Manusia itu menarik dengan segala tingkahnya yang ada-ada saja! “Makhluk paling superior di muka bumi ini,” begitu teman saya menyebutnya. Mereka punya nurani sekaligus nafsu. Keduanya berperang sengit dalam diri seorang manusia, setiap hari, detik demi detik, sampai ia dipanggil kembali oleh Sang Pencipta.

Ceritanya, pada suatu pagi saya memakai layanan ojek online. Jakarta pagi itu tentu saja padat dan macet. Kondisi yang membuat kita geram pastinya.

Bagi mamang-mamang ojek, setiap hari adalah menegangkan sebab mereka harus selalu mengejar poin untuk memastikan agar bonus bisa dibawa pulang. Untuk itu tentu mereka harus berebut jalan dengan pengendara lain. Mamang yang mengantarkan saya pagi itu tak terkecuali. Ia naik trotoar, melaju di jalur busway, tarik-lepas gas, melawan arah—saya senam jantung.

di jogja

Pulau Cemeti di Tamansari/Fuji Adriza

Benar. Ia harus berjuang untuk menyambung hidup dari hari ke hari dengan cara seperti itu. Namun, sayangnya si mamang hanya memikirkan soal dirinya. Perkara apakah saya akan selamat di boncengan barangkali tak terlalu dipikirkan.

Pagi itu saya bertemu sosok yang egois.

Sayalah yang salah karena memakai standar malaikat

Di lain hari, saya dan teman-teman punya ide untuk membuat kelas sharing online via WhatsApp. Topiknya terkait dengan pengembangan diri. Saya mengajak beberapa anak muda yang arah kariernya mulai tertata untuk berbagi setiap dua minggu sekali. Pesertanya ratusan dan terbagi dalam beberapa grup.

Suatu siang ada seorang peserta grup yang marah-marah karena memori ponselnya penuh saat sesi absensi dimulai. Absensi gunanya untuk memudahkan tim mendata keaktifan peserta, menyusun laporan kegiatan, dll.

Awalnya saya tidak menggubris, namun dia terus saja meng-copas teks marah-marahnya di grup. Akhirnya saya jelaskan maksud dan tujuan absensi itu.

Wisata Favorit

Kilometer Nol Malioboro/Fuji Adriza

Dalam hati saya bergumam, “Duh, manusia ini. Kalau ponsel dia overload, apa kabar ponsel admin yang mengelola lebih dari satu grup, apa kabar ponsel narasumber. Belum lagi kalau kita bicara ongkos dan waktu yang dikorbankan narasumber dan tim secara sukarela. Mereka bukan amatir. Kalau dikalkulasi harga jasa mereka satu jam pasti mahal. Lagian, bukankah dari awal semestinya dia paham bahwa ketika gabung dalam sebuah grup online pasti akan ada sesi absensi?”

Lagi-lagi, berulang-ulang, saya bertemu orang egois yang dunianya hanya terbatas pada dirinya. Kadang saya bertemu dengan orang yang tak mau kerja tapi [maunya] dapat nama, ada yang tidak mampu bertanggung jawab tapi juga tak bisa melepas tanggung jawabnya, ada yang bilangnya ingin membantu tapi ujung-ujungnya memaksa untuk dibantu, juga ada yang ingin curhatnya didengarkan di waktu yang hanya pas bagi dirinya sendiri.

Kalau kata teman saya itu manusiawi. Yang salah adalah saya, sebab saya memakai standar malaikat.

Melipir ke Jogja yang “egoless”

Puncaknya, saya jenuh dengan semua itu dan ingin rehat barang sejenak. Saya ingin berdiam sejenak di Jogja. Konon manusia-manusia di Jogja itu “egoless” dan saya penasaran untuk membuktikannya.

Setelah saya ke sana, saya amati bahwa itu memang benar adanya. Orang-orang Jogja tak pernah berdiri di tengah jalan sempit di lorong-lorong Malioboro sebab mereka sadar bahwa banyak orang yang akan menggunakan jalan itu. Mereka juga tak pernah membunyikan klakson kendaraan kendati buru-buru, sebab mereka paham bahwa orang lain juga punya kepentingan. Orang-orang Jogja tak pernah nempong kendaraan lain seenaknya, soalnya mereka paham itu akan membahayakan semua.

rute wisata jogja

Pemandangan dari Kebun Buah Mangunan/Fuji Adriza

Orang-orang di Jogja hidup apa adanya adalam kesederhanaan dan semangat tolong-menolong. Suatu kali saya pernah tersesat di Beringharjo dan bergumam sendiri mengenai lokasi yang saya tuju. Eh, tiba-tiba orang di sebelah saya dengan ramahnya menunjukkan arah tanpa saya minta.

Ah… Jogja! Bagaimana saya tidak jatuh cinta? Di kota ini saya merasa pulang. Konsep egoless yang tadinya hanya ada dalam angan-angan saya, dan disangsikan oleh teman saya sebagai standar malaikat, bisa saya temukan di kota sederhana ini.

Saya sepakat jika daerah ini diistimewakan oleh Indonesia. Meskipun dulu Keraton Yogyakarta memiliki pilihan untuk membentuk negara sendiri, mereka memilih untuk bergabung dengan NKRI.

Konsep egoless itu bukan hanya milik Sultan, keluarganya, dan Keraton Yogyakarta, namun juga sudah merasuk dalam budaya orang Jogja. Di wilayah istimewa itu saya masih bisa berharap bahwa setiap manusia tak hanya berpikir tentang aku, namun aku dan kamu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.

Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar