, maka dari itu, selain ingin menyasar para pemangku kebijakan, Forest Digest juga menyasar masyarakat luas, terutama para anak muda yang kreatif. Kunci utama Forest Digest agar tetap relevan bagi masyarakat, khususnya di kalangan muda adalah dengan mengaitkan pengaruh isu lingkungan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Walaupun masih banyak kegiatan umat manusia yang mencemari lingkungan, Forest Digest selalu ingin menyorot secercah harapan dari masyarakat lokal yang peduli dan berhasil merubah lingkungannya menjadi lebih lestari dan ramah lingkungan. Kang Bagja mengambil contoh masyarakat di Desa Bendungan, Kabupaten Bogor yang menyulap selokan kotor yang penuh sampah menjadi kolam budidaya ikan. Beliau menunjukkan bahwa ini adalah salah satu contoh dimana kebijakan yang fokus kepada kelestarian lingkungan akan menghasilkan perekonomian yang baik pula.

Lalu, anak muda bisa apa?

Tentunya tidak cukup hanya menyasar anak muda sebagai audiens, ketika sudah mendapatkan atensi dari anak muda Indonesia, lantas apa yang bisa mereka lakukan sebagai masyarakat yang berwawasan? Anak muda di desa lebih banyak mempraktekkan menanam pohon dan bertani, berbeda dengan anak muda di kota yang mungkin hanya tahu dari bacaan di media sosial dan berita. Kang Bagja menyayangkan kondisi pandemi ini tidak memungkinkan bagi mereka untuk melakukan beberapa program-program bagi anak-anak muda. 

Di tengah pandemi ini anak muda dan bahkan orang dewasa lebih sering menghabiskan waktu di dalam rumah dan berkegiatan di dunia maya. Forest Digest menyarankan agar teman-teman di rumah tidak terlalu banyak menghabiskan waktu di dunia maya, selain karena menambah produksi karbon emisi, akan lebih sehat jika kita menyisihkan waktu 2-3 jam beraktivitas di luar rumah; seperti berjalan kaki atau bersepeda, tentunya dengan mematuhi protokol kesehatan dan tidak beramai-ramai.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage TelusuRI.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

1 komentar

Sampah dan Kebiasaan, Kapan Bisa Berubah? - TelusuRI 24 Januari 2021 - 12:34

[…] masyarakat. Mengutip Kang Bagja, pendiri ForestDigest, saat menceritakan tentang pencapaian warga Desa Bendungan. Ia mengatakan, kebijakan yang berfokus lingkungan akan menghasilkan peningkatan perekonomian yang […]

Reply

Tinggalkan Komentar